Article Image

BERITA

Pahitnya Kopi Sarongge, Manisnya untuk Petani

Sejumlah pekerja sedang mensortir kopi di Negri Kopi Sarongge, Cianjur, Jawa Barat. (Foto: KBR/Taufik)

Kaki Gunung Gede Pangrango kini makin rimbun. Petani yang semula merambah hutan dan membuka kebun sayur di sana, sudah turun gunung. Mereka kini bertani kopi, didistribusikan oleh pabrik lokal, Negri Kopi Sarongge. Jurnalis KBR Kurniati berkunjung ke Sarongge di Cianjur, Jawa Barat dan berbincang dengan petani kopi.  

KBR, Cianjur- Siang itu, Dudu Duroni petani sayur yang kini menjadi petani kopi, sibuk membersihkan ilalang yang tumbuh di sekitar pohon kopi miliknya. Berbekal cangkul, parang dan gunting, ia merawat tanaman yang kini menjadi sumber pendapatan utamanya itu.

Sudah 3,5 tahun terakhir ia jadi petani kopi. Dulu ia merambah hutan di kaki Gunung Gede Pangrango dan membuka kebun sayur di sana.

"Ketika menjadi petani sayur, kebanyakan ruginya, karena tanah mesti dicangkul. Dan ketika beralih menjadi petani kopi, keuntungan yang didapat bisa lebih dari 50 persen. Di pertanian kopi, ketika panen raya, biaya perawatan lebih murah, karena pemupukan lebih irit, setahun 2 kali saja,” kata Dudu.

Dudu kini bisa menabung, menyicil motor dan berencana menambah luas lahannya.

Keberhasilan serupa dirasakan 100-an petani lainnya di 3 desa di Cianjur, Jawa Barat.

Ini semua berkat pendampingan soal kopi yang mereka dapat dari Negri Kopi Sarongge, sebuah pabrik kopi lokal di sana.

“Lebih jelas, punya harga kontrak, perjanjian dengan petani dari pabrik kopi yang bernama Negeri Kopi. Dihargai Rp8.000 per kilogram untuk buah ceri kopi arabika, sementara robusta, Rp5.000 per kilogram,” kata Dudu.

Negri Kopi Sarongge punya jargon, cita rasa dari hutan yang terjaga. 

Kualitas kopi Sarongge ini terbukti mendapat skor ke-3 terbaik se-Indonesia dari Asosiasi Kopi Spesialti Indonesia pada 2019.

Saat ini, Negri Kopi Sarongge memproduksi 6 ton kopi biji mentah dalam setahun.

Negri Kopi mendorong petani untuk mendapatkan akses perhutanan sosial yang lebih luas sekaligus mencari pendanaan di lembaga resmi, bukan tengkulak.

“Kami ingin membangun koperasi petani yang bisa menaungi kepentingan petani untuk produksi yang bagus, dan harga yang bagus,” kata Tosca.

Tosca berharap semakin banyak petani di dekat hutan punya akses lahan yang pasti.

Dengan begitu, struktur pengelolaan tanah di Jawa Barat bisa berubah, sembari membenahi produksi kopi. Dan petani kopi seperti Dudu Duroni bisa terus mengembangkan kebun kopinya.

“Sudah betul-betul merasakan dari kopi enak, walaupun rasanya pahit, tapi uangnya manis,” kata Dudu. 



<tr>

	<td><b>Reporter</b></td>


	<td><b>:</b></td>


	<td><b>Kurniati Syahdan</b><br>
</tr>


<tr>

	<td><b>Editor</b></td>


	<td><b>:</b></td>


	<td><b>Friska Kalia<br>
</tr>