BERITA

Dana Global untuk HIV/AIDS Berhenti, Ini yang Dilakukan Pemerintah

Dana Global untuk HIV/AIDS Berhenti, Ini yang Dilakukan Pemerintah

KBR, Jakarta- Dinas Kesehatan (Dinkes) Papua meminta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengantisipasi dampak dihentikannya dana  penanggulangan HIV/AIDS dari luar negeri. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Aloysius Giay  mengatakan, harus ada alternatif  yang disiapkan Kemenkes soal pendanaan untuk HIV/AIDS di Indonesia.

"Ya harus Kemenkes mengantisipasi kalau misal terjadi, alternatif lain harus disiapkan. Atau bisa mengajak kerjasama badan dunia yang lain atau perjanjian yang baru lagi," kata Aloy pada KBR, Senin (3/12/18).


Aloy mengklaim, selama ini ketersediaan obat antiretroviral (ARV) di Provinsi Papua aman dan mencukupi. Selain itu kata dia, pemerintah papua juga berkomitmen mengatasi HIV/AIDS dengan cara memberikan fasilitas tes sukarela dan pengobatan HRV gratis. Aloy berharap, dengan adanya layanan tersebut tidak ada kasus baru sehingga bisa memperkecil angka pengidap HIV/AIDS yang saat ini masih tinggi di Papua.

Aloy menambahkan butuh peran bersama antara pemerintah, tokoh agama, tokoh adat, dan pihak terkait lainnya untuk mengatasi HIV/AIDS di Indonesia.

red


Sebelumnya UNAIDS menyebutkan bahwa bantuan luar negeri   untuk penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia akan berakhir pada 2020. Direktur Badan PBB untuk urusan HIV/AIDS di Indonesia, Tina Boonto beralasan, Indonesia dinilai sudah tergolong negara berpendapatan menengah.

Kata dia, tahun ini hingga 2020 Indonesia menerima 30 juta dolar Amerika per tahun atau setara Rp480 miliar. Nilai ini turun lebih dari 60 persen ketimbang 2016-2017.

“Karena di seluruh dunia itu dana buat kesehatan sebenarnya juga turun secara global, bukan hanya buat Indonesia. Tetapi ada juga donor-donornya mereka juga lihat income level. Jadi mungkin Indonesia kan sekarang sudah G20, sudah upper middle income, kalau dari laporan World Bank kan sudah naik status incomenya.” Ujar Tina.

 

Tina Boonto menjelaskan, level penghasilan  yang  sudah di atas rata-rata, membuat para donor menganggap, Indonesia sudah mampu mengembangkan program-program kesehatan sendiri. Namun, kata dia, meski program bantuan akan berakhir pada 2020, Indonesia masih bisa mendapat pengecualian untuk menerima bantuan setelah 2020. Sebab, Indonesia masih dilihat sebagai negara epidemik HIV yang masih tinggi. Hanya saja angkanya tidak sebesar itu. Karena dana akan diprioritaskan bagi negara yang sangat membutuhkan.


Menanggapi itu, Anggota Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Sumarjati Arjoso meminta, pemerintah bersiap diri. Sebab ia memperkirakan, pencabutan bantuan rutin itu bakal memberatkan pemerintah.

Sumarjati   mengkritik target pembangunan berkelanjutan Indonesia atau SDGs yang menargetkan bebas dari epidemi AIDS pada 2030. Karena, semestinya prevalensi HIV/AIDS makin menurun. Faktanya, kini Indonesia menduduki posisi ketiga di Asia.  Ia menyebut, upaya pencegahan selama ini tidak berhasil.

“Tentu Komisi IX dalam hal ini akan meminta kesiapan Kementerian Kesehatan dan juga tentunya dengan Kementerian Keuangan terkait bagaimana kesiapannya dengan pengurangan atau bahkan mungkin pencabutan bantuan dari Global Fund tadi.”

Baca: Tekan Angka HIV/AIDS, Situbondo Wajibkan Ibu Hamil Jalani Tes  

Sementara itu, Kementerian Kesehatan mengakui, bantuan luar negeri yang diterima Indonesia untuk penanganan HIV/AIDS menurun dibandingkan 2004 silam. Sebab, menurut Kepala Seksi Standardisasi Pengendalian AIDS dan Penyakit Menular Seksual Direktorat Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Kementerian Kesehatan Endang Budi Hastuti, sejak 2010 Indonesia sudah secara mandiri menyediakan Anti Retroviral (ARV), obat untuk mengendalikan virus HIV yang sebelumnya masih disediakan donor bantuan dari luar negeri. Namun, kata dia, kekurangan dana penanganan HIV/AIDS akan ditutupi dari APBN dan APBD.

“Kalau dibanding 2004 dengan sekarang, jauh sekali bedanya, karena juga pada waktu itu kita masih terbatas pendanaannya, sehingga obat masih disediakan donor. Sekarang per 2010 itu sudah full covered by APBN.”

 

Endang Budi Hastuti mengatakan, dana donor yang masuk saat ini lebih banyak untuk dukungan pendampingan teknis. Sedangkan untuk APBN lebih kepada penyediaan logistik, pelatihan, monitoring dan bimbingan teknis. Ia mengakui, kasus orang dengan HIV positif meningkat. Ia berharap seluruh pengidap HIV bisa ditemukan agar dapat dilakukan pengendalian oleh pemerintah.


Jaringan Indonesia Positif (JIP) berharap pemerintah menjamin ketersediaan obat antiretroviral (ARV) pengidap HIV/AIDS. Program Officer JIP, Verdinand Tee menjelaskan, antiretroviral adalah obat yang harus dikonsumsi pengidap HIV sepanjang hidupnya agar dapat mempertahankan kondisi kesehatannya. Karenanya, JIP meminta pemerintah bisa mengontrol distribusi. Saat ini, izin edar obat ARV dipegang PT Kimia Farma dan PT Indofarma.


"Yang jadi masalahnya itu bukan obatnya, tapi tes-tes pendukung. Karena obat ini (ARV), itu masuk dalam obat program karena itu dicover oleh APBN. Jadi, itu tidak dimasukkan dalam regulasi BPJS. Yang jadi permasalahannya adalah tes-tes pendukungnya itu sudah di-cover oleh BPJS. Cuma, masih banyak teman-teman di lapangan yang tidak mempunyai BPJS," ujar Program Officer JIP, Verdinand Tee.

 

Editor: Rony Sitanggang



  • pengidap HIV
  • Bocah pengidap HIV

Komentar (1)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

  • Idris Bin Jibril5 years ago

    Ada teman saya Di Malaysia yg dijangkiti hiv tidak mahu mendapatkan rawatan. Dia adalah rakyat Indonesia yg malu untuk mendapatkan rawatan. Visa Bantu teman saya!!!