BERITA

Pro Kontra RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Ini Alasannya

""Bahkan menyudutkan seperti saat penyidik bertanya apakah saya menikmati, atau kenapa sampai berulang.""

Pro Kontra RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Ini Alasannya
Aksi lawan kekerasan seksual. (Foto: Antara)

KBR, Jakarta- RA, salah satu korban kekerasan seksual mendesak  Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS)  segera disahkan. Menurut RA, desakan pengesahan RUU ini juga sudah ia sampaikan kepada Presiden dalam surat aduan yang dilayangkan beberapa waktu lalu.

Menurut RA, undang-undang yang ada saat ini sangat mendiskriminasi dan menyudutkan korban kekerasan seksual. Kerap kali korban akan merasa mendapat pelecehan berkali-kali karena tak adanya perlindungan yang maksimal.

RA menilai dengan disahkannya RUU PKS, korban kekerasan seksual akan lebih berani untuk bersuara. Selain itu, RUU ini juga menjamin perlindungan kepada korban tindak pelecehan dari berbagai kasus.

"RUU PKS salah satu yang saya minta ke Presiden agar korban seperti saya bisa dapat keadlian. Untuk kasus saya dimana bentuk perkosaan karena  UU sebelumnya sangat menyulitkan. Bahkan menyudutkan seperti saat penyidik bertanya apakah saya menikmati, atau kenapa sampai berulang. Sementara di RUU PKS, pelecehan seperti cat calling kalo kita keberatan bisa dipidanakan," kata RA kepada KBR, Kamis (31/1/2019).


RA mengatakan, dengan disahkannya RUU PKS ini, korban pelecehan atau kekerasan seksual yang selama ini diam bisa mendapatkan keadilan. RUU ini juga diharapkan bisa menghapus stigma yang ada di masyarakat kepada para korban kekerasan seksual. Menurut RA, dengan disahkannya RUU ini paling tidak bisa mengurangi resiko kerentanan perempuan mendapatkan tindakan pelecehan ataupun kekerasan seksual.


"Kalau ada yang bilang RUU ini melegalkan zina saya tidak sepakat. Karena zina ada undang-undang sendiri yang diatur dalam KUHP," ujar RA mengomentari petisi daring yang menolak RUU dengan alasan  Pro Zina.

Petisi penolakan itu hingga berita ini diterbitkan telah ditandatangani lebih 143 ribu akun. Sementara Petisi daring yang mendesakkan pengesahan telah ditandatangani lebih 128 ribu akun.

Petisi penolakan  yang dibuat Maemon Herawati  menyebut RUU ini berpotensi melegalkan aksi perzinahan. Dalam keterangannya kepada KBR, Maemon Herawati mengatakan ada kekosongan dalam RUU ini.

Kata dia, RUU PKS tidak berbicara tentang kejahatan atau aktifitas seksual yang melanggar norma susila dan norma agama. Menurut Dia, hal-hal yang tak diatur dalam RUU itu justru memungkinkan jadi celah untuk melegalkan aksi perzinahan.

"Saya selalu peduli pada perempuan. Saya satu-satunya perempuan yang minta ospek dipisahkan. Jangan dibenturkan seakan-akan saya tak peduli pada perlindungan pada perempuan. Tapi kita tidak boleh menutup mata bahwa ada kekosongan dalam RUU ini yang tak bicara soal kejahatan seksual. Soal aktifitas seksual yang melanggar norma susila dan norma agama. Persoalannya itu," kata Maemon, Kamis (31/1/2019).


Dosen Universitas Padjajaran ini mengatakan, petisi itu dibuat sebagai salah satu bentuk aspirasi masyarakat yang resah jika RUU PKS benar-benar disahkan. Maemon juga tengah mencoba opsi lain sebagai salah satu upaya menolak pengesahan RUU ini. Salah satunya meminta audiensi dengan Komisi VIII DPR yang bertanggung jawab menggodok RUU ini. Maemon mengatakan  akan berkirim surat sebagai perwakilan  warga yang sudah menandatangani petisi penolakan RUU ini.


Menggapi pro dan kontra itu, Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo mengatakan akan menjaga ketat Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) sebelum RUU tersebut diratifikasi.

"Sekarang kita melihat mendukungnya dari sisi apa,  menolaknya dari sisi apa. Tetapi kemarin ada gambaran bahwa ada potensi UU ini melonggarkan zina. Saya pastikan bahwa kami akan menjaga dengan ketat, karena dasar kita dasar agama, mayoritas adalah muslim Masalah zina dan LGBT pasti nomor satu akan kita hadang," kata Bambang saat ditemui di gedung DPR, Jakarta. Rabu (30/01/2019).


Bambang mengatakan DPR sedang mengkaji ulang RUU tersebut, karena di lain waktu banyak masyarakat yang justru mendesak DPR untuk mempercepat penyelesaiannya. Menurut Dia, pada dasarnya DPR tidak akan membuat aturan yang bertentangan dengan norma.


Tapi  Komisi Nasional Perempuan justru menyayangkan adanya penolakan terhadap RUU tersebut. Komisioner Komnas Perempuan, Indriyati soeparno mengatakan, jika memahami lebih detil isi RUU banyak manfaat yang bisa didapat dalam hal perlindungan perempuan.  


"Memang akan sangat merugi bagi kita semua,  justru ini (RUU) cara untuk melindungi perempuan. Tapi gini menurut saya ketika ada petisi penolakan lalu kemudian teman-teman yang bekerja mendengarkan suara korban juga membuat kampanye juga petisi serupa, yang kemudian memberikan penjelasan terhadap substani dan isi poin-poin utama RUU PKS ini saya kira bisa menjadi kampanye yang baik," ujar Indriyanti, saat dihubungi KBR, Kamis (31/01/2019).


Menurut Indri, mereka yang menolak tidak paham  isi RUU. Padahal kata dia isi dalam RUU mewadahi kasus-kasus pelecehan seksual yang terjadi di tempat umum, yang dulu tidak memiliki dasar hukum untuk dilaporkan.


"Soal adanya dugaan legitimasi zinah, itu sama sekali tidak ada. Ini ada karena keprihatinan panjang dari korban kekerasan seksual yang ingin menempuh jalan hukum atau mengakses keadilan menemui jalan buntu. Misal mereka yang mendapat pelecehan di jalanan, transportasi umum, itu sulit laporkan kasusnya dan mendapat aspek keadilan. Karena tidak ada aturan hukum, aturan pidana yang mengatur. Nah RUU PKS menjawab permasalahan itu," ujar Indriyati.


Selain adanya aturan hukum baku yang mengatur kasus kekerasan seksual, kata Indri dalam RUU tersebut juga terdapat arahan bagaimana mencegah dan menangani para korban kekerasan seksual.

Editor: Rony Sitanggang

 

 

 

 



 

  • Kekerasan Seksual
  • Pelecehan Seksual
  • kdrt

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!