Article Image

SAGA

Pelarangan Jalsah Ahmadiyah dan Mahalnya Harga Kebebasan Beragama (Bagian 1)

"Ahmadiyah masih lekat dengan stigma dan diskriminasi. Itu tergambar dari peristiwa pelarangan Jalsah Salanah di Manislor, Kuningan."

Panitia membongkar panggung Jalsah Salanah Ahmadiyah usai acara tersebut dilarang Pemerintah Kabupaten Kuningan. (KBR/ Wahyu)

KBR, Kuningan - Mobil yang ditumpangi Suciyati tiba-tiba dihentikan sekelompok orang. Kaca jendela di kiri dan kanan, digedor-gedor.

“Anak saya yang di dalam (mobil) ketakutan. Karena lihat ayahnya digituin. Saya sebagai istri, kan, mau keluar dari mobil. Ditahan oleh polisi, 'jangan keluar Bu, jangan keluar'. Otomatis saya, kan, panggil suami. Mas, pulang, Mas, pulang,” Suciyati bercerita.

Suaminya, Wahib Rahman, keluar dari mobil. Belasan orang merubungnya, melontarkan makian dan ancaman. Suasana di jalan masuk Desa Manislor sontak memanas.

"Ada kata-kata kasar yang tidak terekam di video itu adalah 'putar atau pulang, kalau enggak kita bakar',” kata Wahib.

Wahib berusaha tenang, meski posisinya kian terhimpit. Tak mengira perjalanan berjam-jam dari Purwokerto, bakal berakhir seperti ini.

“Dikerubungi dan mereka saling sahut-sahutan, 'kamu enggak tahu aturan', terus 'pulang! putar balik!, nge-lawan', terus kata-kata binatang,” Wahid menirukan.

Suciyati dan Wahib adalah dua dari ribuan jemaat Ahmadiyah yang diusir ketika akan memasuki Desa Manislor, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

Mereka hendak menghadiri pertemuan rutin atau Jalsah Salanah Ahmadiyah yang mestinya berlangsung pada 6 hingga 8 Desember 2024.

Namun, acara tiba-tiba batal karena dilarang Pemkab Kuningan.

“Nah, posisi saat itu, yang pakai seragam kepolisian sama sekali tidak menenangkan massa, tidak diam. Dia (polisi) malah mendorong saya, 'sudah pulang saja, pulang, ikutin saja, pulang, pulang!',” tutur Wahib menceritakan intimidasi yang ia alami.

Baca juga:Minoritas Menanti Langkah Progresif di Rancangan PKUB

Wahib Rahman, jemaat Ahmadiyah asal Purwokerto yang diintimidasi saat akan masuk ke Desa Manislor, untuk mengikuti Jalsah Salanah. (Foto: KBR/Wahyu)

Rekaman video Suciyati dan Wahib ketika diintimidasi, viral di media sosial. Yang tak terlihat di video itu adalah kondisi anak-anaknya saat kejadian.

“Mereka (anak-anak) nangislah, terus takut, 'pulang Ayah, pulang!',” keluh Suciyati.

Tiga bocah itu heran, mengapa polisi tidak membantu mereka

“Anak-anak cuma gini: 'Ayah, kok, polisi kayak gitu ya, enggak nge-jaga-in kita. Ayah di-gitu-gitu-in ya. Kuatin saja hati,” ungkap perempuan 36 tahun ini.

Wahib dan Suciyati tak melawan dan memilih pulang.

Mereka mengungsi ke sebuah hotel di Kota Cirebon. Berjarak sekitar 30 menit dari Desa Manislor.

"Kami enggak langsung masuk Hotel Radiant. Dialihkan tempat luas, kayaknya Radiant punya pelataran, rest area, berlapiskan terpal biru. Bayangkan itu sudah malam, boro-boro anak saya mau tidur. Ternyata lebih banyak lagi anak-anak kecil yang dari Kendari, Lombok, Jatim. Akhirnya jam 1 (dini hari) oleh panitia kami masuk kamar semua,” ceritanya.

Namun ternyata, intimidasi masih berlanjut

“Sebelum itu juga polisi datang lagi ke hotel, enggak tahu itu, apa urusannya dengan hotel dan sama kita. Hampir kurang lebih 10 orang (polisi). Kami sudah di hotel istirahat, datang lagi tuh polisi,” tuturnya.

Malam itu menjadi malam yang berat bagi para Ahmadi, sebutan untuk pemeluk Ahmadiyah. Tidur singkat, esok paginya harus bergegas berangkat. Jumat siang yang sedianya bertemu saudara seiman, justru menjadi ajang perpisahan.

Baca juga: Sulitnya Mendirikan Rumah Ibadah di Kota Mataram

Jemaat Ahmadiyah yang dilarang masuk ke Desa Manislor, sempat telantar di sebuah hotel di Kota Cirebon. (Foto: KBR/Wahyu)

Sejumlah Ahmadi dari luar Jawa terpaksa dievakuasi ke luar Kuningan, seperti ke Surabaya dan Bogor.

Salah satunya Sosan, ibu rumah tangga asal Praya, sebuah kecamatan di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Raut mukanya tampak lelah, usai menempuh perjalanan jauh, tiga hari dua malam naik kapal laut dan kereta.

Sosan bersama suami dan ketiga anaknya sempat telantar di Stasiun Cirebon Prujakan. Mereka tak tahu Jalsah batal.

“Terus kami langsung dievakuasi ke sini (Stasiun Cirebon), enggak langsung ke lokasi acara. Saya juga sempat bingung, kenapa kami ditaruh di sini?, kami kan mau ke lokasi acara, ke Manislor,” Sosan bingung.

Ragu dengan kabar itu, Sosan sekeluarga nekat ke Manislor.

"Akhirnya saya mencoba ke sana (Manislor), karena saya mau bawa barang juga ke tempat lokasi,” tutur wanita 35 tahun itu.

Tapi, di sana ternyata...

"Banyak polisi dan banyak massa. Ya sudah sampai di sana, kami terjadi penolakan-penolakan dari massa, kami disuruh pulang kembali,” ujar Sosan mengingat.

Bingung, mereka sempat berpindah-pindah tempat. Mencari penginapan di Cirebon, hingga akhirnya bisa mengungsi ke rumah kerabat di Manislor.

Kekerasan juga dialami para Ahmadi yang tiba lebih awal di Manislor. Mereka dikejar massa, bahkan ada yang sampai ditangkap polisi. Salah satunya, Firdaus Mubarik

"Saya jalan kaki dari bawah ke atas ya, mereka mengejar saya. Ketika mereka mengejar saya, polisi ikut mengejar saya dan mengerumuni. Jadi saya dengan sekitar 4 teman saya, dikerumuni oleh polisi sekitar 30 orang. Jadi saya maju enggak bisa, mundur enggak bisa, saya dihalang-halangi oleh polisi,” kata Firdaus.

Baca juga:

Ateis di Era KUHP Baru: Dulu Rentan, Sekarang Lebih Rentan (Bagian 1)

Ateis di Era KUHP Baru: Dulu Rentan, Sekarang Lebih Rentan (Bagian 2)

Firdaus Mubarik, jemaat Ahmadiyah, diintimidasi polisi di kantor Desa Manislor. (Foto: KBR/Wahyu)

Di kantor desa, lelaki 40 tahun itu diintimidasi.

"'Oke, Pak polisi maunya apa?', 'Ikut kami ke kantor desa'. Saya masuk ke kantor desa dengan polisi ya. Di situ saya merasa, saya satu Warga Negara Indonesia diintimidasi oleh 30 polisi. Mereka kemudian memaksa, 'kamu ini enggak kasihan. Kami ini sudah enggak tidur, kami menjaga, kamu nih cari masalah'. Saya tanya, 'Pak, saya ini Warga Negara Indonesia, saya punya hak konstitusional. Tugas Anda sebagai polisi menjaga hak-hak warga,” tegasnya.

Di lokasi, tampak sejumlah pejabat, seperti Kapolres, Dandim, dan Penjabat Bupati Kuningan. Namun, mereka hanya diam menyaksikan rentetan intimidasi kepada jemaat Ahmadiyah.

"Saya ditahan di situ (kantor desa) sekitar 10 sampai 15 menit, tapi mereka gagal menjelaskan apa kesalahan saya,” ungkap warga Bogor tersebut.

Akhirnya Firdaus dilepas, tapi, bagaimana dengan nasib rekan Ahmadi lain yang ditangkap?

"Saya kemudian tanya, saya dengar di sini ada 2 warga Ahmadiyah yang juga masih ditahan di kantor desa. Oh ternyata benar. Awalnya saya pikir satu (orang), ternyata dua orang. Ada dua pemuda berumur 20-an, warga lokal juga ditahan di kantor desa, mungkin sudah setengah sampai satu jam di situ," ungkap Firdaus. 

"Kalau gitu, 'saya hanya akan keluar dari kantor desa, kalau dua (Ahmadi) itu juga keluar. Karena saya enggak tahu kalau mereka terus di situ, nasib mereka seperti apa,” ujar Firdaus.

Polres Kuningan membantah anggotanya mengintimidasi dan menangkapi warga Ahmadiyah di Manislor.

Sementara, Ketua Pelaksana Jalsah Salanah Rahmat Hidayat yakin banyak jemaat Ahmadiyah yang menjadi korban kekerasan selama aksi pembubaran. Hanya saja, tidak semuanya terdokumentasi.

"Iya, ada beberapa memang (yang diintimidasi). Bahkan ada sebetulnya ada orang Manislor sendiri yang tinggal di luar Manislor, ya ke sini anggaplah pulang kampung. Sampai ada yang kena tonjok katanya. Kami sendiri, kan, tidak tahu ya, diblokir, begitu mereka datang ke sini, ternyata dihalang-halangi. Bahkan setiap jalan ditutup, semua jalan akses masuk ditutup,” kata Rahmat.

Hatinya teriris melihat saudara-saudaranya sesama Ahmadi diperlakukan tak manusiawi. Banyak yang sampai trauma.

"Ada anak kecil, ibu-ibu yang sudah sepuh, orang tua, sangat kasihan sekali saya melihat foto-foto mereka di sana. Mereka terpaksa tidur di atas di lantai hanya beralaskan terpal saja, ini sangat miris. Jujur saja, saya menangis melihat itu," ucap Rahmat.

Baca juga: Toleransi yang Mengakar di Ciampea

Ketua Panitia Jalsah Salanah Ahmadiyah di Manislor, Kuningan, Rahmat Hidayat. (Foto: KBR/Wahyu)

Bukankah mestinya rasa kemanusiaan bisa melampaui sekat perbedaan, pikir Rahmat.

"Bolehlah misalkan ada yang tidak disetujui dari beberapa pandangan kami dalam hal keagamaan, silakan, itu hak setiap orang. Tetapi sebagai manusia apakah tidak ada rasa empati sedikit pun? Apakah sudah mati rasa kemanusiaan itu sampai membiarkan anak kecil harus kelaparan di sana?, orang tua harus berada dalam kondisi seperti (itu), saya sudah tidak mengerti lagi, saya sudah tidak bisa mencerna lagi,” tutur Rahmat pilu.

Ia mengingatkan kewajiban negara untuk menjamin kebebasan beribadah, berkumpul, dan berorganisasi, tak terkecuali bagi jemaat Ahmadiyah.

"Saya yakin Pak Prabowo punya komitmen yang tinggi akan hal ini dan mudah-mudahan itu bisa di-copy paste oleh seluruh masyarakat Indonesia yang mendapatkan amanah ya untuk memiliki kewenangan-kewenangan baik itu di tingkat pusat maupun di tingkat daerah,” harapnya.

*Liputan ini didukung Social Impact Reporting Initiative Project WAN-IFRA Women in News.

Penulis: Wahyu Setiawan

Editor: Ninik Yuniati