SAGA
"Aisyiyah berkolaborasi memperluas pemberdayaan ekonomi bagi pengusaha UMKM perempuan"
Pelatihan marketing online bagi pelaku usaha mikro perempuan, yang digelar Aisyiyah. (Foto: muhammadiyah.or.id)
KBR, Yogyakarta - Ayu Swastika antusias menjelaskan produk petis buatannya. Petis ala Semarangan ini diberi nama “Ki Demang”.
“Kebetulan terinspirasi dari bapak mertua saya, dulu kalau brik-brikan, itu, kan, ‘monitor, halo’, nah panggilannya Pak Demang, enggak sengaja. Dari situ, 'wah pakai namanya Bapak saja, Bapak Orari, Pak Demang', nyambung dengan produk yang tradisional,” kata Ayu.
Setahun terakhir, petis “Ki Demang”, menjadi penopang ekonomi Ayu dan keluarga, yang ambruk saat pandemi Covid-19.
“Mau enggak mau, diakui tidak diakui, sekarang ekonomi saya terselamatkan dengan petis ini,” tutur dia.
Sebelum masa pagebluk, Ayu dan suami termasuk pengusaha UMKM yang terbilang mapan di Yogyakarta. Lini usaha mereka beragam, dari menu kuliner hingga produk kerajinan.
“Begitu Covid, sebenarnya kita berhenti hampir 8-10 bulan lah, enggak ada penjualan. Jadi usaha kita, pandemi itu, benar-benar drop, gulung tikar karena ada beberapa tagihan piutang tidak terbayar, kita harus gaji karyawan waktu itu,” Ayu bercerita.
Ayu merintis bisnis kulinernya di Kota Gudeg, sejak 1990-an, ketika masih di bangku SMA. Perempuan asli Pati, Jawa Tengah ini gemar memasak sedari kecil, mewarisi keahlian sang ibu yang sukses mengelola bisnis katering.
Kala pandemi mereda, Ayu berjuang bangkit, dengan rajin berinovasi.
“Banyak produk kami, jadi snack box, kita buat kroket frozen, apa lah kita kerjakan di pandemi itu,” imbuhnya.
Pengusaha 49 tahun ini juga menyambut berbagai peluang untuk menambah pengetahuan bisnis dan membangun jaringan.
“Dengan adanya pandemi pemerintah banyak mengeluarkan pelatihan-pelatihan. Yang dulu izin PIRT itu susah, sekarang pemerintah sangat mempermudah semua. Akhirnya dari situ kita, oke ke dinas, ikut pelatihan. Dari pelatihan, kenal rekan-rekan, dari teman rekan-rekan itu ada yang share, eh ada info ini, ada info ini,” tutur Ayu.
Baca juga: Usaha Lestari di Sigi yang Menghidupi Diri dan Bumi
Ayu Swastika memamerkan produk-produknya termasuk petis Ki Demang di salah satu pameran UMKM. (Foto: dok pribadi)
Suatu hari, datanglah info tentang pelatihan UMKM yang diselenggarakan Aisyiyah, organisasi sayap perempuan Muhammadiyah, bekerja sama dengan lembaga Jepang, JICA dan Kopernik.
Ayu tertarik ikut karena materinya soal ekonomi digital dan strategi penjualan online. Namun, ada satu hal yang mengganjal.
“Karena kami nasrani. Kami ke gereja, kok ini Aisyiyah, yayasan Muhammadiyah. Wanita muslim, pengusaha muslim, tapi saya kok nonmuslim gitu kan, jadi sempat ragu. Tetapi dalam hati tidak ada salahnya mencoba, siapa tahu? Akhirnya saya ngisi link itu, ya iseng-iseng kalau keterima ya rezeki, kalau enggak ya sudah,” ucap Ayu.
Selang beberapa pekan, Ayu dihubungi pengurus Majelis Ekonomi dan Ketenagakerjaan PP Aisyiyah, Ni’mah Af’idati. Ia langsung mengutarakan uneg-unegnya soal agama.
“Wawancara by telepon, ‘iya, Bu, ini, ini, ini,’ terus bilang ‘nanti ada kunjungan ya, gini, gini’, untuk proses kurasi istilahnya. Ini beneran po ndak dari Aisyiyah karena saya, kan, nonmuslim,” kisah Ayu.
Ayu beberapa kali melontarkan pertanyaan ini. Jawaban Ni’mah pun tak berubah.
“Ya enggak apa-apa, kalau urusan duniawi itu siapapun, kan, boleh, pokoknya kita tidak memandang suku, agama. Apalagi sekarang, kan, kita juga mendapat program inklusi jadi kan termasuk kaum rentan, disabilitas, lansia , termasuk kaum remaja itu kan berhak yang sama,” Ni’mah menekankan.
”Untuk urusan ekonomi, kita juga enggak bisa membatasi bahwa harus anggota Aisyiyah. Itu berangkat dari Islam rahmatan lil ‘alamin, dan kalau untuk inklusi, kita tidak membeda-bedakan seperti itu,” lanjutnya.
Akhirnya, Ayu terpilih sebagai salah satu dari 12 peserta pelatihan UMKM kerja sama Aisyiyah, JICA, dan Kopernik. Ini merupakan angkatan ketiga sejak program diluncurkan pada 2021. Ayu adalah peserta pertama yang bukan dari kalangan muslim.
“Di situ ternyata enggak ada omongan agama, tidak apa-apa, dan kita bersatu, ayo kita berjuang bergandengan tangan, kita berjuang bersama,” ungkap Ayu.
Baca juga:
Kisah Kouji Penyandang Autisme Dirikan Kafe Ramah Autis (Bagian 1)
Kisah Kouji Penyandang Autisme Dirikan Kafe Ramah Autis (Bagian 2)
Pengurus PP Aisyiyah Ni'mah Af'idati. (Foto: KBR/Ken Fitriani)
Selama proses kurasi, petis Ki Demang dipilih sebagai produk unggulan yang bakal mendapat pendampingan.
Ayu lantas dibimbing untuk mengoptimalkan strategi branding hingga pemasaran produk. Salah satunya dengan memanfaatkan platform digital dan media sosial.
“Kita kan kaum menuju senja, masih zaman Facebook lah. Kita dituntun satu persatu, kita diajari caranya iklan yang sekarang, ada Tiktok, ada IG yang anak-anak zaman sekarang, kita dibantu sampai segitunya. Bagaimana caranya pemasaran online,” jelas Ayu.
“Bukan itu aja, literasi keuangan juga dibantu, kita me-branding produk. Kemasan, ternyata dibuat-in desain. Ada gambarnya Pak Demang, yang pakai blangkon benar-benar simbol tradisional, dari kemasan ini,” imbuhnya.
Bimbingan ini berdampak nyata. Petis “Ki Demang” kian dikenal dan menarik banyak pelanggan, tak hanya di Yogya, tetapi juga Jawa Timur, Kalimantan, hingga Bali.
Petis “Ki Demang” juga sudah dibawa ke pameran di Ibu Kota Nusantara (IKN).
“Meta, kan, IG, Facebook sama WA itu nyambung. Ternyata itu berdampak, akhirnya saya mendapatkan pelanggan baru. Salah satunya, eyang budhe-nya Prilly Latuconsina yang ada di Pakem, kami ada fotonya. Itu pelanggan kami tetap. Terus ada keturunannya Sultan HB VII, depan Kota Baru rumahnya. Terus banyak pelanggan-pelanggan yang, ‘o ternyata di Yogya ada tahu petis’, akhirnya saya dapat pelanggan tetap dari situ. Terus kalau di Tiktok, itu menjangkau di luar Yogya,” Ayu memerinci.
Seiring meningkatnya omset, Ayu bisa membuka lapangan kerja bagi para tetangganya.
“Lahirnya petis ini karena ada Aisyiyah. Ibunya petis ini Aisyiyah sama JICA. Bapaknya izin-izin dari Dinas Koperasi itu. Jadi Aisyiyah sama JICA itu luar biasa, kami enggak punya produk, bisa menghasilkan produk ini,” tutur Ayu.
Rifqi Rozanah, rekan seangkatan Ayu juga puas dengan pendampingan Aisyiyah yang berlangsung setahun. Kiki, demikian ia akrab disapa, punya produk unggulan, keripik ikan teri.
“Yang tadinya penjualan di Alfamidi, kurang tinggi, itu bisa lebih baik dengan kemasan yang bagus. Kita juga ada di Bandara YIA, binaan Dinas Koperasi. Kita juga ada di OJK, BPD DIY, di Pojok UMKM,” kata Kiki.
Omset penjualannya terus meroket, bahkan sampai menembus pasar Australia.
“Sudah (ada) buyer menyuplai swalayan di Sydney, Australia, ada di dua tempat. Ketika kita memantaskan diri, izin dilengkapi, dari kemasannya, kemudian kualitas produk, pasar itu akan mengikuti. Bulan Juli kemarin, kita juga dapat fasilitas untuk pameran di Brunei Darussalam,” ujar Kiki.
Baca juga: Sulam Arguci: Jaga Budaya, Berdayakan Warga
Rifqi Rozanah sedang membuat keju panggang, produk unggulan yang dikembangkannya atas dampingan Aisyiyah. (Foto: KBR/Ken)
Usaha keripik ikan teri Kiki sudah dimulai sejak 2021. Produk ini kemudian dipoles supaya lebih menarik selama pelatihan di Aisyiyah.
“Yang sangat terasa, kita rebranding dari sisi kemasan. Kemasan, walaupun sudah standing pouch yang full print, tetapi desainnya kurang menarik, karena gambarnya kurang jelas. Ketika di-rebranding didesainkan dari timnya Aisyiyah-Kopernik, itu jadi lebih jelas. Tanpa ada kita pun produknya bisa menjual dirinya sendiri. Jadi orang datang melihat, bisa tertarik dengan desain yang menarik, dari sisi gambar dan warna,” tutur dia.
Di tengah pelatihan, warga Bantul berusia 35 tahun ini bahkan bisa memunculkan produk baru yang tak kalah potensial, yakni keju panggang.
“Jadi nambah produk. Sebetulnya produk ini tuh iseng sih karena anak saya seneng keju. Akhirnya, ini kalau diolah sepertinya bisa jadi camilan yang berbeda,” ucap Kiki.
Dari dua produk unggulan tersebut, Kiki bisa mempekerjakan empat orang. Ada 7 toko yang menjadi mitra pemasarannya.
“Ya sangat, sangat terbantu. Kalau ada lagi (pelatihan) sangat mau. Karena memang dari sekian banyak pendampingan pelatihan, itu yang paling detail, kemudian support-nya luar biasa itu ya di sini (Aisyiyah). Kita di-support dari sisi iklan, ads itu lho, iklan berbayar itu benar-benar ada anggarannya,” terang Kiki.
Selama pelatihan, Kiki juga diajari menggunakan aplikasi digital untuk mencatat keuangan dan melacak distribusi serta masa kadaluarsa produk.
“Saya ajarkan ke teman-teman, biar UMKM itu jangan lagi ada alasan belum punya pencatatan keuangan karena sulit, karena enggak sempat, karena itu hanya lewat HP saja,” ucapnya.
Pengurus Majelis Ekonomi dan Ketenagakerjaan PP Aisyiyah, Ni’mah Af’idati menuturkan, program pemberdayaan UMKM perempuan bakal terus dilanjutkan. Kata dia, bentuk programnya bisa fleksibel dan dinamis sesuai dengan kebutuhan.
Di sisi lain, kapasitas para pendamping UMKM Aisyiyah juga mesti ditingkatkan agar pendekatan yang diterapkan tetap relevan.
“Ternyata jadi pendamping juga butuh penguatan kapasitas, sehingga kemarin ada usulan, kalau ada program berikutnya, mungkin sebelum dengan UMKM, mungkin ada peningkatan kapasitas dulu untuk pendamping,” kata Ni’mah.
Ni’mah mengakui tantangan pemberdayaan UMKM juga kian berat, salah satunya karena serbuan barang impor berharga murah.
“Sekarang banyak produk-produk yang impor dengan harga yang sangat murah. Bandingkan, misalnya produk Bu Sumiyatun yang kerajinan benang, itu, kan, tas kecil aja seharga lebih dari Rp200 ribu, sementara produk-produk impor itu murah sekali. Orang, kan, cenderung milih yang murah jadi tidak menghargai bahwa itu buatan sendiri,” Ni’mah menekankan.
Tantangan ini, menurut Ni’mah, juga perlu dicarikan solusi oleh Aisyiyah, agar program pemberdayaan UMKM punya dampak nyata.
“Dulu pernah kita gaungkan, ‘Bela, Beli Aisyiyah’, membeli produk sendiri kemudian, ‘Cinta Warung Tetangga’, semacam itu, berati kita harus masifkan,” pungkas Ni’mah.
Penulis: Ken Fitriani
Editor: Ninik Yuniati