BERITA

Sekeluarga Terancam Pembunuhan, Direktur Walhi Lapor Ke Polda NTB

""Kejadiannya ada di rumah, kemudian membakar di titik titik pintu keluar rumah. Ini niatnya bukan harta, namun niatnya menghabisi nyawa saya dan keluarga,""

Zainudin Syafari, May Rahmadi, Resky Novianto

Sekeluarga Terancam Pembunuhan, Direktur Walhi Lapor Ke Polda NTB
Rumah Direktur Walhi NTB Murdani, pasca pembakaran Senin (28/01/19). (Foto: Ist)

KBR, Mataram- Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTB Murdani ditemani kuasa hukum, jajaran Walhi pusat dan Amnesty Internasional mendatangi Polda NTB,  melaporkan dugaan perencanaan pembunuhan terhadap dirinya dan keluarganya. Peristiwa  terjadi pada Senin (28/01) dini hari lalu sekitar pukul 03.00 di rumahnya di Desa Menemeng, Kecamatan Pringgarata, Lombok Tengah.

Murdani usai melaporkan kasusnya ke penyidik Polda NTB  menduga kasus yang menimpanya bukan hanya sekadar pembakaran mobil dan rumah semata seperti perkiraan awal, melainkan perencanaan pembunuhan terhadap dirinya beserta keluarga. Dugaan itu muncul karena titik kebakaran berada di pintu-pintu keluar rumah yang memungkinkan penghuninya terjebak didalam rumah saat kebakaran terjadi. Terdapat sekitar empat titik yang menjadi tempat api mulai tersulut.


“Kalau melihat kronologisnya, jika teror hanya menghabisi mobil, bisa dihabisi di pinggir jalan atau di mana saja. Namun karena kejadiannya ada di rumah, kemudian membakar di titik titik pintu keluar rumah. Ini niatnya bukan harta, namun niatnya menghabisi nyawa saya dan keluarga," kata Murdani, Rabu (30/01)


Murdani menduga kasus pembakaran rumahnya awal pekan kemarin sangat kuat hubungannya dengan aktivitas Walhi NTB yang terus melawan aktivitas pertambangan galian C di desa setempat. Dugaan itu semakin kuat karena sebelum rumahnya dibakar, beberapa kali rumahnya dilempari batu oleh orang tak dikenal. Bahkan kata Mudradi, di tahun 2016  muncul ancaman pembunuhan terhadap dirinya melalui SMS.


Meskipun sudah melapor ke Polda NTB, namun  penyidik kepolisian belum menerima laporan tersebut karena adanya berkas berkas yang harus dilengkapi. Sebelum melapor ke Polda, Murdani juga sudah memberikan laporan ke Polsek Pringgarata atas kasus pembakaran rumah. Namun laporannya ke Polda NTB kali ini lebih dititikberatkan pada dugaan perencanaan pembunuhan terhadap dirinya dan keluarganya.


Wakil Direktur Eksekutif Nasional Walhi Edo Rakhman mengatakan, kejadian tersebut patut diduga sebagai tindakan terencana dan bertujuan untuk membunuh Murdani.   Menurutnya, hal tersebut berkaitan dengan aktivitas Murdani di sana.


"Mereka melakukan pengorganisasian untuk menolak kegiatan pertambangan pasir ilegal. Itu yang kawan-kawan lakukan termasuk mendesak pemerintah untuk tidak mengeluarkan izin. Ini kan yang kemungkinan besar ada kaitannya dengan oknum yang merasa terganggu," kata Edo di kantornya, Jakarta, Rabu (30/1).


Edo mengungkapkan, Murdani memang sangat keras menolak kegiatan penambangan pasir ilegal di sana. Selain mengorganisir massa, Murdani kerap mengkampanyekan dampak buruk dari penambangan pasir itu.


Saat ini, Walhi tengah mengadvokasi tindak-kekerasan yang didapat Murdani. Mereka sempat melaporkan aksi kriminal tersebut ke Polsek di sana, namun Polsek meminta Walhi melaporkannya ke Polda NTB.


Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mendesak negara  serius mengungkap kasus yang menimpa Murdani. Polisi diminta bekerja cepat menyelesaikan kasus tersebut sampai membuktikan keterlibatan dalang yang merencanakan pembakaran rumah Murdani.


Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur mengatakan, penyidikan kepolisian tidak boleh dilakukan untuk mengubur peristiwa sehingga tidak mengungkap apapun. Dia mencontohkan hal tersebut dengan kasus penyerangan terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan. Kasus yang diduga melibatkan aktor intelektual itu tidak terungkap sampai saat ini.


"Serangan terhadap Murdani adalah serangan terhadap sistem negara itu sendiri. Bukan hanya kepada masyarakat sipil saja. Maka aparat negara harus serius mengungkap penyerangan terhadap Murdani," kata Isnur.


Menurut Isnur, penyerangan terhadap Murdani bukanlah kasus kriminal biasa. Sebab, patut diduga, serangan itu terjadi karena Murdani dan kawan-kawannya kerap melawan kepentingan perusahaan tambang.


Karena itu, negara juga harus memberikan perlindungan kepada keluarga dan teman-teman dekat Murdani, melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Lembaga negara tersebut diminta aktif memberikan jaminan keselamatan kepada mereka.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengaku siap melindungi aktivis lingkungan yang mendapat teror atau ancaman dari pihak - pihak tertentu. Menurut Wakil Ketua LPSK, Manager Nasution pengajuan penampingan pada LPSK bisa diajukan oleh korban ataupun kuasa hukum.

"Mekanismenya harus ada permohonan, dan pasti akan kita respon. Kita paham bahwa perjuangan kawan-kawan aktifis ini tidak mudah. Biasanya dapat ancaman atau penganiayaan dan itu memang masuk dalam prioritas kita," katanya.


Wakil Ketua LPSK, Manager Nasution mengatakan, setelah mengajukan permohonan, LPSK akan menempuh sejumlah langkah untuk melindungi korban ataupun saksi. Proses tersebut dimulai dengan proses investigasi yang diikuti perlindungan pada berbagai ancaman, pengawalan hingga mengevakuasi korban atau saksi ke rumah aman.


Kasus penyerangan terhadap Murdani juga menjadi dasar Human Right Watch Indonesia menyoroti kinerja kepolisian, khususnya Polda NTB. Peneliti HRW Indonesia Andreas Harsono mengatakan, kasus tersebut menjadi satu tantangan untuk membuktikan Polda NTB bekerja profesional. Pasalnya, Polda NTB kerap tampak tak serius menyelesaikan masalah-masalah HAM di sana.

Misalnya, kasus pengusiran puluhan jemaah Ahmadiyah di Lombok Timur, NTB, Mei 2018. Sampai saat ini, Andreas menyampaikan, para jemaah Ahmadiyah masih dalam pengungsian dan belum bisa kembali ke kampungnya. Polisi gagal memberikan jaminan keselamatan kepada mereka.


"Ada noda hitam dalam kinerja Polda NTB ini. Saya harap, noda hitam itu tidak ditambah lagi," kata dia.


Senada disampaikan Amnesty International Indonesia. Mereka  menilai, Indonesia memang tidak serius melindungi para pegiat HAM dan lingkungan. Manager Kampanye Amnesty International Indonesia Puri Kencana mengatakan, hal tersebut sudah diketahui secara internasional.


Dia bercerita, Komisioner Tinggi Persatuan Bangsa-bangsa bidang HAM pernah mempertanyakan hal tersebut kepada Presiden Joko Widodo ketika berkunjung ke Indonesia. Saat itu, Jokowi ditanya mengenai keberpihakan negara dalam konteks kekerasan terhadap para pembela HAM.


"Ketika Komisioner Tinggi PBB datang pada Februari 2018, salah satu pokok pembahasan dengan presiden Jokowi adalah mengenai proteksi kepada pembela HAM di Indonesia. Di mana negara? Kenapa negara tidak mampu membongkar kasus-kasus yang melibatkan aktor-aktor yang tidak bisa tersentuh?" Kata dia.


Karena itu, negara mesti serius mengungkap kasus pembakaran rumah Direktur Walhi NTB Murdani. Negara juga perlu memberikan jaminan keselamatan kepada para aktivis dengan bentuk perlindungan.


Sementara itu Kepolisian Daerah (Polda) NTB  mengatakan belum menerima secara resmi laporan dugaan perencanaan pembunuhan terhadap aktivis lingkungan di NTB. Yang sudah ada laporannya yaitu dugaan pembakaran rumah aktivis lingkungan Direktur Eksekutif Walhi NTB Murdani yang dilaporkan di Polsek Pringgarata, Lombok Tengah sesaat setelah kasus kebakaran terjadi pada hari Senin (28/01) lalu.


Juru bicara  Polda NTB I Komang Suartana  berjanji akan menyampaikan kasus ini jika sudah masuk laporan secara resmi ke Polda. Kata dia, laporan dugaan kasus pembakaran rumah itu ditangani oleh Polsek Pringgarata dan Polres Lombok Tengah. Jika nantinya, penanganan kasus ini akan dilakukan di Polda NTB, berkas laporan polisi akan ditarik ke Polda.


Terkait dengan perbedaan materi antara laporan di Polsek dengan di Polda NTB, Suartana mengatakan   kepolisian akan melakukan pendalaman. 


"Dilaporkan kembali nanti LP (Laporan Polisi) yang ada di Polsek itu akan ditarik kalau itu nanti penangannya di Polda. Nanti masuk LP Polda NTB. Nanti kita lihat apakah ada informasi seperti itu (kasus dugaan rencana pembuhuhan), dilihat dari laporan polisi nanti ya. Kita belum dapat laporan terkait rencana pembunuhan. Sejauh ini belum ada informasi dugaan pembunuhan," kata Suartana, Rabu (30/01)


Ia mengatakan, penyidik di Polres Lombok Tengah masih mengumpulkan bukti-bukti dan saksi saksi terkait dengan kasus tersebut. Menurutnya penyelidikan kasus ini tidak mudah. Namun jika ada unsur kesengajaan, akan cukup mudah ditemukan bukti-bukti di TKP semisal botol yang berisi bahan bakar dan lain sebagainya.


"Mungkin ada botol atau percikan api. Jika api cepat membesar berarti ada kesengajaan. Ada indikasi ke sana, namun itu di-backup di Polres," kata Suartana.


Suartana menambahkan, tak tertutup kemungkinan akan diterjunkan tim forensik untuk mencari bukti di TKP jika dibutuhkan. Tim forensik dibutuhkan untuk mengetahui jejak zat yang terdapat di TKP guna mencari tahu penyebab kebakaran.


Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengutuk keras aksi serangan teror berupa pembakaran mobil dan rumah aktivis Walhi NTB. Koordinator JATAM, Merah Johansyah mendesak kepolisian segera mengusut tuntas motif teror pembakaran sekaligus menangkap pelakunya. Menurutnya, kasus teror, serangan, dan kriminalisasi, terhadap warga maupun pejuang lingkungan, yang selama ini bekerja mendorong perbaikan tata pemerintahan dan lingkungan hidup, semakin meningkat.


"JATAM ikut bersolidaritas dan ikut marah, terhadap serangan kepada kawan-kawan di Walhi NTB. Ini kami sebut sebagai serangan, dengan cara melakukan pembakaran itu. Kami minta agar pemerintah dan pihak berwajib dalam hal ini kepolisian, mengusut tuntas. Ini menunjukkan tren kriminalisasi kemudian tren serangan kepada pejuang lingkungan hidup, baik itu warga, aktivis, termasuk organisasi masyarakat itu semakin meningkat trennya." kata Merah saat dihubungi KBR, Rabu (30/1/2019).

 

Merah menuturkan, teror serangan berupa pembakaran mobil dan rumah aktivis pejuang lingkungan di NTB, merupakan penegasan bahwa urgensi terhadap pasal Anti SLAPP (Anti Strategic Lawsuit against Public Participation), yang mengatur tentang perlindungan terhadap pembela HAM dan lingkungan hidup, harus segera diterbitkan. Kata dia, pemerintah harus segera menerbitkan peraturan Presiden atau Keputusan Presiden, sebagai Undang-undang perlindungan terhadap warga atau pejuang lingkungan.


"Pemerintah sampai sekarang tidak sungguh-sungguh untuk menerapkan pasal-pasal anti SLAPP,  pasal perlindungan terhadap pembela HAM dan lingkungan hidup yang ada baik di UU HAM dan UU Lingkungan Hidup nomor 32 Tahun 2009." tegas Merah.


"Harus relevan harus cepat pemerintah menerbitkan Prpres atau Keppres tentang perlindungan terhadap warga atau pejuang lingkungan hidup, bukan lagi selevel peraturan Menteri. Yang sedang berjalan ini kan selevel peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK)." tambahnya.


Merah menambahkan, pemerintah harus bertindak cepat dalam memastikan perlindungan para pejuang lingkungan hidup, agar keselamatannya dapat terjamin dan terproteksi dengan baik. Hal ini harus segera dilakukan, lantaran pola teror, serangan, maupun  kriminalisasi kepada pejuang lingkungan ini tidak hanya kepada masyarakat maupun aktivis, bahkan pernah menimpa akademisi.


JATAM mencatat, sepanjang tahun 2014 hingga 2018, tercatat ada 22 kasus kriminalisasi dan serangan terhadap pejuang anti-tambang di Indonesia. Warga negara yang menjadi korban  kriminalisasi dan serangan ini sebanyak 85 orang. Rata-rata, kasus itu terkait protes penolakan pertambangan batubara, pertambangan emas, dan pertambangan batu gamping untuk kepentingan pabrik semen.




Editor: Rony Sitanggang

  • teror aktivis
  • WALHI

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!