INDONESIA

Seruan Kebebasan Dari Stockholm

Seruan Kebebasan Dari Stockholm

Tahun ini ajang film internasional, Stockholm Film Festival yang digelar di ibukota skandinavia menjadi wadah aspirasi politik.

Tema yang diangkat adalah kebebasan. Ada 180 film yang diputar di sana menceritakan tentang kebebasan. Selain itu ada juga beberapa film dari Asia

Salah satu panel juri festival itu adalah seniman sekaligus aktivis, Ai Wei Wei

Ia dilarang pemerintah Cina untuk menghadiri ajang tersebut...tapi orang-orang bisa merasakan kehadirannya meski bukan secara fisik. Ia hadir dalam bentuk dukungan moril dan melalui layar lebar.

Meski diguyur hujan namun jumlah pengunjuk rasa diluar gedung kedutaan besar Cina terus bertambah.

Panitera Festival Film Stockholm Internasional mengundang seniman Ai Wei Wei untuk duduk di panel juri, namun paspornya disita pemerintah.

Para pengunjuk rasa meneriakkan tuntutan mereka….

Dari sebuah studio di Beijing, Seniman asal Cina, Ai Wei Wei mengirimkan pesannya kepada semua orang di festival fim tersebut.

“Dengan segala kerendahan hati, terimalah permohonan maaf saya sebesar-besarnya. Karena suatu dan lain hal, saya tidak dapat menghadiri acara ini. Untuk itulah saya tergerak untuk melakukan sesuatu yang mengekspresikan penyesalan saya. Kursi ini saya rancang dan buat secara khusus dan saya harap bisa kursi ini bisa menghibur anda. Ini adalah sebuah bentuk pernyataan yang mewakili kondisi kebebasan seseorang dibatasi oleh pihak berwenang.”
 
Dia juga membuat dan mengirim sebuah kursi yang sengaja tidak bisa diduduki…tapi sebuah palang melintang diatas kursi itu.

Tema festival film tahun ini adalah kebebasan... sebuah topik yang mendominasi film-film yang diputar pada festival tahun ini, kata Git Sheynius, sang ketua festival.
 
“Kami menyeleksi sekitar 2000 film, hasilnya menjadi 180 film dan kami bisa melihat bahwa hampir seluruh dunia mengangkat tema tentang kebebasan.”



Dari sederet film Asia yang diputar pada festival tahun ini, hanya beberapa film saja yang benar-benar menarik perhatian.
 
Salah satunya adalah ”Cutie and the Boxer” karya Zack Henzerling, yang memenangkan penghargaan sutradara terbaik di festival film Sundace.

Film tersebut merupakan film dokumenter tentang artis jepang berumur 80 tahun Ushio Shinohara dan istrinya Noriko.

Kebebasan membuat sebuah karya seni adalah intisari dari kisah pasangan yang selalu berseteru saat mereka membuat dan menjual karya mereka.

Cinta dan pengorbanan menguji kebebasan masing-masing individu tersebut.

Salah satu penonton tak kuasa menahan air matanya.

”Ini film yang jujur. Pasangan itu begitu terbuka mengenai hubungan mereka, namun anda masih bisa merasakan cinta dan hasrat yang begitu besar. Dan bagaimana Noriko berbicara tentang ketertarikan antara dua pribadi berbeda. Seperti magnet.”

Sutradara Arvin Chen hadir dengan karya film komedi terbarunya “Will You Still Love Me Tomorrow?”

Film yang mengambil setting di Taipei itu merupakan cerita komedi soal kebebasan memilih orientasi seksual.

Tidak mudah untuk hidup di masyarakat yang menjunjung tinggi pernikahan, tekanan yang besar dari orang tua dan homoseksualitas adalah sesuatu yang dipandang rendah.

Film itu menceritakan kehidupan jalanan yang sebenarnya dan keterbukaan di Taiwan saat ini, kata Arvi Chen, sutradara sekaligus penulis naskah film tersebut.

“Sangat menarik, sebenarnya. Anda melihat perempuan dengan perempuan dan laki-laki dengan laki-laki dijalanan”

Namun perjalanan masih panjang bagi masyarakat Taiwan untuk bisa seterbuka dunia barat.

”Menurut saya, belum ada kemajuan. Belum ada pernikahan sesama jenis, tidak banyak sesama jenis yang tinggal bersama. Namun yang menarik tentang Taiwan adalah, selalu ada perdebatan.”

Sebuah komedi romantic, penuh kasih sayang tapi tidak dibuat-buat.

Setelah melihat suaminya berada dipelukan laki-laki lain…dia terluka, tapi dia merelakan sang suami untuk bebas menjadi dirinya sendiri.

Ketika film ”Ilo Ilo” diputar pertama kali di Cannes, film tersebut sempat tersendat selama tiga kali. Namun para penonton tetap berada dibangku mereka hingga film itu usai.

Bersamaan dengan ditayangkannya fadtar nama pemain film, para penonton berdiri dan memberikan tepuk tangan selama 15 menit.

Ide cerita itu muncul dari pengalaman pribadi sutradara Anthony Chen...besar di Singapura pada tahun 90’an setelah sang ayah kehilangan pekerjaannya.

“Anda mengukung diri Anda sendiri, anda membatasi diri anda karena sejumlah kewajiban yang harus anda penuhi. Sebagai seorang suami, seorang ayah dan pencari nafkah. Memastikan bagaimana kebutuhan keluarga terpenuhi.”

Kami mengikuti seorang anak laki-laki hiperaktif berumur 12 tahun yang nakal yang diperankan secara sempurna oleh Koh Jia Ler dan pengasuh filipinanya.

Kebebasan tidak dirasakannya dan ia merindukan kebebasan itu.

Pengasuh anak itu adalah seorang pekerja migran dari pulau Ilo Ilo, Filipina.

Migrasi, upaya kebebasan dan kebebasan secara finansial, adalah tema yang sering diangkat dalam film-film asia.

“Orang-orang menyebrangi perbatasan, bekerja di negeri orang.  Mempekerjakan buruh asing dengan upah rendah untuk jenis-jenis pekerjaan kasar. Menurut saya, itu adalah hal-hal menjadi perhatian dan pengamatan para pembuat film di Asia.”

Di dalam teater utama, kursi buatan Ai Wei Wei yang secara sengaja tidak bisa diduduki dipajang dalam sebuah kotak yang terbuat dalam kaca.

Ketua festival Git Scheynius mengatakan, kursi itu akan tetap di sana untuk mengingatkan kita semua bahwa ada banyak orang yang kebebasannya telah direnggut.


  • Swedia
  • Festival Film Stockholm
  • Ai Wei Wei
  • kebebasan berekspresi
  • Ric Wasserman

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!