BERITA

Kasus Suap Bakamla, KPK Pertimbangkan Bentuk Tim Penyidik Koneksitas dengan TNI

"Perkara koneksitas adalah pidana yang dilakukan bersama orang yang tunduk pada peradilan berbeda, yaitu peradilan umum dan peradilan militer. Perkara tersebut dapat diadili di pengadilan koneksitas."

Kasus Suap Bakamla, KPK Pertimbangkan Bentuk Tim Penyidik Koneksitas dengan TNI
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang. (Foto: ANTARA)


KBR, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka peluang membentuk tim penyidik koneksitas dengan TNI, untuk menangani kasus korupsi dan suap di Badan Keamanan Laut (Bakamla). Kasus suap itu diduga melibatkan anggota TNI.

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan, model koneksitas bisa dibuat namun yang terpenting adalah penegakkan keadilan.


"Ada debat soal bagaimana kalau ada koneksitas. Itu hanya teknis saja. Yang penting adalah bagaimana menegakkan kebenaran, keadilan, kejujuran. Hanya itu saja kok. Ada banyak model. Kalau kalian ingat, kasus Mi 17 militer helikopter kan, itu koneksitas kan antara kejaksaan dengan ini. Model itu nanti kita buat. Tapi yang paling penting penegakan keadilannya. Model itu bisa kita buat kok," kata Saut Situmorang di Gedung KPK Jakarta, Rabu (21/12/2016).


Kasus MI 17 yang disebut Saut adalah kasus korupsi pengadaan helikopter Mi-17 yang melibatkan pejabat Departemen Pertahanan dengan kerugian negara hingga Rp29 miliar. Kasus itu ditangani bersama TNI dan Kejaksaan Agung.


Perkara koneksitas adalah tindak pidana yang dilakukan bersama orang yang tunduk pada peradilan yang berbeda, yaitu peradilan umum dan peradilan militer. Perkara tersebut dapat diadili di pengadilan koneksitas.


KPK juga dapat membentuk tim koneksitas dengan Polisi Militer (POM) TNI dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Hal itu dimungkinkan dalam UU KPK dan nota kesepahaman antara KPK dengan TNI pada 2012.


Kemarin, sejumlah petinggi KPK telah bertemu Komandan Pusat Polisi Militer TNI, Dodik Wijanarko. Kedatangan Dodik ke KPK dalam rangka penanganan kasus suap alat monitoring satelit di Bakamla.


Baca juga:


Sebelumnya, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek pengadaan satelit tersebut diduga turut menerima aliran dana. PPK itu adalah Anggota TNI Angkatan Laut berpangkat laksamana pertama atau bintang satu.


Saut Situmorang berharap kasus tersebut dapat segera cepat diselesaikan.


"Mudah-mudahan itu bisa cepat dan tidak berhenti. Kalau saya pribadi mengatakan, itu harus cepat," imbuh Saut.


Kasus korupsi itu berawal dari Operasi Tangkap Tangan KPK pekan lalu (14/12). KPK menyita uang suap senilai Rp2 miliar dari PT Multi Technofo Indonesia (MTI) kepada Deputi Informasi, Hukum, dan Kerjasama Bakamla, Eko Susilo Hadi.


Uang itu diserahkan pegawai PT MTI yakni Hardy Stefanus dan Muhammad Adami Okta kepada Eko di Kantor Bakamla, Jakarta Pusat. Usai penyerahan uang, petugas KPK langsung meringkus ketiganya. KPK juga menangkap pegawai PT MTI Danang Sri Radityo di kantornya di kawasan Jakarta Pusat. Hingga saat ini, Danang masih berstatus sebagai saksi.


KPK menetapkan empat tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah Eko Susilo Hadi sebagai penerima serta tiga orang dari PT Melati Technofo Indonesia (MTI) sebagai pemberi. Tiga orang itu adalah Direktur PT MTI, Fahmi Darmawansyah, Hardy Stefanus dan Muhammad Adami Okta.


Namun, hingga saat ini Fahmi belum menyerahkan diri ke KPK. Salah satu bendahara di ormas Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu dikabarkan tengah berada di luar negeri sebelum operasi tangkap tangan.


KPK menduga total commitment fee yang bakal diterima pejabat Bakamla itu mencapai 7,5 persen dari total nilai proyek Rp200 miliar, atau sekitar Rp15 miliar. Eko juga menjabat sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam proyek pengadaan dari dana APBN Perubahan 2016 itu.


Baca juga:


Editor: Agus Luqman 

  • KPK
  • suap
  • Bakamla
  • OTT
  • operasi tangkap tangan
  • Fahmi Darmawansyah

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!