BERITA

Kebijakan Satu Peta, Solusi Cepat Tangani Konflik Kepemilikan Lahan

""Harus ada upaya memastikan untuk melindungi, mengakui dan mempromosikan wilayah-wilayah kelola rakyat""

Farid Hidayat, Ria Apriyani, Astri Septiani

Kebijakan Satu Peta, Solusi Cepat Tangani Konflik Kepemilikan Lahan
Ilustrasi peta Indonesia

KBR, Jakarta - Kepala Badan Informasi Geospasial, Hasanuddin Abidin mengatakan, kebijakan satu peta atau one map policy akan memberikan informasi yang valid terkait tumpang tindih status lahan.

Dengan keberadaan Kebijakan Satu Peta, maka penanganan konflik terkait tumpang tindih kepemilihan lahan bisa lebih cepat.

Menurut Hasanuddin, selama ini banyak tumpang tindih kepemilikan lahan yang tak diketahui, hingga bentrok atau berujung sengketa di Pengadilan.

"Sebelumnya orang cuma katanya, itu tumpang tindih tuh. Tapi buktinya mana? Dengan adanya ini, jadi ada data valid. Oh benar ada tumpang tindih, harus dibereskan," kata Hasanuddin saat dihubungi KBR, Rabu(12/12/2018).

Hasanuddin Abidin mengatakan, saat ini ada Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Kewenangan Akses untuk Berbagi Data dan Informasi Geospasial Melalui Jaringan Informasi Geospasial Nasional dalam Kegiatan Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta.

Keppres itu menyebutkan kewenangan berbagi data hanya diberikan kepada presiden, menteri, pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/wali kota.

Dengan adanya kebijakan satu peta ini, ke depan Badan Informasi Geospasial juga ingin organisasi dan kelompok masyarakat juga bisa dilibatkan pemerintah.

"Selama ini sudah banyak organisasi di luar pemerintah yang membuat data mengenai kepemilikan sawit, maupun tanah masyarakat adat masuk dalam peta tematik tersebut," katanya.

WALHI soal Kebijakan Satu Peta

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai secara prinsip kebijakan satu peta sangat diperlukan karena tumpang tindih data lahan di Indonesia cukup banyak.

Manajer Kampanye Walhi, Wahyu Perdana, mengatakan ada dua catatan penting dalam kebijakan satu peta.

Pertama, kebijakan satu peta, tidak bisa disandarkan kepada pembiayaan hutang luar negeri, karena dapat menciptakan pasar tanah.

"Kedua, harus ada upaya memastikan untuk melindungi, mengakui dan mempromosikan wilayah-wilayah kelola rakyat," kata Wahyu Perdana di Kantor WALHI, Jakarta, Rabu (12/12/2018).

Untuk mendorong kebijakan satu peta, Wahyu meminta tiap Kementerian dan lembaga mau menggugurkan atau meninggalkan ego sektoral mereka.

Misalnya, di lapangan izin tambang bertumpang tindih dengan izin kebun. Sama-sama sertifikat tanah dalam satu kawasan bisa tumpang tindih. Belum lagi izin-izin konsesi yang lainnya.

"Di beberapa tempat misalnya, di Kalimantan ada satu desa terdapat 20 izin tambang dan kebun. Artinya tumpang tindihnya sangat besar kalau itu dilakukan dengan baik itu harusnya ini bisa menggurangi resiko ancaman dan konflik," terangnya.

Tidak hanya di Kalimantan, menurut Wahyu, hampir semua kawasan konsesi memiliki tumpang tindih yang besar. Misalnya, kawasan kehutanan memiliki peta sendiri, BPN memiliki peta sendiri, dan ESDM juga mengeluarkan peta wilayah pertambangan yang terjadi akhirnya tumpang tindih.

Kebijakan Satu Peta Butuh Komitmen Seluruh Kementerian

Ombudsman RI mendukung kebijakan satu peta yang baru saja diluncurkan oleh Presiden Jokowi.

Ketua Ombudsman RI, Amzulian Rifai mengatakan kebijakan ini harus dilaksanakan dengan komitmen seluruh pemerintah dan kementerian terkait.

Ia mengatakan, komitmen tersebut harus sampai di tingkat yang paling bawah serta didorong dengan teknologi serta administrasi yang baik. Jika kebijakan ini berjalan dengan baik, maka dapat meminimalisir adanya tumpang tindih lahan.

"Ini tentu suatu hal yang bagus sekali jika bisa diterapkan. Tetapi kan mesti ada komitmen sampai  tingkat paling bawah. Karena tidak berdiri sendiri BPN (Badan Pertanahan Nasional) itu," kata

Amzulian Rifai.

Pengaduan menyangkut masalah pertanahan merupakan salah satu yang terbanyak diterima oleh Ombudsman RI. 

"Ombudsman akan ikut mengawasi kebijakan satu peta ini," kata Amzulian Rifai. 

Editor: Kurniati

  • One Map Policy
  • Kebijakan Satu Peta
  • Badan Informasi Geospasial
  • Walhi
  • Ombudsman

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!