BERITA

Uskup Agung Semarang Ajak Dunia Pendidikan Ikut Menghalau Intoleransi

"“Harapannya nanti akan menghasilkan orang-orang yang sangat inklusif, berani untuk merangkul, dan berani untuk bergaul dengan siapapun tanpa ada sekat dan mau menerima satu sama lain,“ jelasnya."

Ken Fitriani

Uskup Agung Semarang Ajak Dunia Pendidikan Ikut Menghalau Intoleransi
Uskup Agung Semarang Robertus Rubiyatmoko di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Jumat (10/1/2020). (Foto : KBR/Ken Fitriani)

KBR, Yogyakarta – Kasus intoleransi masih banyak terjadi di Indonesia. Dalam hal ini, dunia pendidikan memiliki peran penting untuk menghalau maraknya kasus intoleransi tersebut. 

"Pendidikan memiliki peran besar dalam membentuk pribadi atau manusia yang sungguh-sungguh memiliki toleransi, mempunyai keterbukaan untuk keberagaman dan perbedaan," kata Uskup Agung Semarang, Robertus Rubiyatmoko, usai memberikan paparan pada acara Konferensi Sekolah Katholik Unggul, di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Jumat (10/1/2020).

Menurutnya, sekolah di manapun harus mampu memberikan perhatian kepada anak didik. Mereka diajari tentang nilai-nilai kehidupan, termasuk diantaranya adalah nilai kebangsaan. 

Nilai kebangsaan ini penting, sebab Indonesia merupakan negara yang majemuk dengan beragam suku bangsa, agama, dan ras. 

"Harapannya nanti akan menghasilkan orang-orang yang sangat inklusif, berani untuk merangkul, dan berani untuk bergaul dengan siapapun tanpa ada sekat dan mau menerima satu sama lain," jelasnya.

Pendidikan dasar, tambah Rubiyatmoko, menjadi pilar penyangga karakter seseorang. Sebab, di dalam pendidikan dasar tersebut, nilai-nilai kebaikan dapat ditanamkan ke dalam diri anak, sehingga setelah dewasa nanti anak akan terbiasa dengan nilai-nilai tersebut. 

"Terutama PAUD, TK, SD, SMP, ini mempunyai peran yang luar biasa untuk pembentukan sikap hidup manusia. Mudah-mudahan konferensi ini menjadi upaya untuk gerak bersama dalam mendampingi anak-anak menjadi manusia yang nasionalis dan mempunyai keterbukaan untuk kebersamaan," tandasnya.

Di tempat yang sama, Staff Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Iwan Sahril menambahkan, pendidikan karakter tidak hanya cukup dengan strategi regulasi. Pendidikan karakter yang ada di dalam masyarakat jelas berdasarkan Pancasila, namun perlu adanya elaborasi di setiap butir silanya. 

"Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam setiap butirnya mungkin selama ini terlupakan. Artinya, pendidikan karakter butuh peran serta semua pihak, yakni keluarga, sekolah, dan masyarakat," katanya.

Iwan menjelaskan, ekosistem tri sentra pendidikan tersebut harus saling memberikan ruang untuk menguatkan nilai-nilai luhur melalui interaksi, kolaborasi, yang perlu difasilitasi lebih jauh lagi. Tanpa ada ekosistem yang bagus, maka pendidikan tidak dapat bergerak sendiri. 

"Jangan terpisah juga, saling komunikasi dan integrasi ketiga sentra pendidikan tadi," ungkapnya.

Masalah penerapan nilai-nilai Pancasila ini, menurut Iwan Sahril, tidak perlu ditambah dengan jumlah mata pelajaran yang harus diampu siswa. Sebab, hal tersebut akan memberatkan siswa dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar. Nilai-nilai tersebut dapat diimplementasikan ke dalam setiap mata pelajaran. 

"Mau bidang apapun itu intinya adalah values. Guru harus jadi teladan, tidak hanya dalam memberikan ilmunya. Being a human being. Seperti kata Ki Hajar Dewantara, Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangunkarsa, Tut Wuri Handayani," paparnya.

Editor: Agus Luqman 

  • intoleransi
  • pendidikan
  • keberagaman

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!