BERITA

Susun RUU KKR, Istana Minta Masukan Pakar dari AS

"Pemerintah mencari formula terbaik RUU KKR agar tak kembali dibatalkan MK"

Susun RUU KKR, Istana Minta Masukan Pakar dari AS
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko saat rapat dengan Komisi II DPR di Senayan, Jakarta, Rabu (13/11/2019). ANT/Aditya Pradana

KBR, Jakarta - Pemerintah berencana meminta masukan seorang pakar dari Amerika Serikat tentang rencana pembentukan kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Pembentukan lembaga ini bertujuan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko tak membeberkan identitas pakar tersebut. Deputi V Bidang Kajian Politik, Hukum, Pertahanan, Keamanan dan HAM KSP Jaleswari Pramodhawardani yang akan berdialog langsung pakar itu melalui telekonferensi, Rabu (11/12/2019).

"Kita ingin melihat bagaimana cara-cara penyelesaian yang lebih lugas, apakah perlu KKR lagi atau bagaimana. Ini kita mau teleconference dengan satu ahli. Nanti habis itu kita ingin mendapat masukan," kata Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan, Selasa (10/12/2019).

Moeldoko menyebut pakar dari AS itu sudah meneliti program rekonsiliasi seperti KKR di beberapa negara. Menurutnya, ada negara di Afrika yang berhasil menyelesaikan kasus HAM lewat jalur rekonsiliasi.

Pemerintah, kata Moeldoko, ingin mencari formula terbaik dalam menyusun RUU KKR. Pasalnya, RUU ini pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006 silam.

RUU KKR tak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024, tetapi masuk dalam daftar RUU Kumulatif Terbuka. Artinya, dalam keadaan tertentu bisa diajukan DPR atau Presiden. Selain RUU KKR, ada juga RUU tentang Koperasi dan Revisi UU Mahkamah Konstitusi masuk daftar Kumulatif Terbuka. 

Pasal amnesti tak masuk draf

Pasal pengampunan atau amnesti untuk pelanggar HAM berat masa lalu dipastikan tidak akan masuk dalam RUU KKR. Juru Bicara Kepresidenan Fadjroel Rahman mengatakan, pemerintah tak ingin UU KKR kembali dibatalkan MK. 

UU KKR sebelumnya yakni UU Nomor 27 Tahun 2004 memuat pasal yang memberi peluang pelanggar HAM mendapat pengampunan dari Presiden. Pasal ini digugat oleh keluarga korban karena bertentangan dengan konstitusi. MK mengabulkan gugatan ini dengan membatalkan UU KKR. 

Menurut Fadjroel, KKR nantinya tetap berwenang memberi rekomendasi penuntasan kasus HAM melalui pengadilan HAM ad hoc.

"Akan dipisahkan. Jadi tidak ada rehabilitasi kemudian juga reparasi. Itu tidak dikaitkan dengan amnesti. Jadi urusannya nanti tetap ada pengadilan HAM, rekomendasi," kata Fadjroel di kompleks Istana Kepresidenan, Kamis (05/12/2019).

Fadjroel menekankan RUU KKR akan mengedepankan penuntasan kasus HAM melalui pengungkapan kebenaran. Ia yakin RUU ini akan menjadi jawaban atas kasus-kasus HAM yang belum tuntas.

Sementara itu, Ketua MPR Bambang Soesatyo atau Bamsoet mengapresiasi langkah pemerintah dalam menyelesaikan kasus HAM masa lalu dengan menggagas kembali RUU KKR. 

Menurutnya, gagasan ini penting agar persoalan HAM masa lalu tak menjadi bayang-bayang sekaligus untuk menyelesaikan berbagai luka di masa lampau. 

"Legislatif tentu menyambut baik, tinggal kita lihat bagaimana realisasinya," tutur Bamsoet sebagaimana dikutip dari Antara, Selasa (10/12/2019).

Editor: Ninik Yuniati

 

  • Presiden Joko Widodo
  • Kantor Staf Kepresidenan
  • Moeldoko
  • Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
  • Kasus HAM Berat Masa Lalu

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!