BERITA

Petani Tolak Impor Jagung, Ini Alasan Asosiasi Makanan Tetap Minta

Petani Tolak Impor Jagung, Ini Alasan Asosiasi Makanan Tetap Minta

KBR, Jakarta-    Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rusli Abdullah meminta agar pemerintah tak mengimpor jagung berbarengan dengan panen raya yang diprediksi mulai Februari mendatang. Impor  akan membuat harga jual jagung petani dalam negeri menurun dan membuat rugi.

Ia minta pemerintah memastikan, jagung hasil petani lokal bisa diserap dengan maksimal. Dirinya mengatakan,  tingginya harga jagung belakangan ini  memang memungkinkan untuk pemerintah mengimpor, apalagi pemerintah masih mengantongi izin 30 ribu ton jagung.

Rusli meminta agar  impor dilakukan berdasarkan perhitungan yang betul. Sebab kata dia, pemerintah tak punya data yang pasti mengenai komoditas pangan sehingga jumlah impor sering jadi  polemik. Menurut Rusli, data luas lahan dan luas tanam sangat dibutuhkan sehingga bisa mengestimasi produksi dalam negeri dan sebagai dasar penentuan akan impor atau tidak.

"Impor boleh tapi ini dengan asumsi bahwa kita harus  ada ini dasarnya. Bahwa bener tidak kita memang butuh impor data dan keputusannya berapa-berapa juta ton. Nanti kalau seandainya dihitung-hitung ternyata butuh nih tapi impornya jangan pas panen raya, tapi nanti setelah panen raya," kata Rusli pada KBR.


Rusli juga menekankan pentingnya manajemen logistik pangan yang baik.  Dia menilai, jika data yang dimiliki pemerintah masih tidak jelas maka akan sia-sia dan polemik soal impor akan terus terjadi.

"Pemerintah belum ada data yang pasti, jadi mau impor atau gak impor kalo data semerawut itu menjadi suatu hal yang sia-sia aja," tutupnya. 

Menurut Ketua Gabungan Pengusaha Makanan & Minuman Indonesia (Gapmmi), Adhi S. Lukman mengatakan produksi jagung di dalam negeri dengan kualitas baik saat ini masih belum memenuhi kebutuhan industri makanan. Menurut dia, industri makanan dan minuman membutuhkan   jagung  impor   untuk menambal kebutuhan di dalam negeri.

"Jagung lokal saya kira memenuhi (mutu). Ada yang bisa memenuhi syarat dan tapi memang harus dilakukan pembinaan. Dari petaninya termasuk yang paling sensitif sebetulnya juga food grade   itu misalnya terkait dengan toxin. Karena jagung itu sangat mudah sekali terkontaminasi dengan toxin. Banyak industri jagung lokal yang bisa dipakai, tapi memang secara jumlah belum begitu masif tersedia di dalam negeri sehingga memang dibutuhkan untuk impor sebagian," kata Adi saat dihubungi KBR, Senin (28/1/2019).

 

"Jagung kualitas rendah yang dihasilkan rentan oleh jenis-jenis mikroba tertentu penyebab toxin. Ini juga yang menjadi persyaratan ketat di makanan dan minuman," sambungnya.


Adi menuturkan jagung yang dibutuhkan oleh industri memiliki persyaratan standar baku yang harus dipenuhi. Kualitas dan mutu jagung sangat berpengaruh terhadap hasil olahan industri makanan dan minuman. Dia menyebut salah satu persyaratan jagung yang penting, yakni kadar pati, kadar minyak, dan dan kadar lain dalam jagung yang harus sesuai standar tertentu.


"Tentunya kadar patinya harus ada standar-standar tertentu, ini persyaratan yang dibutuhkan oleh industri makanan dan minuman. Jadi yang diberikan izin oleh kementerian perdagangan selama ini, adalah untuk industri makanan minuman yang berbeda dengan kriteria yang dibutuhkan untuk industri pakan ternak seperti itu," jelas Adi.


"Saya yakin kalau dari ada pembinaan sampai ke bawah, artinya sampai ke petani di hulunya tentunya saya yakin ke depan kita bisa pakai jagung-jagung lokal tapi jumlah juga harus memadai, logistik harus tersedia dengan baik, dan juga lebih penting bisa berdaya saing," ujar Adi.


Adi memperkirakan kebutuhan jagung untuk industri makanan dan minuman di dalam negeri berkisar 800 ribu hingga 1 juta ton untuk setiap tahunnya. Dia berharap  produksi jagung dalam negeri sanggup memenuhi kebutuhan industri.


Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution memerintahkan Kementerian BUMN dan Perum Bulog mengecek langsung panen jagung dan perkembangan harganya di berbagai wilayah di Indonesia. Darmin mengatakan, impor tambahan untuk jagung yang mencapai 30 ribu ton awal tahun ini, belum sanggup menurunkan harga jagung, yang mencapai Rp7 ribu per kilogram. Padahal, harga normalnya di bawah Rp4 ribu per kilogram.

Akibatnya, kata Darmin, pemerintah juga sulit mengendalikan harga telur dan daging ayam, karena sangat tergantung pada harga pakannya.

"Ini harga masih tinggi. Apa yang terjadi? Impor sudah ada, kok belum turun seperti yang diharapkan. Ada turunnya, tapi kecil. Harga di peternak petelur, masih tinggi. Padahal kita impor itu dijualnya hanya Rp4 ribu saja. Dengan situasi itu, kita tugaskan Kementerian BUMN, Bulog, cek di lapangan," kata Darmin di kompleks Istana Kepresidenan, Rabu (23/01/2019).


Darmin mengatakan, Menteri Pertanian telah menjamin produksi jagung sepanjang tahun ini mencapai 1,6 juta ton. Dengan produksi tersebut, kata Darmin, seharusnya suplai jagung di dalam negeri mulai melimpah dan harganya menurun.


Pada akhir 2018, pemerintah juga membuka impor 100 ribu ton jagung, yang hingga kini mulai masuk 74 ribu ton. Sehingga, kata Darmin, dalam beberapa hari ke depan masih akan tiba lagi 26 ribu plus 30 ribu ton jagung ke dalam negeri. Jika produksi jagung di dalam negeri bagus, Darmin meyakini masalah kelangkaan dan mahalnya harga jagung akan segera teratasi. 

Editor: Rony Sitanggang

  • impor pangan
  • impor jagung

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!