BERITA

Bincang Eksklusif Mahfud MD: 90 persen setuju Eks-ISIS Tidak Dipulangkan

"Berikut perbincangan jurnalis senior KBR Agus Luqman dengan Mahfud MD, mulai dari soal WNI eks ISIS, radikalisme, sampai kasus pelanggaran HAM masa lalu."

Bincang Eksklusif Mahfud MD:  90 persen setuju Eks-ISIS Tidak Dipulangkan
Menko Polhukam Mahfud MD menjawab sejumlah masalah kepada Jurnalis KBR, Agus Lukman, Kamis (13/02). (Foto: KBR/Taufik)

KBR, Jakarta- Redaksi KBR mengadakan wawancara eksklusif dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD di Jakarta, Kamis (13/2/2020).

Berikut perbincangan jurnalis senior KBR Agus Luqman dengan Mahfud MD, mulai dari soal WNI eks-ISIS, radikalisme, sampai kasus pelanggaran HAM masa lalu.


Pemerintah memutuskan tidak memulangkan WNI eks-ISIS. Bagaimana proses pengambilan keputusannya?

Kita mendengar pendapat masyarakat, ada yang setuju, ada yang tidak. Kita tahu kalau bicara pertimbangan kuantitatif, di atas 90 persen setuju tidak dipulangkan.

Ada yang tidak setuju, agar itu dipulangkan saja, ada yang mengatakan begitu kita dengarkan juga. Kita jadikan itu masukan untuk antisipasi kalau terjadi sesuatu di luar yang kita duga.

Tetapi kalau Anda bicara kenapa itu diputuskan, karena tugas negara itu melindungi rakyat, segenap bangsa dan seluruh tumpah darah itu dilindungi.

Kita wajib melindungi warga negara di luar negeri, seperti orang yang ada di Syria, Turki, wajib dilindungi. Tapi yang lebih wajib dilindungi lagi yang 260 juta ini yang di dalam negeri, yang mereka bisa terancam virus terorisme kalau mereka (eks-ISIS) dipulangkan begitu saja.


Presiden sudah meminta 689 WNI eks-ISIS untuk diidentifikasi. Itu dikerjakan siapa?

BNPT, bekerja sama dengan BIN, Kemenkumham, Kemendagri, semuanya bekerja serentak


Hasil identifikasinya untuk apa?

Menentukan tindakan-tindakan hukum berikutnya. Untuk mencari siapa jaringannya di sini dan sebagainya. Kalau diketahui identitasnya kan jaringannya bisa dikejar.


Resolusi PBB tahun 2014 dan 2017 merekomendasikan agar bekas anggota kelompok teroris dipulangkan dan didadili di tanah airnya. Apa pemerintah membahas opsi itu?

Nggak sempat dibahas. Kita cenderung, dia (eksteroris) diadili di negara di mana mereka berada.


Bagaimana dengan anak-anak? Adakah pertimbangan untuk memulangkan mereka?

Pertama, usia, kita sepakati di bawah 10 tahun. Yang kedua, itu adalah anak yatim piatu, tidak punya bapak-ibu.

Dan itu anak-anak ya, bukan orang (dewasa) atau kakek-kakek yatim piatu. Tapi anak yatim piatu di bawah 10 tahun. Itu (kriterianya) datang dari Presiden Jokowi, sesudah berbicara dengan Perdana Menteri Australia.

Di Australia itu anak-anak (eks-ISIS) yang yatim piatu dipulangkan, diserahkan ke kakeknya. Yang tidak ada keluarganya diangkat seorang pengampu. Pak Jokowi merasa terenyuh juga, ya, jadi anak-anak (eks-ISIS) dipulangkan.


Pemerintah sudah membuat Surat Keputusan Bersama (SKB) 11 Menteri untuk memerangi radikalisme. Apakah itu khusus untuk kalangan ASN saja?

Tidak hanya untuk ASN, tapi untuk semua (masyarakat). Mulai dari preventif itu ada Kemenag, Kemendikbud, itu dalam rangka deradikalisasi, menangkal radikalisme (di masyarakat).

Lalu ada BNPT yang tindakan teror. Lalu ada Menpan RB untuk yang ASN. Jadi SKB 11 Menteri itu payung untuk semuanya.


Bagaimana negara merespon wacana khilafah, negara Islam, dan sebagainya?

Tergantung dari bentuk wacana itu. Radikalisme, terorisme, itu kan berpaham dari sebuah ide, wacana. Nah, wacana itu ketika muncul ke publik ada tiga (jenis).

Satu, takfiri, orang yang menganggap orang lain yang berbeda itu salah. Itu ada hukumnya sendiri, ada hukum pembuktian ujaran, hukum tentang diskriminasi.

Lalu yang kedua, jihadis, seperti FTF (foreign terrorist fighter). Nah, itu nanti yang tangani BNPT.

Lalu ada (ketiga), ideologis, seperti, maaf, organisasi yang sudah dibubarkan bicara khilafah. Kalau itu masih berwacana ya kita hantam dengan wacana, lawan dengan wacana.

Tapi ketika itu bentuknya jihadis, saya minta yang turun tangan BNPT dan Densus. Kalau takfiri ya polisi dan sebagainya.


Ada beberapa tempat ibadah yang menyuarakan pemerintah Indonesia itu Islamophobia. Bagaimana pemerintah menyikapinya?

Nggak ada Islamophobia, saya paling menentang. Islamophobia itu kan artinya begini, bisa dilihat dari dua (sudut pandang).

(Sudut pandang) pemerintah yang Islamophobia, pemerintah yang tidak suka kepada Islam, benci kepada Islam, sehingga melakukan diskriminasi.

Kalau dari sudut (pandang) rakyat, Islamophobia itu orang Islam tapi malu disebut Islam, takut disebut Islam karena takut didiskriminasi.

Nah, di Indonesia nggak ada sekarang pemerintah yang membenci Islam. Semua pemerintahnya Islam juga, rakyatnya Islam juga, mau ber-Islam di mana saja tidak ada yang melarang dan tidak ada yang malu.

Kalau ditunjukkan mana phobianya? Nggak ada. Saya juga pernah menulis di Kompas, nggak ada yang membantah, memang nggak ada (Islamophobia).


Bagaimana dengan izin ormas Front Pembela Islam (FPI) yang tidak diperpanjang?

FPI nggak ada perkembangan baru. Mereka kan tidak memenuhi syarat, kemudian nggak mengajukan (perpanjangan izin ormas), ya sudah biarin saja. Artinya, sekarang izinnya (FPI) sudah mati, izin operasionalnya.


Pak Mahfud mengangkat kembali RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) ke DPR, setelah UU KKR yang lama dibatalkan MK. Apa bedanya draf RUU yang sekarang beda dengan yang dulu?

Nggak ada perbedaan. Dulu kita itu kelirunya hanya sedikit sebenarnya. Waktu itu (UU KKR yang dibatalkan) ada kalimat bahwa 'tindakan pidana tidak harus dibawa ke pengadilan, tapi bisa didamaikan', itu keliru.

Sebenarnya itu saja, yang lain isinya (RUU KKR baru) hampir sama, tapi disesuaikan dengan perkembangan sekarang.

Sudah banyak yang selesai juga kasusnya sejak UU (KKR) itu dibatalkan oleh MK. Nanti (RUU KKR) yang baru disesuaikan dengan perkembangan baru, tindak pidana baru yang di luar UU (lama) itu, dan kemudian kita akan beri pintu untuk diselesaikan.


Aktivis sering menyebut slogan 'tidak ada rekonsiliasi, tanpa pengungkapan kebenaran'. RUU KKR ini nanti fokusnya apa?

Pengungkapan kebenaran dulu. Lalu, sesudah ada faktanya, apakah akan diselesaikan yudisial atau non-yudisial, itu namanya KKR.


Banyak kasus pelanggaran HAM masa lalu yang sulit diungkap karena pelakunya mungkin sudah meninggal, atau barang buktinya susah dicari. Bagaimana KKR bisa mengungkap kebenaran?

Pengungkapan bahwa bukti dan saksinya sudah tidak ada, itu kebenaran juga. Itu termasuk pengungkapan kebenaran.


Jika bukti dan saksinya tidak ada, apa bisa melakukan rekonsiliasi?

Bisa. Justru karena buktinya sudah tidak ada, maka penyelesaiannya non-yudisial. Salah satu bentuk non-yudisial itu rekonsiliasi.

Artinya, ya sudahlah kita bersatu lagi, ngapain kita ribut-ribut, ini sudah diungkapkan. Tapi kalau ada buktinya, kita akui, kan begitu. Nanti akan semua diatur dalam rancangan undang-undang (KKR) itu.


Jika pelaku pelanggaran HAM masa lalu sudah tidak ada, rekonsilasi dengan siapa? 

Rekonsiliasi itu kan mau menyelesaikan fakta bahwa masyarakat terbelah karena perisitiwa yang dianggap pelanggaran pidana masa lalu.

(Konflik) antara keturunan orang yang haknya dilanggar dan keturunan orang yang dianggap melanggar, terus terbelah sampai sekarang. (Kalau) sudah tidak ada buktinya lagi, mari kita sekarang rekonsiliasi, bersatu sebagai rakyat.

Rekonsiliasi itu artinya forget and forgive, lupakan dan maafkan, kan begitu. Tapi ungkap dulu (kasusnya) tentunya. Itu intinya rekonsiliasi.


Kapan RUU KKR rampung?

Ya.. Secepatnya kita akan usahakan. Karena sebenarnya tidak ada sesuatu yang mendesak.


Apa Pak Mahfud bersedia menyampaikan hal-hal terkait RUU KKR ini kepada para peserta Aksi Kamisan?

Saya menyampaikan secara publik saja. Kalau diperlukan suatu saat, ya kita sampaikan.


Apa Pak Mahfud ada keinginan untuk bertemu peserta Aksi Kamisan?

Keinginan sih nggak. Tapi kalau diperlukan, nanti bisa.


Editor: Rony Sitanggang

  • ruu kkr
  • radikalisme
  • terorisme
  • WNI eks isis
  • islamophobia
  • pelanggaran ham

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!