BERITA

Lab Laba-laba dan Upaya Merawat Penanda Zaman

"Film Lewat Djam Malam menghabiskan sekitar 1,2 miliar rupiah untuk direstorasi"

Lab Laba-laba dan Upaya Merawat Penanda Zaman
Foto: Lab Laba-laba

KBR, Jakarta- Masih ingat film "Lewat Djam Malam" yang diproduksi tahun 1954? Secara fisik film karya Usmar Ismail ini  sudah rusak dimakan waktu. Namun setelah melewati masa restorasi selama satu setengah tahunan (2011-2012), film lawas itu bisa kembali ditonton.

"Lewat Djam Malam" hanya satu dari ratusan film klasik yang sudah direstorasi. Masih banyak arsip film yang teronggok begitu saja, termakan usia di Gedung Produksi Film Negara (PFN), Arsip Nasional dan Sinematek. Sinematek Indonesia, yang didirikan oleh orang-orang film seperti Misbach Jusa Biran dan SM Ardan pada 1975, mengoleksi sekitar 14% dari sekitar 3.000 film Indonesia yang diproduksi sejak 1926 hingga 2012. Ratusan harta karun film nasional juga masih tersimpan di PFN dan Arsip Nasional. 

Kondisi ini mendorong sekelompok seniman yang menamakan dirinya Lab Laba Laba  mengupayakan restorasi film nasional dalam bentuk yang lain. "Restorasi film butuh upaya yang sangat besar. Memakan waktu dan tentu menghabiskan biaya tak sedikit. 'Lewat Djam Malam' misalnya, menghabiskan sekitar 1,2 miliar rupiah untuk direstorasi" jelas Ari Dina dan Rizky Lazuardi saling menimpali dalam perbincangan Ruang Publik, Kamis (31/3/2016).

"Restorasi itu nggak melulu mengembalikan film seluloid kembali menjadi bagus. Tapi bikin karya dari materi yg ada, itu juga upaya restorasi," lanjut keduanya.

Dua anggota Lab Laba-Laba itu menjabarkan alasan pentingnya menjaga arsip-arsip pita film seluloid. Selain sebagai arsip, menurut Ari, pita seluloid merupakan master data sebuah film. Di Lab Laba-laba mereka mengupayakan restorasi data film itu mulai dari alih film ke versi digital hingga upaya kreatif menyelamatkan film yang terlanjur rusak. 


red

Film dalam pita seluloid, kata dia, paling ideal untuk menyimpan master data. "Kalau pun sekarang shooting pakai digital, consider deh untuk kemudian punya seluloid. Kenapa kemudian film-film jaman dulu itu masih bisa kita tonton, mau dijadiin dvd, blu-ray, segede apapun ya karena masternya ada', ujarnya. 

Sementara, Rizky menambahkan, pemerintah belum sepenuhnya memberi perhatian pada pengarsipan film nasional. Padahal, kata dia, film-film tersebut adalah bagian dari identitas penanda zaman bangsa Indonesia yang tak boleh hilang. "Film adalah produk kebudayaan yang dimana-mana harus kita preserve. Restorasi itu butuh kerja keras semua pihak, terlalu naif kalau hanya dikerjakan Lab Laba-Laba sendiri", katanya.

Ari menimpali, "Film itu kumpulan pengetahuan. Kumpulan apa yang pernah dicapai manusia. Jika sudah terarsipkan, kita tidak perlu mengulang kembali ataupun merujuk pada film-film luar negeri seperti sekarang".  

red

Sementara itu, melalui sambungan telepon, Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf menyampaikan apresiasinya atas upaya restorasi film nasional yang dilakukan komunitas Lab Laba-laba. Namun kata dia, Bekraf tak berwenang merestorasi film melainkan fokus pada pengembangan industri film dari sektor ekonomi. Hal itu menurutnya sudah dilakukan lewat menghapuskan Daftar Inisiatif Investasi (DNI). Aturan ini demi membuka keran bagi investor asing. "Paling tidak bulan ini akan dibuat aturan turunannya", kata Triawan dalam perbincangannya dengan KBR melalui sambungan telepon pada Rabu (30/03) lalu.


Editor: Malika

Ruang Publik hadir setiap Senin - Jumat, pukul 9 pagi  

Anda bisa mengusulkan tema untuk dibahas dalam Ruang Publik melalui sms/wa di 08121188181. Fotmat: Nama (spasi) Usia (spasi) Kota (spasi) usulan tema Ruang Publik. 

++

Pameran pita seluloid Lab Laba-laba akan digelar pada Sabtu dan Minggu (2-3 April) pekan ini di GoetheHaus, Jl Sam Ratulangi 9-15, Menteng, Jakarta Pusat.   ( www.lablabalaba.weebly.com )

 

  • #HariFilmNasional
  • #LabLabaLaba
  • #Bekraf

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!