BERITA

Kisah James Bon dari Minangkabau

""Yang ditakuti sopir adalah kecelakaan dan masuk jurang," tuturnya."

Pangkalan bus lintas Sumatera (Foto: Sindu Darmawan)
Pangkalan bus lintas Sumatera (Foto: Sindu Darmawan)

KBR, Empat Lawang - Jalur Lintas Sumatera, dini hari itu, Minggu (7/6/2015), sangat sepi dan gelap. Jalan pun licin, usai diguyur hujan yang cukup deras.

KBR tengah dalam  perjalanan ke Tebing Tinggi, Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan, pasca bertugas dari Padang, Sumatera Barat.

Semua penumpang bus antar provinsi saat itu tengah tertidur pulas. Maklum perjalanan yang mereka lalui panjang dan melelahkan. Bus ini melintasi beberapa kabupaten/kota di Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan dan Lampung, sebelum berhenti di tujuan akhir di Jakarta.

Di saat semua penumpang lelap dalam mimpinya, sang sopir James Bon, 52 tahun, tengah berjuang sendiri melawan kantuk, sembari terus berkonsentrasi ke arah jalan. Untuk melawan dingin pria asli Padang, ini mengenakan jaket kain warna coklat, dan kupluk.

"Jalannya banyak kelokan (tikungan,red), tapi kalau busnya enak, enggak ada masalah," tuturnya sembari matanya menatap tajam ke depan.

Bapak tiga anak ini sudah 25 tahun lebih menjadi sopir. "Usia 25 saya sudah pegang truk. Kadang juga pegang bus. Ini pegang bus lagi, tapi belum satu tahun," ujarnya.

Datuk Bon, begitu ia biasa disapa, selalu menghisap rokok sembari menyetir, terutama saat malam dan dini hari.

"Rokok ini ibarat teman. Enggak bisa kalau menyetir tanpa rokok, apalagi jam segini. Saya habis empat bungkus selama perjalanan Padang-Jakarta, dua hari dua malam." 

Baginya kantuk dan dingin bukan masalah utama, yang penting baginya bisa mengantar penumpang selamat hingga tujuan.

"Yang ditakuti sopir adalah kecelakaan dan masuk jurang," tuturnya.

Dalam perjalanan Padang-Jakarta, pengelola jasa transportasi ini menyiapkan dua sopir. Saat Datuk Bon, menyetir, sopir yang lain akan tidur, begitu pula sebaliknya.

Di usia yang tak lagi muda, Datuk Bon, masih belum berniat pensiun dari profesinya. Tiga anaknya tak ada yang mengikuti jejaknya. Jikapun ada, Datuk Bon, mungkin akan mencegahnya. Sebab, kata dia, profesi sopir memiliki resiko dan tanggung jawab besar.

"Saya tak menyesal jadi sopir. Namun ada saat di mana kita selalu sedih, terutama saat Lebaran tiba. Karena saat semua tengah berkumpul dengan keluarga, kami harus tetap bekerja. Tapi bagaimana lagi, ini tanggung jawab dan resiko pekerjaan kami," terangnya, sembari tangannya cekatan membanting setir ke kanan dan kiri, juga memindah tuas gigi. Jalur Lintas Sumatera terkenal dengan rute berkelok-kelok dan kadang berbatasan jurang. Sungguh membahayakan bagi sopir yang minim jam terbang.

Tak terasa sejam lebih berbincang dengan Datuk Bon. Usai menempuh belasan jam perjalanan, KBR, akhirnya tiba di tujuan. Datuk Bon, bersuara membangunkan keneknya. "Bangun, abang ini mau turun." Sang kenek  pun bergegas bangun dan membuka matanya.

Terima kasih Datuk Bon. Terima kasih para sopir. 

  • bus lintas provinsi
  • perjalanan darat
  • sopir bus

Komentar (1)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

  • adek ikhlas8 years ago

    Klo blh tau datuk bon itu bawa bis apa gan?NPM kah?