BERITA

Kasus Anak Terjerat Hukum Meningkat, Ini yang Harus Dilakukan

Kasus Anak Terjerat Hukum Meningkat, Ini yang Harus Dilakukan

KBR, Jakarta- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat adanya kenaikan jumlah kasus pelanggaran hak anak pada 2018 lalu. Ketua KPAI, Susanto mengatakan, data kenaikan   berdasarkan pengaduan yang masuk ke KPAI selama 2018.

Kata dia, ada kenaikan yang signifikan dari tahun 2017 hingga 2018.

"Yang cukup mencengangkan adalah di  2018 data pelanggaran hak anak saat ini   naik secara drastis. Ada 300 lebih  data pelanggaran hak anak yang awalnya di tahun 2017 ada 4.579 menjadi 4.885," kata Susanto di Gedung KPAI, Selasa (8/1/18).


Susanto mengatakan, kasus anak berhadapan dengan hukum  menduduki urutan pertama, yaitu mencapai 1.434 kasus. Kemudian, kasus pelanggaran terbanyak kedua adalah kasus terkait keluarga dan pengasuhan alternatif mencapai 857 kasus. Selain itu ada penggolongan kasus berdasarkan bidang yaitu seperti pornografi dan siber, kasus pendidikan, kesehatan dan napza, trafiking dan eksploitasi, sosial dan anak dalam situasi darurat, agama dan budaya, hak sipil dan partisipasi, dan kasus perlindungan anak lainnya.

 

KPAI juga mengklaim, pada sepanjang 2018, telah banyak memberikan usulan dalam perumusan kebijakan dan rekomendasi kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah terkait banyak isu yang telah ditelaah sesuai tren kasus pelanggaran di tahun tersebut.

Anak dengan Kasus Hukum

Menanggapi tingginya kasus Anak Berhadapan Hukum sepanjang 2018, Juru bicara Mabes Polri, Syahar Diantono mengklaim kepolisian bertindak profesional dalam menangani kasus Anak Berhadapan Hukum. Kata dia, di setiap kantor Polsek selalu ada Unit Pelayanan dan Perlindungan Anak, yang serba ramah anak, supaya kejiwaan anak tidak terganggu.

“Sampai ke Polsek ada unit tersendiri, Unit Perlindungan Anak dan Perempuan, yang menangani Polwan-Polwan, dari ruangannya, ada permainannya, ada konselingnya, ada psikolog anaknya, yang dilatih khusus untuk menindaklanjuti UU Perlindungan Anak juga,” ujar Syahar Diantono kepada KBR.

Kata Syahar Diantono  kepolisian menyatakan akan senantiasa mengedepankan tindakan pre-emtif dan preventif.  

Tapi menurut Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta sampai saat ini penanganan kasus anak berhadapan dengan hukum masih tak maksimal. Menurut peneliti LBH Jakarta, Ayu Eza Tiara, aparat penegak hukum masih menempatkan kasus anak sama dengan kasus kejahatan lainnya.

Kata dia, banyak aspek yang harus diperhatikan dalam menjatuhkan hukuman termasuk dalam hal hak yang harus dipenuhi.
 

“Kalau di kepolisian, ketika anak melakukan tidak pidana harus melakukan upaya restorasi juctice. Anak ini harus dipandang sebagai korban, bukan penjahat bertubuh kecil. Nah kebanyakan ketika anak-anak melakukan tindak pidana, tidak diperlakukan sebagai anak yang selayaknya sehingga hak-haknya banyak yang tidak terpenuhi. Salah satunya apa, ketika anak berhadapan dengan hukum yang harus diupayakan adalah, harus diupayakan damai dulu dengan korbannya, yang kedua harus didampingi kuasa hukum,” ujar Ayu  saat dihubungi KBR, Selasa (09/01/2019).
 

Bahkan menurut Ayu, adanya undang-undang darurat senjata tajam menambah parah penanganan hukum. Di mana anak bisa dijerat dengan pasal 12 UU Darurat Sajam hanya karena membawa ketapel. Padahal biasanya anak-anak melakukan kejahatan seperti pencurian dan tawuran maka vonis hukuman menjadi lebih berat.
 

“Banyak kasus pidana anak yang harusnya bisa selesai tanpa persidangan dapat didifersi atau diselesaikan diluar persidangan, namun dengan adanya undang-undang darurat itu maka kasusnya bisa lebih berat dan harus masuk persidangan. Padahal dengan masuk persidangan anak bisa merasa trauma karena akan mendapat stigma buruk,” ujar ayu.
 

Penanganan kasus anak yang tidak tepat membuat anak kehilangan haknya sebagai seorang pelajar dan mendapat pendidikan layak. Ayu mengatakan, hal itu memang sering tidak diperhatikan oleh banyak pihak, selain kepolisian, kementerian PPPA dan Badan Pemasyarakatan (Bapas) pun dinilai abai.
 

“Banyak pihak yang menganggap mereka itu ya penjahat, padahal banyak hal yang harus diperhitungkan jika akan menghukum anak. Semisal seharusnya anak dimasukan kedalam LPKS, semacam lembaga atau rumah panti sosial yang diawasi ketat. Namun sayangnya dalam hal ini Bapas selalu berpendapat bahwa pidana anak, harus tetap dimasukan ke lapas,” ujarnya.
 

Padahal menurut penelitian yang telah LBH Jakarta buat, tidak ada lapas yang memisahkan ruang antara napi anak dengan napi umum di setiap rutan. Hal itu kata Ayu membuat parah kondisi anak, karena anak bisa terbawa pemikiran yang ditularkan oleh napi dewasa dari percakapan sehari-hari.

Kementerian Hukum dan HAM membantah hal tersebut. Juru bicara Ditjen Pemasyarakatan  Ade Kusmanto, mengatakan mengedepankan  konsep restorasi berbasis budi pekerti. Anak binaan tidak dihukum untuk penjeraan, namun mengedepankan pembinaan dan pendidikan.

"Dari struktur bangunan, kalau di lapas dewasa mereka ada tralis besi, kalau LPK, konsepnya lebih ke pendidikan, pembinaan. Di dalam itu pembinaannya banyak sekali, melibatkan kementerian lembaga dan mitra-mitra pemerhati anak di seluruh di Indonesia. Contohnya saja ya kalau penyelenggara pendidikan formal dan nonformal kami bekerja sama dengan Kementerian dan Budaya agar anak benar-benar sekolah," ucap Ade Kusmanto, saat dihubungi KBR, Selasa, (8/1/2018).


Ditjen Pas juga menggandeng swasta untuk menerima lulusan anak yang sudah menghabiskan masa tahanannya, lengkap dengan ijazahnya.


Ade menambahkan pentingnya meningkatkan kreativitas anak dengan pelbagai pelatihan. Ada pelatihan otomotif, atau tata rias. Diharapkan anak akan percaya diri ketika kembali pada masyarakat dan memiliki peningkatan kemampuan.


Kata Ade, tahun 2018 lalu total anak binaan ada sejumlah 3.200 di seluruh Indonesia. Terbanyak ada di wilayah pulau Jawa. Kasus yang paling banyak dialami anak berhadapan hukum adalah kasus kriminalitas.

Hak Anak

Pejabat  Perlindungan Anak Berhadapan Hukum dan Stigmatisasi, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Hasan mengatakan setiap Anak berhak mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan, diskriminasi, termasuk perlindungan saat berhadapan dengan hukum sesuai konvensi hak anak. Kata dia, Tingginya kasus hukum terhadap anak, membuat proses penanganan anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) bukan hanya dimulai dari proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan, namun juga perlu dicari akar masalah penyebabnya.

"Kita juga mengupayakan dari sisi pencegahan  kita juga dorong anak-anak misalnya berhadapan hukum (ABH) sudah diproses secara hukum dipidana, dengan dibina lembaga pembinaan khusus anak (LPKA). Supaya upaya pencegahannya, mereka tidak lagi melakukan tindak pidana, dengan kita memberikan motivasi dan kita memberikan pembinaan dari sisi agama. Supaya mereka tidak lagi melakukan tindak pidana, karena perbuatan tindak pidana itu bukan hanya merugikan diri dia saja, sehingga harus masuk dalam lembaga pembinaan khusus anak (LPKA) tapi juga merugikan misalnya orang lain," kata Hasan.
 


Hasan juga menambahkan, bahwa SPPA juga harus melibatkan orangtua, masyarakat, khususnya tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat, terutama terkait upaya  menyelesaikan kasus anak di luar proses hukum. 


"Karena dia (ABH) melakukan, kita bisa melakukan upaya-upaya diversi namanya, upaya penyelesaian perkara proses hukum. Jadi yang mau kita dorong kepada penyidik penuntut umum itu, supaya anak-anak yang berhadapan dengan hukum itu yang melakukan tindak pidana dia itu bisa diupayakan. Supaya anak-anak itu bisa dilakukan upaya diversi, artinya tidak diproses secara hukum akan diselesaikan secara musyawarah," sambungnya.


Menteri Pemberdayaan Perempuan lan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise menegaskan  upaya pemerintah dalam perlindungan hak anak pada Anak Berhadapan Hukum (ABH) sudah tertulis dalam undang-undang perlindungan anak. Kata dia, mestinya penegak hukum terhadap ABH harus bersertifikat khusus. Penegak hukum juga harus memutuskan hukum sesuai pemenuhan hak anak.

"Undang-undang Perlindungan anak sudah ada, sistem peradilan anak sudah ada, jadi semua penegak hukumnya itu kan harus mendapatkan sertifikasi khusus untuk menangani pengadilan anak ini. Mereka harus putuskan hukuman juga sesuai dengan pemenuhan hak anak," kata Yohana saat temui di gedung DPR Jakarta, Selasa (08/01/2019).



Editor: Rony Sitanggang

  • Kekerasan Anak
  • UU Perlindungan Anak
  • hak anak

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!