BERITA

SETARA: Periode Pertama Jokowi, Pemda Sering Langgar Kebebasan Beragama

"“Sepanjang periode pertama Pak Jokowi menjadi Presiden RI terjadi 846 peristiwa (pelanggaran kebebasan beragama) dengan 1.060 tindakan.""

Heru Haetami, Adi Ahdiat

SETARA: Periode Pertama Jokowi, Pemda Sering Langgar Kebebasan Beragama
Ilustrasi: Penyegelan masjid Ahmadiyah oleh Satpol PP di Depok, Jawa Barat. (Foto: ANTARA)

KBR, Jakarta - Dalam lima tahun terakhir, pemerintah daerah (pemda) sering melanggar hak kebebasan beragama dan berkeyakinan warga.

Hal tersebut disampaikan Halili, Direktur Riset SETARA Institute, dalam acara Diskusi Kondisi dan Proyeksi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia, di Hotel Ibis Tamarin Jakarta, Selasa (7/1/2020).

“Sepanjang periode pertama Pak Jokowi menjadi Presiden RI terjadi 846 peristiwa (pelanggaran kebebasan beragama) dengan 1.060 tindakan," kata Halili dalam  acara tersebut.

Menurut catatan SETARA, aktor pelanggaran tertinggi adalah pemda, dengan jumlah tindakan sebanyak 157 kali.

Jawa Barat dan DKI Jakarta menjadi daerah yang menduduki posisi teratas, dengan pelanggaran kebebasan beragama lebih dari 100 peristiwa.

SETARA juga mencatat ada sepuluh aktor non-pemerintah yang kerap bertindak intoleran. Posisi teratasnya ditempati oleh kelompok warga dan ormas keagamaan. 


Pemda Langgar Kebebasan Beragama Demi Popularitas?

Dalam kesempatan sama, Jemaat Ahmadiyah Indonesia menilai pemda kerap melanggar kebebasan beragama demi popularitas.

“Saya melihat pola pemerintah, khususnya pemerintah daerah, mereka akan sangat mudah berubah kalau masyarakatnya itu berubah. Jadi sangat tergantung pada popularitas," kata Yendra, juru bicara Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Selasa (7/1/2020).

"Tergantung 'anginnya' ke mana, Kalau 'anginnya' moderat ya oke, tapi kalau kelompok intolerannya kuat, ya (pemda) bisa lebih berpihak ke sana. Lebih pada masalah popularitas,” ujarnya lagi.


Tegakkan Toleransi Lewat Edukasi dan Konstitusi

Pandangan lain disampaikan Siti Musdah Mulia, Sekretaris Jenderal Indonesia Conference on Religion and Peace (ICRP).

Menurut Siti, masalah kebebasan beragama di Indonesia juga terjadi karena kurangnya pemahaman soal toleransi.

“Saya melihat bahwa yang pertama sekali ada persoalan struktural. Kita tidak sepaham dengan pemerintah, dengan para pengambil kebijakan, tentang makna intoleransi. Buat saya, penegakkan hak kebebasan umat beragama itu maknanya adalah upaya penghapusan semua bentuk intoleransi dan diskriminasi berbasis agama dan kepercayaan,” kata Siti.

Siti lantas mendorong pemerintah agar meningkatkan edukasi terkait hal tersebut.

Ia juga menyarankan adanya diskusi terbuka soal ayat konstitusi yang berpeluang membenarkan tindakan intoleran, seperti Pasal 28 J UUD 1945.

Pasal 28 J UUD 1945 menyatakan bahwa hak asasi warga bisa dibatasi berdasarkan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.

Siti menilai pasal itu 'tidak jelas', karena bisa mengizinkan pembatasan kebebasan hak beragama suatu kelompok, berdasarkan nilai agama kelompok lain.

“Tentang pembatasan hak kebebasan beragama dengan nilai-nilai agama, itu harus jelas. Karena selama itu tidak jelas, beginilah kita semuanya. Tahun depan dicatat oleh SETARA akan begini lagi, tidak ada perubahannya,” kata Siti.

Editor: Agus Luqman

  • toleransi
  • intoleransi
  • kebebasan beragama

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!