BERITA

Refleksi Kasus Reynhard Sinaga, Koalisi Sipil Minta Sahkan RUU PKS dan Tolak Stigma

"Koalisi mengingatkan kasus Reynhard Sinaga tak semestinya menimbulkan stigma terhadap kelompok orientasi seksual minoritas. Pemerkosaan dan pencabulan bisa dilakukan oleh siapapun."

Refleksi Kasus Reynhard Sinaga, Koalisi Sipil Minta Sahkan RUU PKS dan Tolak Stigma
Rekaman CCTV dan foto yang digunakan sebagai bukti dalam kasus kekerasan seksual Reynhard Sinaga (6/1/2020). (Foto: ANTARA via REUTERS)

KBR, Jakarta- Reynhard Sinaga, mahasiswa doktoral asal Indonesia yang berkuliah di Inggris, didakwa melakukan 159 aksi kekerasan seksual kepada puluhan laki-laki di sana.

Reynhard didakwa melakukan pemerkosaan, pencabulan, serta percobaan perkosaan kepada korban-korbannya yang sedang tak sadarkan diri karena mabuk alkohol.

Reynhard telah divonis hukuman minimum 30 tahun penjara oleh pengadilan setempat.


Indonesia Belum Punya Hukum Penanganan Kekerasan Seksual

Menurut Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (Kompaks), kasus Reynhard Sinaga itu bisa tuntas karena adanya hukum yang mengakomodir penanganan kekerasan seksual di Inggris.

Namun, Kompaks menilai hukum semacam itu belum ada di Indonesia. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) pun belum kunjung disahkan hingga sekarang.

"Kompaks mendorong dibentuknya layanan pengaduan kekerasan seksual dan disahkannya RUU PKS oleh DPR sebagai perangkat hukum yang mencegah dan menangani kekerasan seksual serta memberikan pemulihan pada korban," tegas Kompaks dalam rilisnya yang diterima KBR, Rabu (8/1/2020).

"Patut untuk dicontoh dari Universitas Manchester, tempat pelaku mengambil gelar S2-nya di Inggris, adalah adanya layanan pengaduan melalui telepon yang menawarkan dukungan untuk korban kekerasan seksual ataupun bagi mereka yang terdampak." 

"Setiap civitas academica yang merasa telah menjadi korban dari Reynhard Sinaga dapat melaporkan kasusnya melalui layanan pengaduan tersebut."

"Sedangkan di Indonesia sendiri, kekerasan seksual yang lebih banyak terjadi kepada perempuan dalam lingkungan kampus, seperti kasus Agni di UGM ataupun kasus SS di UI, saat ini masih mandek sampai pengadilan," singgung Kompaks.


Kekerasan Seksual Bisa Dilakukan Siapapun

Selain menyoroti RUU PKS, Kompaks mengingatkan bahwa kasus Reynhard Sinaga tak semestinya menimbulkan stigma terhadap kelompok-kelompok tertentu, semisal kelompok orientasi seksual minoritas.

Pasalnya, kejahatan pemerkosaan dan pencabulan bisa dilakukan siapapun.

"Kekerasan seksual bisa dilakukan oleh dan kepada siapapun tanpa memandang kelas, tingkat pendidikan, agama, umur, jenis kelamin, dan orientasi seksual," tegas Kompaks.

Menurut Catatan Tahunan 2019 Komnas Perempuan, kekerasan seksual di Indonesia nyatanya banyak dilakukan ayah kandung, paman, suami, sepupu, atau kerabat di lingkungan rumah tangga, dengan korban anak perempuan.

Data itu juga menunjukkan kekerasan terhadap perempuan meningkat 14 persen di tahun 2019 menjadi sekitar 406 ribu kasus.

"Jumlah tersebut kian meningkat dikarenakan adanya kekosongan hukum atas penanganan kekerasan seksual," jelas Kompaks.

"Seharusnya kasus Reynhard Sinaga dapat menjadi pembelajaran, dan data Komnas Perempuan ini dapat mendorong pengesahan RUU PKS yang berfokus pada penanganan kasus kekerasan seksual dan pemulihan korban, tanpa sekat-sekat biner," tegas mereka.

Kompaks berisi gabungan dari belasan organisasi sipil yakni YLBHI, SGRC Indonesia, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, Arus Pelangi, PKBI, YPII, STFT Jakarta, Sanggar Swara, SEJUK, LBH Pers, Kontras, HRWG, PurpleCode, Collective, LBH Apik Jakarta, dan ICJR.

Editor: Sindu Dharmawan

  • kekerasan seksual
  • Penghapusan Kekerasan Seksual
  • ruu pks
  • Reynhard Sinaga
  • Predator
  • Inggris

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!