BERITA

Laode: UU KPK Baru Bertentangan dengan Konvensi Antikorupsi PBB

Laode: UU KPK Baru Bertentangan dengan Konvensi Antikorupsi PBB

KBR, Jakarta - Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif menegaskan bahwa isi UU KPK hasil revisi bertentangan dengan konvensi antikorupsi PBB, yakni United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang diratifikasi Indonesia tahun 2006.

"Apa yang telah dipesankan UNCAC yang telah kita ratifikasi itu? Satu, lembaga antikorupsi harus independen. Alhamdulillah, dahulu KPK kita itu independen. Sekarang kita ubah menjadi tidak independen. Berarti kita tidak comply (patuh) lagi dengan UNCAC," ujar Laode M Syarif, seperti dilansir Antara, Selasa (10/12/2019).

"Di situ juga dikatakan bahwa KPK itu harus permanen, itu menurut UNCAC yang kita ratifikasi. Habis itu juga harus independen dari segi keuangan, sumber daya manusia," lanjut Laode.

"Pertanyaannya, apakah Indonesia telah comply (patuh), menjunjung tinggi sebagai pihak yang meratifikasi UNCAC? Dengan perubahan UU KPK, itu makin jauh dari panggang," ujarnya.

"Akan tetapi, kenyataannya kita harus menghormati parlemen dan pemerintah yang telah membuat keputusan seperti itu, dan itu (isi UU KPK baru) jelas bertentangan dengan konvensi UNCAC," kata Laode lagi.


Baca Juga: Dukung Pegawai KPK Jadi ASN, Jokowi Abaikan Jakarta Principles


UU KPK Juga Cacat Prosedur

Bukan hanya soal isinya, jajaran Pimpinan KPK juga menilai UU KPK baru cacat dari segi prosedur pengesahannya.

Terkait hal itu, Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif bersama Pimpinan KPK lainnya, yakni Agus Rahardjo dan Saut Situmorang, sudah mengajukan permohonan uji formil UU KPK baru ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam sidang pendahuluan MK yang digelar Senin kemarin (9/12/2019), keberatan para Pimpinan KPK itu dibacakan oleh kuasa hukum Feri Amsari.

"Dalam catatan kami, setidak-tidaknya tercatat 180-an anggota DPR yang tidak hadir dan menitipkan absennya, sehingga seolah-olah terpenuhi kuorum sebesar 287 hingga 289 anggota dianggap hadir dalam persidangan (UU KPK) itu," ujar Feri, seperti dilansir Antara, Senin (9/12/2019).

"Oleh karena itu, kami merasa tindakan anggota DPR membiarkan titip absen itu merusak segala prosedural pembentukan perundang-undangan (UU KPK), sehingga aspirasi publik yang semestinya terwakili dari kehadiran mereka, menjadi terabaikan," tegas Feri lagi.

Simak juga laporan terkait:

 

Feri juga mempermasalahkan pembentukan UU KPK baru yang tidak melewati proses perencanaan Program Legislasi Nasional (Prolegnas), melanggar asas-asas pembentukan perundang-undangan, pembahasannya tidak partisipatif, serta tidak didasari naskah akademik yang memadai.

Dengan berbagai pertimbangan itu, Feri meminta MK agar membatalkan UU KPK hasil revisi.

Namun, Hakim MK menilai permohonan uji formil yang dibacakan Feri Amsari masih memiliki kekurangan dari segi legal standing

MK pun memberi kesempatan bagi Feri Amsari, dan jajaran Pimpinan KPK yang diwakilinya, untuk memperbaiki permohonan mereka hingga Senin mendatang (23/12/2019).

Editor: Agus Luqman

  • KPK
  • UU KPK
  • Revisi UU KPK

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!