HEADLINE

Di PBB, Gadis Indonesia Ini Menentang Perkawinan Anak

Putri Gayatri menyuarakan penolakan perkawinan anak sampai ke New York (Foto: Rio Tuasikal)

KBR, New York -  Putri Gayatri masih 15 tahun tapi pemikirannya sudah melebihi teman sebayanya. Gadis belia ini berbicara melawan perkawinan anak di Markas PBB di New York, Amerika Serikat, akhir September ini.

"Dampak perkawinan anak itu sangat kompleks: mulai dari pendidikan, ekonomi, kemiskinan, kesehatan reproduksi dan mental,” ujarnya saat ditemui di New York, Minggu (27/9/2015) sore waktu setempat.

Remaja asal SMAN 1 Banjaran, Bandung, ini mulai memperhatikan perkawinan anak sejak bangku SMP. Saat itu Putri punya teman yang belakangan jarang terlihat. Belakangan Putri mengetahui temannya telah menikah. “Putri lihat sekarang dia sudah punya anak tetapi masa depannya suram. Dia putus sekolah, tidak punya pendidikan yang cukup,” jelasnya.

Putri berkenalan dengan organisasi Save the Children dan mulai aktif mengikuti kegiatannya - inilah yang mengantarkannya ke Markas PBB. Di lingkungan tempat tinggalnya, Putri mengajak orang-orang untuk melawan perkawinan anak. “Kita harus berperan aktif dalam sosialiasi kepada orangtua yang kurang paham tentang apa itu pentingnya pendidikan dan bahaya perkawinan anak,” ujarnya.

“Coba pikirkan, Bu,” kata Putri menirukan pesannya kepada para orangtua, “Sebenarnya jika anak ibu dinikahkan dalam usia segini, itu akan berdampak pada kesehatan dan pendidikan. Pendidikan itu sangat mendukung masa depan yang jelas.”

Saat ini Putri berkampanye dari mulut ke mulut. Kembali ke Indonesia nanti, Putri ingin membuat forum anak agar kampanyenya lebih luas. "Jadi  anak-anak itu bisa berpartisipasi dan menyampaikan aspirasinya," jelasnya.

Lembaga PBB untuk anak UNICEF mencatat, di Indonesia, 1 dari 6 anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun. Mereka memiliki harapan pendidikan, kesehatan dan prospek ekonomi yang lebih buruk.

“Bagaimana seorang anak perempuan yang diberi kewajiban mengasuh anak di saat yang sama fokus sekolah dan belajar? Bagaimana orang yang masih sangat muda membela diri dari kekerasan verbal, fisik, dan seksual kepadanya?” ujar Annisa Elok Budiani, HIV/AIDS & Adolescent Development Officer UNICEF Indonesia kepada KBR.

Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi Juni lalu telah menolak menaikkan batas usia perkawinan anak ke 18 tahun – artinya anak usia 16 tahun tetap bisa menikah secara legal.

Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)  mendorong Parlemen merevisi UU Perkawinan. "Kami berharap, cepat-cepatlah pemerintah dan DPR membuat keputusan yang memberi kepastian tak boleh ada lagi perkawinan anak di Indonesia,” ujar Frenia Nababan, aktivis organisasi ini, “Karena – seperti yang dibilang saksi ahli – ini logikanya sama saja negara melegalkan pedofilia.”

Lembaga think tank Copenhagen Consensus Center menyatakan Indonesia rugi besar jika membiarkan hal ini terus terjadi. “Biarkan anak-anak perempuan terus bersekolah supaya nantinya dapat pekerjaan layak ketika selesai sekolah,” ujar Bjorn Lomborg, direktur lembaga ini. Para penelitinya menghitung menjamin akses ekonomi perempuan akan menghadirkan keuntungan 7 kali lipat sementara menjamin pendidikan mendatangkan keuntungan 5 kali lipat.

Putri Gayatri membawa permasalahan tersebut ketika berangkat ke PBB dan mengikuti belasan kegiatan. Dia bertemu dengan 19 remaja perwakilan negara lain seperti Australia dan Bangladesh, kemudian berdiskusi mengenai masalah anak di tiap negara. Para remaja ini juga bertemu dengan Sekjen PBB Ban Ki-moon, Ratu Yordania, Perdana Menteri Inggris, Parlemen Uni Eropa, dan pemimpin negara lain.

PBB sendiri sedang melangsungkan Sidang Majelis Umum ke-70 yang sekaligus mengesahkan Agenda Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). SDGs telah diadopsi oleh 193 negara  menggantikan Agenda Pembangunan Millenium (MDGs). Selain rangkaian debat umum, forum, dan pertemuan para pemimpin dunia, ada juga acara untuk masyarakat umum.

Dalam satu acara di Central Park, Manhattan, Putri berbicara di depan 60 ribu pengunjung dan meminta mereka melibatkan anak-anak dalam pelaksanaan SDGs 15 tahun ke depan.

Momen terbaiknya selama di New York adalah bertemu Malala Yousafzai, remaja Pakistan pemenang nobel karena memperjuangan pendidikan perempuan di negaranya. Putri dan Malala duduk dalam satu area dalam Sidang Majelis Umum  PBB.

“Iya ketemu, bagus banget Malala! Putri ingin seperti dia,” ujarnya antusias. 

Editor: Citra Dyah Prastuti

  • SDGs
  • new york
  • perkawinan anak
  • Toleransi

Komentar (1)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

  • juariah8 years ago

    Salut untuk putri. Semoga perjuangannya membuahkan hasil. Memang pendidikan sangat penting, baik itu pendidikan sains maupun agama. Keduanya memegang peranan penting terhadap kemajuan bangsa. Pola pikir kita harus di rubah yang tadi nya menganggap pendidikan adalah biasa biasa saja. Pendidikan adalah investasi , investasi bisa dilihat hasilnya beberapa tahun kemudian. Allah meninggi kan beberapa derajat dari kalian karena ilmunya.