Article Image

SAGA

Pelarangan Jalsah Ahmadiyah dan Mahalnya Harga Kebebasan Beragama (Bagian 2)

"Pemerintah diminta tak melarang jemaat Ahmadiyah mengekspresikan keyakinan dan kepercayaannya. Kebebasan beragama dilindungi konstitusi."

Lokasi Jalsah Salanah Ahmadiyah di Desa Manislor. Tempat itu semestinya dipadati ribuan tamu, jika tidak dibatalkan oleh Pemkab Kuningan. (Foto: KBR/Wahyu)

KBR, Kuningan - Sepanjang perjalanan di mobil, Fadhilah gelisah, bolak-balik menatap layar ponsel, sesekali memutar pesan suara yang masuk.

“Dijaga polisi, masih ramai, di balai desa ramai"

"Akses yang ke Alfa bisa enggak?"

"Masih ada portal, sudah dibuka, kayaknya masih bisa masuk lewat Manislor kidul,” 

Pesan itu datang dari rekannya, sesama jemaat Ahmadiyah, yang berada di Desa Manislor, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

Mengabarkan kondisi Manislor yang semestinya menjadi tuan rumah pertemuan rutin atau Jalsah Salanah Ahmadiyah se-Indonesia, pada 6 hingga 8 Desember 2024.

Fadhilah bertugas menjemput tamu-tamu Jalsah dari luar daerah. Pemuda 24 tahun ini harus mencari akses jalan masuk ke Manislor yang masih bisa dilalui.

Hanya warga Manislor yang diperbolehkan masuk. Polisi menyisir semua akses jalan ke desa itu.

"Kalau kita punya KTP Manislor, itu bisa masuk. Tapi kalau misalnya saya bawa penumpang ya, itu enggak bisa masuk. Gara-gara semalam itu diblokade,” kata Fadhillah.

Baca juga: Pelarangan Jalsah Ahmadiyah dan Mahalnya Harga Kebebasan Beragama (Bagian 1)

Akses utama masuk ke Desa Manislor ditutup. Ratusan polisi berjaga sejak Kamis (5/12/2024) malam. (KBR/Wahyu)

Kantor Desa Manislor berubah jadi markas polisi dan TNI. Puluhan motor patroli berjejer di sepanjang jalan. Sekitar lima truk polisi menutupi sebagian akses utama ke Manislor.

Blokade terjadi sejak Kamis (5/12) malam, , setelah Pemkab Kuningan melarang Ahmadiyah melaksanakan Jalsah Salanah. Pelarangan dipicu penolakan sekelompok orang yang mengatasnamakan Forum Masyarakat Peduli Kemanusiaan.

Semua itu terjadi begitu cepat.

Satu minggu sebelumnya, Kepala Desa Manislor, Rusdi Sriwiyata menerima undangan rapat di Pemkab Kuningan. Undangan ini terasa janggal karena agendanya membahas Jalsah Salanah yang sudah mendapat izin sejak jauh hari.

“Kaget, pemerintahan desa diundang, begitu juga pengurus Ahmadiyah diundang," ujar Rusdi.

Sepanjang rapat, Rusdi lebih banyak diam mendengarkan.

"Bahwa kegiatan (Jalsah) ini yang notabene lebih besar kehadirannya, tidak diizinkan untuk dilaksanakan. Menurut Kasat Intel dengan alasan mengganggu kondusivitas tahapan pilkada,” Rusdi menjelaskan.

Selama bertahun-tahun, jemaat Ahmadiyah hidup rukun berdampingan dengan warga lain di Manislor.

Baca juga: Kebinekaan yang Dihidupi di Sekolah Global Mandiri

Kepala Desa Manislor Rusdi Sriwiyata. (KBR/Wahyu)

Rusdi heran mengapa mendadak muncul ormas dari luar desa yang menolak Jalsah.

“Sebelumnya memang ada ormas yang audiens ke Pj Bupati (Kuningan), rapat hari Kamis di Forkopimda, kami tidak diundang, pemerintahan desa juga tidak diundang, pengurus jemaat (Ahmadiyah) tidak diundang. Kemudian hari Jumat, rapat di Setda, orang Forkopimda menyampaikan bahwa rencana kegiatan Jalsah oleh Kasat Intel, Polres, kalau bisa tidak dilaksanakan,” katanya.

Pemkab dan aparat bersepakat melarang Jalsah. Dalihnya demi menjaga keamanan.

Rusdi pasrah. Begitu juga dengan Ketua Panitia Pelaksana Jalsah Salanah Rahmat Hidayat

“Padahal kami memilih tanggal ini (Jalsah), itu, kan, harus berkonsultasi dengan aparat juga, dengan Pj Bupati (Kuningan), sebelumnya. Kalau tidak salah, dengan Kasat Intel sebelumnya juga,” ungkap pria 43 tahun itu.

Rahmat menyayangkan keputusan ini.

“Tidak bisa (saya) mengatakan, alasan ini tidak benar, tapi saya bisa mengatakan bahwa alasan ini perlu dikaji ulang kebenarannya, faktual enggak sih? Kami berinteraksi bukan dengan satu, dua orang, tapi hampir dengan semua kalangan, baik itu orang-orang yang memang sejak awal bersahabat dengan kami, maupun dengan orang-orang yang memang kadang-kadang masih menjaga jarak dengan kami,” tuturnya.

Pembubaran Jalsah menyadarkan jemaat Ahmadiyah bahwa situasi belum banyak berubah. Mereka masih dianggap warga kelas dua yang layak didiskriminasi, hanya karena berbeda keyakinan.

Apalagi diskriminasi terhadap Ahmadiyah sudah lama menjadi norma. Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yang terbit pada 2008 belum dicabut. SKB itu kerap jadi landasan stigma dan persekusi terhadap Ahmadiyah.

"Berulang kali kami dizalimi, dianiaya, dan sebagainya, hak-hak kami dirampas, dipaksa untuk hal seperti ini, tidak boleh kita melanggar hukum, kita tidak boleh melawan pemerintah, kita tidak boleh melawan aparat, kita harus sabar,” kata Rahmat sembari mengelus dada.

Baca juga: Tur Rumah Ibadah: Pupuk Toleransi, Perkuat Kontribusi Hadapi Krisis Iklim

Ketua Panitia Jalsah Salanah 2024 Rahmat Hidayat, menunjukkan beberapa foto pertemuan sejumlah tokoh dengan pengurus Ahmadiyah. (KBR/Wahyu)

Meski geram, Rahmat berusaha menenangkan diri dan saudara-saudaranya sesama Ahmadi, sebutan untuk pemeluk Ahmadiyah.

"Jujur, kalau bisa saya sampaikan, bagaimana trauma mereka (Ahmadi) melihat aparat terutama polisi. Itu kalau kita tidak tahan, kita tidak nasihati, itu saya tidak bisa membayangkan bagaimana pelampiasan mereka. Jadi mereka sudah tidak ada rasa suka sama sekali. Ini, kan, perlu disembuhkan, perlu ada tindakan healing untuk mereka yang harus radikal. Karena saya merasa kasihan kepada mereka,” ungkapnya.

Dampak pembubaran Jalsah merembet cepat ke bawah, memicu berbagai perlakuan diskriminatif terhadap Ahmadiyah.

Izin lahan parkir untuk kendaraan peserta Jalsah, mendadak dibatalkan. Hotel-hotel di sekitar Kuningan, tempat menginap para tamu pun, tiba-tiba menutup pintu.

Situasi ini mengingatkan Siti Kamilah akan kejadian di Bogor, Jawa Barat, pada 2005 silam. Momennya sama, Jalsah Salanah.

Kampus Ahmadiyah di Parung, Bogor menjadi tuan rumah pertemuan para Ahmadi se-tanah air. Namun, acara akbar itu berakhir tragis, karena dibubarkan massa.

"Waktu di Bogor saya melihat sendiri pertumpahan darah di sana. Yang sekarang (di Manislor) tidak sampai seperti itu, tetapi rasanya sakit, sakit sekali. Karena dianggap sudah kondusif, tetapi masih ada yang seperti itu,” tutur Siti sedih.

Selepas peristiwa 2005, Ahmadiyah tak pernah menghelat Jalsah sebesar itu. Mestinya, Jalsah di Manislor lah yang mengawali sejarah baru, karena bakal jadi yang pertama setelah 19 tahun.

Mata Siti berkaca-kaca, tak kuasa menyembunyikan kesedihan. Dia sudah membayangkan kesibukannya sebagai panitia melayani para tamu Jalsah. Namun, api semangat itu padam.

"Kami berusaha bagaimana tamu-tamu itu bisa diterima dengan baik. Dan memberikan pemahaman kepada mereka bahwa keadaan Manislor memang belum belum kondusif,” kata dia.

Baca juga: Jalan Lurus Putus-Putus Malik Ros, Rapper Ahmadiyah

Sejumlah tamu sempat meninjau lokasi batalnya Jalsah Salanah di Desa Manislor. (KBR/Wahyu)

Jalsah di Manislor begitu spesial bagi Ahmadiyah. Para Ahmadi di Manislor sukarela menyediakan rumahnya untuk tempat tamu menginap.

Hidangan pun siap disajikan untuk ribuan peserta. Koordinator dapur umum Jalsah, Azhar, sudah menyiapkan semua itu selama berminggu-minggu.

"Soto, tempe, ikan goreng, lele goreng, sop, ayam goreng, ayam bakar, bumbunya semuanya sudah ready sih sebenarnya, kami tinggal eksekusi aja kalau acaranya lancar ya,” tuturnya pelan.

Walau batal, makanan tetap dibagikan ke para tamu dan masyarakat sekitar.

Setidaknya, itu bisa sedikit melipur lara mereka yang terlibat menyiapkan Jalsah.

Kesedihan juga dirasakan Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah, yang menjadi salah satu tamu Jalsah di Manislor.

Pimpinan Muhammadiyah ini sempat mendampingi para perempuan Ahmadi yang terdampak pembubaran Jalsah.

Alimatul menyesalkan sikap pemda dan aparat.

"Harapannya pemerintah tolong dong warganya jangan dilarang-larang untuk mengekspresikan keyakinan, kepercayaan, dan keberagamaannya. Itu, kan, tidak do harm others ya, tidak sesuatu yang melukai, mencelakai orang lain,” harap Alimatul, usai meninjau lokasi Jalsah Salanah di Manislor.

Alimatul sudah lama mengenal Ahmadiyah dan menjalin relasi baik. Ia bahkan mengikuti Jalsah Salanah tingkat dunia, yang digelar di Inggris, pada Juli 2024 lalu.

Baca juga: Akankah Rancangan Perpres PKUB Rangkul Penghayat?

Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah, berfoto di lokasi Jalsah Salanah 2024 yang akhirnya batal digelar. (KBR/Wahyu)

Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta ini, mengingatkan perbedaan keyakinan tidak bisa dijadikan alasan untuk melakukan diskriminasi.

"Komnas Perempuan akan memantau terus dan akan mencoba melakukan advokasi, bagaimana agar negara ini mempunyai kebijakan yang kuat, tidak melanggar konstitusi. Karena konstitusi kita sudah ada di sana ya, kebebasan untuk menjalankan agama dan kepercayaannya,” tekannya.

Pelarangan Jalsah Salanah di Manislor juga dikecam lembaga pemantau HAM, Imparsial.

Koordinator Program HAM Imparsial, Annisa Yudha, mengkritik pemerintah karena terlalu permisif terhadap kelompok-kelompok intoleran. Negara gagal memenuhi kewajibannya untuk menjamin kesetaraan hak beragama dan berkeyakinan.

"Kami sangat menyayangkan karena belum lama kita memperingati Hari Toleransi Internasional di 16 November kemarin, bahkan belum ada sebulan, yang kami menilai bahwa ini seharusnya menjadi momentum untuk merefleksikan kondisi toleransi dan kerukunan masyarakat di Indonesia. Tapi justru dicederai oleh negara itu sendiri, oleh pemerintah itu sendiri, yang tidak memberikan jaminan perlindungan bagi warga negaranya,” tegas Annisa.

*Liputan ini didukung Social Impact Reporting Initiative Project WAN-IFRA Women in News.

Penulis: Wahyu Setiawan

Editor: Ninik Yuniati