RUANG PUBLIK

Film Superhero Tidak Baik Untuk Anak? Ini Alasannya

Film Superhero Tidak Baik Untuk Anak? Ini Alasannya
ilustrasi perfilman. (Foto: Antara)

KBR- Film-film superhero yang muncul sejak sepuluh tahun belakangan selalu berhasil menuai antusiasme dari berbagai belahan dunia. Buktinya, mereka selalu berhasil meraup pemasukan fantastis.

Sebagaimana dilansir Forbes.com, The Incredible Hulk (2008) mendapat sekitar Rp3 triliun, Iron Man 2 (2010) mendapat sekitar Rp8 triliun, Avengers: Age of Ultron mendapat sekitar Rp19 triliun, dan banyak lagi kisah “pahlawan-pahlawan” lainnya yang laku hingga triliunan rupiah di seluruh dunia.

Apa yang membuat film-film tersebut laku keras? Tentu ada banyak faktor, mulai dari storyline yang menarik, aktor yang bagus, visual effect yang memukau, pemasaran yang intens, dan lain sebagainya.

Hanya sayangnya, American Academy of Pediatrics (AAP) nampaknya berpendapat lain. Menurut organisasi pemerhati kesejahteraan anak ini, sebagus apapun itu, film-film superhero sesungguhnya tidak baik untuk ditonton anak-anak. Mengapa begitu?

Film Superhero Mengangkat Figur Pelaku Kekerasan Menjadi “Jagoan”

Pada 2018, sekelompok periset AAP menerbitkan makalah berjudul Violence Depicted in Superhero-Based Films, Stratified by Protagonist/Antagonist and Gender.

Makalah tersebut berisi analisis wacana terhadap 10 film superhero yang dirilis sepanjang 2015 – 2016. Dan hasilnya, para peneliti menemukan bahwa karakter “orang baik” dalam film-film itu terhitung melakukan kekerasan lebih banyak daripada karakter “penjahat”.

Menurut catatan mereka, para protagonis rata-rata menampilkan aksi kekerasan sebanyak 23 kali per jam, lebih banyak daripada antagonis yang melakukan 18 aksi kekerasan per jam.

Aksi kekerasan yang paling banyak dilakukan para “jagoan” itu adalah perkelahian (1.021 aksi), diikuti dengan penggunaan senjata mematikan (659 aksi), perusakan properti (199 aksi), pembunuhan (168 aksi), serta intimidasi dan penyiksaan (144 aksi).

Sedangkan kekerasan yang dilakukan para "penjahat" lebih sedikit, yakni penggunaan senjata mematikan (604 aksi), perkelahian (599), intimidasi atau penyiksaan (237 aksi), perusakan harta benda (191 aksi), dan pembunuhan (93).

Robert Olympia, seorang dokter dan profesor yang terlibat dalam penelitian ini, menjelaskan bahwa penggambaran karakter semacam itu berisiko memberi pemahaman yang salah.

Di samping bisa terdorong untuk meniru, anak juga berisiko salah memahami aksi kekerasan sebagai hal yang "baik", hal yang selalu dilakukan oleh para jagoannya.

Dampingi Anak Saat Menonton Film Superhero

Untuk mengatasi risiko negatif film superhero terhadap anak, John N. Muller, peneliti utama dalam studi tersebut, menekankan tentang pentingnya peran orang tua.

Menurut Muller, orang tua harus mendampingi anak-anaknya agar mereka bisa menonton dengan aman. Pasalnya, Muller juga menyebutkan bahwa anak yang tidak didampingi lebih berpotensi mengembangkan perilaku agresif seiring pertumbuhannya.

Orang tua perlu mengajak anak untuk menonton film secara kritis dan mendiskusikan tentang kekerasan dalam kehidupan nyata. Seperti tentang nilai-nilai sosial, budaya, hukum dan agama yang melarang kekerasan, beserta alasan di baliknya.

AAP juga menganjurkan orang tua untuk mengarahkan perhatian anak pada tema-tema positif yang terkandung dalam film tersebut. Semisal tentang persahabatan, keberanian, kerja tim, ataupun tentang segi teknisnya seperti seni bela diri, seni peran dan teknologi perfilman.

(Sumber: American Academy of Pediatrics, 2018)

 

  • superhero
  • film
  • industri film
  • hak anak

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!