BERITA

Harga Garam Rp70 Rupiah Perkilo, Petani Minta Pemerintah Stop Impor

Harga Garam Rp70 Rupiah Perkilo, Petani Minta Pemerintah Stop Impor

KBR, Jakarta - Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengritik kebijakan pemerintah yang hendak menaikkan kuota impor garam dari 2,7 juta ton tahun 2019 menjadi 2,9 juta ton tahun 2020.

Menurut Sekjen KIARA Susan Herawati, sampai sekarang kualitas garam lokal umumnya memang belum bisa memenuhi kebutuhan industri. Namun, pemerintah tak kunjung bertindak untuk mengatasi masalah tersebut.

"Setiap tahun kita tahu masalahnya itu ya. Tapi di dalam anggaran belanja negara itu nggak ada itikad baik ke sana, untuk memperbaiki, mendorong supaya garam rakyat ini bisa naik sampai 97 persen NaCl-nya," kata Susan saat dihubungi KBR, Jumat (10/1/2020).

Berita Terkait:

    <li><a href="https://kbr.id/nusantara/07-2019/pemerintah_ditagih_modernisasi_industri_garam_lokal/99979.html">Pemerintah Ditagih Modernisasi Industri Garam Lokal</a></li>
    
    <li><a href="https://kbr.id/07-2019/harga_garam_anjlok__negara_wajib_intervensi_pasar/99963.html">Harga Garam Anjlok, Negara Wajib Intervensi Pasar</a></li></ul>
    

    Menurut Susan, masalah sektor pergaraman ini terus terjadi karena tak adanya political will dari pemerintah, bukan karena kurangnya teknologi.

    Ia juga menyoroti masalah data garam pemerintah yang kerap berbeda-beda, hingga menyebabkan kuota impor jadi berlebihan.

    KIARA mendesak pemerintah membuat strategi komprehensif untuk mencapai swasembada garam, dengan melibatkan stakeholder termasuk petambak garam.

    KIARA pun meminta pemerintah membuat sentra produksi dan koperasi petambak garam, supaya hasil produksinya bisa sesuai dengan kebutuhan pasar dan bisa terserap maksimal.

    Harga anjlok terus

    KBR,Cirebon - Memasuki musim hujan, petani Garam di Cirebon menjerit. Kondisi ini disebabkan oleh harga jual garam yang terus merosot hingga Rp 70 perkilogram.

    Selama musim hujan para petani garam menghentikan proses produksi karena tidak ada panas matahari.


    Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari selama musim hujan, banyak petani garam beralih profesi diantaranya menjadi petani bawang, tukang bangunan, bekerja serabutan, bahkan ada yang merantau.


    Turunnya harga garam dan penghentian proses produksi terjadi sejak akhir November 2019 lalu.


    Salah seorang petani garam Desa Rawaurip Kecamatan Pangenan Kabupaten Cirebon, Ismail mengatakan, harga garam terus merosot ke titik terendah sejak Juli 2019.


    "Sekitar Juli 2019 lalu harga jual ke tengkulak di lahan Rp700 perkilogram. Terus turun sampai Rp70 per kilogram di bulan November 2019," katanya, Selasa, 7/01/2020.


    Rendahnya harga garam membuat ratusan petani menumpuk hasil panen di gudang, karena harga jual membuat mereka rugi.


    "Satu petani saja di gudang rata-rata ada 100 ton, di Kabupaten Cirebon sendiri ada sekitar 700 sampai 800 petani garam yang tidak menjual hasil panennya," imbuhnya.


    Ia berharap, pemerintah membuat regulasi mengenai harga garam agar harga garam stabil dan tidak dipermainkan oleh tengkulak.


    "Kalau untuk harga kita petani inginnya pemerintah membuat standarisasi harga, karena selama ini harga garam tidak ada standarisasinya. Ini yang membuat tengkulak bermain," ujarnya.


    Ia juga meminta pemerintah menghentikan impor garam, karena petani garam Cirebon sanggup memproduksi garam berkualitas jika mendapat bantuan geo membran dari pemerintah.


    "Di sini banyak garam tapi impor tetap masuk, dengan alasan garam dari petani tidak bisa untuk industri. Sebenarnya petani sanggup memproduksi garam yang kualitasnya masuk industri asalkan mendapat bantuan geo membran dari pemerintah. Karena petani di sini sudah lama tidak mendapat bantuan geo membran," kata Ismail.

    Editor: Agus Luqman

  • petani garam
  • petambak garam
  • garam
  • garam impor

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!