NASIONAL

Saran Pakar Soal Penanganan Banjir di Jabodetabek

Kita itu selalu menerjemahnya by accident, setelah kejadian baru kita kemudian panik, sibuk, lalu kemudian kita berdiskusi. Harusnya kan manajemen kita itu by planning.

AUTHOR / Siska Mutakin

EDITOR / Resky Novianto

Google News
banjir
Banjir di kawasan Perum Pondok Gede Permai, Jatiasih, Bekasi, Selasa (4/3/2025). Foto: ANTARA

KBR, Jakarta- Pakar Sumber Daya Air Perkotaan Universitas Indonesia (UI), Firdaus Ali menilai banjir di kawasan Jabodetabek merupakan masalah yang tak kunjung terselesaikan.

Firdaus menyoroti pentingnya perencanaan yang matang bukan hanya bertindak setelah bencana terjadi. 

Diajuga menyinggung penataan kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat yang dinilai menjadi pemicu banjir.

"Kita itu selalu menerjemahnya by accident, setelah kejadian baru kita kemudian panik, sibuk, lalu kemudian kita berdiskusi. Kita mengisi ruang-ruang publik untuk kemudian terlibat wacana. Harusnya kan manajemen kita itu by planning. Dari awal kita desain sesuatu yang kemudian kita prediksi apa yang akan terjadi ke depan," ucap Firdaus dalam Ruang Publik KBR, Selasa (11/3/2025).

Firdaus mengatakan pemerintah perlu merancang solusi yang besifat jangka panjang dan berkelanjutan. Ke depannya, prediksi dan perencanaan yang matang akan menjadi kunci untuk mengatasi bencana yang akan datang.

Baca juga:

BMKG Soal Banjir Jabodetabek: Barangkali Tata Kelola Lingkungan Perlu Perbaikan

Terkait sikap Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) yang mengeklaim sudah ancang-ancang melancarkan gugatan perdata ke sejumlah pihak yang dinilai menjadi pemicu banjir. 

Menurut Firdaus, pemerintah tidak boleh hanya sebatas gimik ketika ada bencana. Sebab, masalah ini harus diselesaikan secara komperehensif.

"Kalau cuma tadi gimmick sesaat, kemudian kita berkomunikasi mungkin berapa bulan, tapi setelah itu kemudian ya begitu berakhir musim hujan ini, kemudian kita lupa," ujarnya.

Dia menegaskan pentingnya langkah-langkah yang ditempuh oleh kepentingan pusat seperti Kementerian Lingkungan Hidup, dan ATR/BPN, untuk mengembalikan status awal lahan.

Firdaus juga menyoroti pentingnya penegakan aturan yang ada, seperti Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 yang mengatur tentang penataan ruang di Indonesia dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2021 yang mengatur penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia. 

"Ditambah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 28 Tahun 2015 mengatur tentang penetapan garis sempadan sungai dan danau," tuturnya.

Baca juga:

- Bireuen Diterjang Banjir, Dua Warga Meninggal

Firadus menyebut kesulitan daam pembebasan lahan untuk infastuktur pengendalian banjir. 

Dia menjelaskan besarnya biaya pembangunan infrastruktur pengendalian banjir sangat mahal, tetapi kerugian akibat banjir setiap tahun jauh lebih besar.

"Tentunya sampai tahun 2023, kerugiannya sudah hampir 113 triliun. Dibandingkan dengan membangun infrastruktur ini tidak akan sebanding," pungkasnya.

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!