BERITA
Korting Penjara Seumur Hidup Seratusan Pembunuh, Ini Alasan Pemerintah
KBR, Jakarta- Istana Kepresidenan tak membantah Presiden Joko Widodo memberikan grasi untuk 115 narapidana kasus pembunuhan. Sekretaris Negara Pratikno enggan menjelaskan soal grasi yang telah tertuang dalam Keputusan Presiden nomor 29 tahun 2018 tersebut.
"Kan yang tahu prosesnya Menkumham. (Keppresnya sudah terbit?) Detailnya
Pak Menkumham lah ya. Tadi saya sudah ditelepon Pak Menkumham, kalau
tanya suruh tanya ke saya. (Tapi kan bentuknya Keppres?) Nanti Pak
Menkumham yang tahu parameternya untuk prosesnya. (Tapi benar ada grasi
itu?) Saya minta Pak Menkumham untuk segera menjelaskan. (Jadi benar?)
Tunggu dulu, daripada salah nanti," kata Pratikno di kantor staf
presiden, Selasa (22/01/2019).
Keppres soal grasi tersebut menjadi polemik karena diberikan pada narapidana pembunuhan. Salah satu nama yang memperoleh grasi adalah I Nyoman Susrama, narapidana kasus pembunuhan berencana pada wartawan Radar Bali, Bagus Narendra Prabangsa. Sustama adalah narapidana seumur hidup, tapi mendapat grasi hingga hukumannya menjadi 20 tahun.
Menteri Hukum dan HAM menjelaskan sejumlah alasan Presiden Joko Widodo meneken Keputusan Presiden nomor 29 tahun 2018 tentang Pemberian Remisi Berupa Perubahan dari Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Penjara Sementara. Salah satunya, kata Yasonna, narapidana tersebut telah menjalani masa hukuman setidaknya lima tahun, dan kasus yang menjerat bukan tergolong kasus kejahatan luar biasa.
"Jangan dipikir ini seolah-olah apa, ini bukan hanya sekali dua kali. Banyak sekali kejadian seperti ini. Dan itu bukan extraordinary crime, bukan jenis extraordinary crime. Yang penting bahwa dia sudah (menjalani hukuman) selama hampir sepuluh tahun. Jadi jangan grasi dikatakan itu perubahan hukuman, remisi, perubahan hukuman," kata Yasonna di kompleks Istana Kepresidenan, Rabu (23/01/2019).
Yasonna mengatakan, remisi khusus untuk narapidana seumur hidup yang diberikan Jokowi itu, sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) nomor 174 tahun 1999 tentang Remisi. Pada pasal 9 beleid tersebut, diatur perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara, harus ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Adapun prosedurnya, permohonan perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara, diajukan oleh narapidana yang bersangkutan kepada presiden melalui Menkumham.
Pasal 9 Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tertulis;
(1) Narapidana yang dikenakan pidana penjara seumur hidup dan telah menjalani pidana paling sedikit 5 (lima) tahun berturut-turut serta berkelakuan baik, dapat diubah pidananya menjadi pidana penjara sementara, dengan lama sisa pidana yang masih harus dijalani paling lama 15 (lima belas) tahun.
(2) Perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pada kasus Susrama, kata Yasonna, narapidana tersebut telah menjalani hampir sepuluh tahun masa tahanannya, sedangkan usianya kini hampir 60 tahun. Ia berkata, pemberian remisi itu pun melibatkan beberapa instansi lain, seperti Sekretariat Negara dan Kejaksaan Agung.
Yasonna juga tak memusingkan berbagai kecaman pada pemerintah karena memberi remisi khusus untuk narapidana seumur hidup tersebut. Menurutnya, narapidana seumur hidup bisa berubah menjadi lebih baik, serta agar lapas tak semakin sumpek.
Ia meminta remisi untuk narapidana seumur hidup tersebut tak digiring pada isu politis.
Pemberian remisi khusus untuk narapidana seumur hidup memang bukan yang pertama. Pada 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi remisi serupa pada dua narapidana kasus pembunuhan. Mereka mendapat remisi perubahan status pidana, dari seumur hidup menjadi pidana 20 tahun.
Keputusan Jokowi itu menuasi protes dari sejumlah organisasi. Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana menyatakan, pemberian remisi tersebut harus berdasarkan pertimbangan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dan juga keadilan bagi keluarga korban.
Arif mengatakan, alasan atau pertimbangan tersebut harus bisa dipertanggung jawabkan kepada publik.
"Itu harus bisa dipertanggung jawabkan, harus sesuai dengan prinsip-prinsip asas-asas umum pemerintahan yang baik. Misalnya, asas kepastian hukumnya gimana? Keadilannya gimana? Proporsional tidak? Manfaatnya buat publik apa? Adil tidak? Jangan sampai remisi ini justru membuat rasa keadilan masyarakat tercabik cabik. Dan diskriminatif, tidak boleh itu," kata Arif di Gedung LBH Indonesia, Kamis (23/01/19).
Arif mengatakan, jangan sampai pemberian hak istimewa dari Presiden itu digunakan secara tidak bertanggung jawab dan sewenang-wenang. Arief menambahkan, jika dinilai tak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berkeadilan, masyarakat bisa menuntut ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Senada disampaikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar yang menyebut pemberian remisi
khusus kepada terpidana pembunuhan wartawan yakni I Nyoman Susrama,
merupakan langkah mundur terhadap penegakan kemerdekaan pers. Kepala
Advokasi AJI Denpasar, Miftahul Huda menganggap pemberian remisi kepada
pembunuh Gde Bagus Narendra Prabangsa kepada otak pembunuhan sebagai
preseden buruk.
Kata Huda, setelah 20 tahun terpidana akan
menerima remisi dan bukan tidak mungkin nantinya akan menerima
pembebasan bersyarat. Selain itu, tak banyak pembunuhan terhadap
wartawan bisa terungkap oleh kepolisian.
"Jadi, awalnya ini kan ungkap kasus korupsi, Prabangsa dihabisi, lalu
kemudian terungkap juga kasus korupsi oleh kepolisian. Artinya ketika
ini diberikan remisi hukuman, tentu jadi preseden yang buruk. Malah
diberi pengurangan, saat yang diungkap ini," tutur Huda kepada KBR,
Selasa, (22/1/2019).
AJI menuntut agar pemberian remisi kepada otak pembunuhan AA Gde Bagus Narendra Prabangsa untuk dicabut atau dianulir.
Editor: Rony Sitanggang
- remisi
- Presiden Jokowi
- yasonna
Komentar (0)
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!