BERITA

Reza Rahadian: Film Bagus Seharusnya Bisa Tayang di Bioskop Minimal Sebulan

"KBR68H, Jakarta - Tiga piala Citra, Piala Indonesia Movie Award, Piala Maya, dan filmnya ditoton jutaan orang di Bioskop hanya sebagian catatan perjalanan Reza Rahardian. Kerja Sutradara juga sudah dirambahnya."

Arin Swandari & Doddy Rosadi

Reza Rahadian: Film Bagus Seharusnya Bisa Tayang di Bioskop Minimal Sebulan
reza rahardian, film bagus, bioskop

KBR68H, Jakarta - Tiga piala Citra, Piala Indonesia Movie Award, Piala Maya, dan filmnya ditoton jutaan orang di Bioskop hanya sebagian catatan perjalanan Reza Rahadian. Kerja Sutradara juga sudah dirambahnya. Reza menorehkan janji untuk membuat film-film tentang toleransi, keberagaman sebagaimana pengalaman hidupnya sebagai Muslim di antara keluarga yang menganut Nasrani.

Kata Reza, ini adalah salah satu sumbangan yang bisa ia berikan untuk Indonesia yang berwarna. Kita simak Sarapan Bersama  Reza Rahadian  persembahan KBR68H Tempo TV dan Portal KBR. Wawancara dilakukan Arin Swandari dan Doddy Rosadi.

Begitu banyak penghargaan di 2013 kemarin baru saja Piala Maya, kemudian film Tanda Tanya yang kental sekali dengan isu toleransi dan keberagaman. Ini kental juga dengan kehidupan sehari-hari?

Iya sangat kental menurut saya. Karena kami berbeda keyakinan, ibu saya nasrani saya sendiri muslim dan kehidupan keluarga besar kami adalah kehidupan yang melambangkan toleransi yang begitu indah. Kemudian bagaimana kita bisa menghadiri yang nasrani lagi natalan, mereka kebaktian kita ada di situ duduk bersama tidak harus mengikuti ibadah secara utuh saya sebagai anak juga mengikuti prosesinya. Indah saja ketika saya berlebaran dan keluarga saya yang muslim lebaran semua yang nasrani datang berkunjung. Kemudian memberikan kehadiran mereka sebagai salah satu wujud kebersamaan yang begitu indah, saya rasa memang betul kalau dikatakan sangat dekat dengan kehidupan saya sehari-hari. Saya melihat toleransi adalah satu hal yang paling dasar yang harusnya diajarkan oleh setiap individu kepada individu lainnya atau ditularkan. Karena bangsa ini saya rasa kalau mulai kehilangan rasa  toleransi itu bahaya sekali, karena saya melihat sudah mulai banyak sekali pihak yang ingin memisahkan, mengkotak-kotakkan. Saya sudah melihat peristiwa-peristiwa di luar saya mengambil kesimpulan sendiri, ada satu pihak tertentu yang sedang mencoba memecah belah negara-negara mungkin negara Islam, negara non Islam atau apa itu coba dipecah-pecah. Saya takut khawatir kalau rasa itu tidak terus tumbuh di pemuda-pemuda kita dia akan mudah terprovokasi oleh perbedaan-perbedaan yang ada.

Selain di keluarga tumbuh dalam keluarga yang toleran penuh keberagaman seperti apa Anda tumbuh di lingkungan keluarga sehingga membentuk Reza yang bekerja keras dan perfeksionis?

Itu terbentuk saya rasa salah satu inspiratornya ibu saya sendiri, itu sumber. Karena saya melihat beliau begitu toleran, beliau mengajarkan saya begitu banyak hal yang menurut saya manfaatnya saya rasakan sekarang. Dari saya kecil saya tinggal di lingkungan yang rata-rata muslim, kami tinggal di sebuah tempat dikelilingi oleh mayoritas muslim. Kemudian kalau lebaran ibu saya selalu mengajarkan kalau ada anak-anak yang seusia kamu bilang agama kamu kan begini-begini, tidak apa-apa dengarkan saja atau kamu berbeda keyakinan dengan mereka it’s ok. Terus ibu saya selalu mengajarkan jangan lupa ya Allah selalu mengasihi siapapun itu, kemudian perbedaan yang ada ini jangan lupa mamah juga punya keluarga yang muslim kemudian yang nasrani kita juga sebagian besar ada. Ibu saya saya rasa sumbernya ya, dia mengajarkan begitu banyak hal tentang bagaimana saya harus bisa toleran terhadap hal-hal tersebut.

Anda juga dekat dengan omah dan kemarin Piala Citra dipersembahkan untuk omah sosialis ya?

Iya betul saya menyebutkan itu waktu saya menerima sebagai seorang sosialis sejati. Saya rasa itu menjadi satu keberagaman lain lagi di keluarga kami, omah saya punya pandangan sendiri tentang hidupnya dia, dia punya visi misi sendiri mungkin berbeda dengan anak-anaknya bahkan dengan opah saya mungkin. Jadi memang di keluarga turun temurun perbedaan itu sudah terbentuk, kami terbiasa dengan perbedaan yang ada sehingga membentuk para cucu-cucu tumbuh sangat toleran. Sepupu-sepupu saya datang ke acara yang muslim, nasrani, Hindu, Budha, mau warga keturunan dan lain-lain tidak masalah. Jadi omah saya kalau boleh saya bilang kami terpisah ibu saya terutama 33 tahun, tidak bisa pulang. Kalau dibilang kedekatan saya baru terjalin semenjak saya syuting Habibie Ainun dan saya punya kesempatan pergi ke Utrecht, Belanda mengunjungi omah saya. Kemudian omah saya tahun 2003 juga sempat datang ke Indonesia pulang di eranya Gus Dur kalau tidak salah, ya kami bertukar pikiran. Omah saya menitipkan begitu banyak hal tentang apa bangsa ini, kamu harus buat apa untuk bangsa kamu, kemudian apa yang sudah kamu berbuat sudah membanggakan omah.

Itu kemudian yang akan Anda angkat dalam karya-karya Anda ke depan?

Saya rasa sangat mempengaruhi. Saya punya sisi itu terbentuk terutama dari ibu saya, saya melihat ibu saya bekerja keras dan dia adalah salah satu mengajarkan saya tidak harus kaya untuk bisa menolong orang lain, tidak harus kamu punya uang banyak baru bisa menolong orang lain.

Sekarang juga menekuni sutradara, ingin punya film sendiri?

Dengan point of view saya pribadi mungkin mau. Saya mau membuat sebuah film yang saya ingin garap dengan salah satu penulis yang sudah saya pilih, saya belum bisa cerita banyak insyaAllah tahun depan baru mulai kita obrolin karena saya kerja sampai bulan Juni jadi baru setelah Juni saya bekerja untuk proyek yang lain. Saya ingin kembangkan proyek saya sendiri.

Setelah film Pendekar Tongkat Emas ya?

Iya betul.

Kalau Pendekar Tongkat Emas itu seperti apa?

Itu film laga ada unsur dramanya kuat, filosofinya kuat sekali, tidak ada spesifikasi tahun sebenarnya. Tapi ini lampau sekali, bisa dibilang ini zaman pendekar-pendekar hidup, padepokan-padepokan silat berdiri, ada konflik percintaan, cerita mengenai bagaimana seseorang yang sangat ambisius mengejar sesuatu. Tongkat emas ini sebagai salah satu objek utama daripada pendekar-pendekar ini bagaimana bisa menguasai tongkat emas, saya belum bisa bocorin terlalu panjang karena memang itu pesan  Mbak Mira tapi so far ceritanya seperti itu.

Anda selalu produktif sekaligus berkualitas. Bagaimana memadukan antara produktivitas dan kualitas itu?

Saya merasa bahwa saya hanya memilih kalau ada kesempatan untuk memilih. Yang saya syukuri saya percaya betul bahwa konsistensi menjaga apa yang saya ambil itu menjadi satu garis sebagai tolak ukur bagaimana proyek berikutnya saya dapat. Karena biasanya saya percaya ketika sebuah karya baik dilahirkan itu akan melahirkan karya-karya yang baik berikutnya. Kenapa karena saya merasakan sendiri, ketika saya bermain dalam film Perempuan Berkalung Sorban, setelah itu saya dapat Emak Ingin Naik Haji. Itu seperti mengalir, satu proyek ini melahirkan proyek berikutnya yang baik, dipercaya untuk kemudian mendapatkan skenario-skenario yang juga mumpuni. Jadi ada penulis skenario yang kemudian merasa bahwa oh Reza kita mau kasih skenario ini suka tidak, saya bagaimana menolak orang skenarionya bagus. Jadi saya selalu mendapatkan kesempatan untuk dipercayakan untuk bermain dalam sebuah skenario yang ditulis secara serius.

Anda tadi mengatakan mungkin ada orang-orang yang ingin mengkotak-kotakkan dan ketika Anda nanti membuat film yang serupa dengan film Tanda Tanya, 3 Hati, dan seterusnya barangkali akan ada pertentangan. Bagaimana?

Saya percaya bahwa sekali lagi negara kita negara Pancasila, itu menjadi pakem utama saya. Kita harus kembali ke pilar yang itu dulu, secara sederhana saya menyebutkan perbedaan-perbedaan yang ada toh yang selama ini menjadikan itu kontroversi itu adalah sebagian pihak ini. Sekelompok orang yang senang saja dengan sensasi-sensasi perbedaan ini sehingga itu diangkat. Padahal menurut saya mereka yang lupa atau mereka menginginkan bangsa ini pecah belah atau apa saya tidak mengerti. Tapi saya sangat siap dengan resiko-resiko yang akan muncul.

Tapi biasanya kalau mereka menentang itu promosi gratis buat film ya?

Sekalian makanya kalau tidak ada kontroversi ya kadang-kadang tidak lucu, mungkin promosi gratisnya begitu kali.
 
Untuk mendalami sebuah peran kemudian hadir dalam bentuk performa yang nyaris sempurna itu bagaimana?

Saya tidak pernah mempersulit sebuah karakter. Itu teori yang saya  temukan seberjalan dengan saya adalah memanusiakan tokoh, apapun perannya usaha yang pertama kali saya lakukan adalah memanusiakan tokoh. Kenapa penting memanusiakan tokoh karena tokoh itu harus manusiawi. Pokoknya bagaimana sedekat mungkin saya memposisikan diri sebagai orang yang akan menonton saya nantinya. Pertama harus believable, bagaimana mencapai proses supaya kita bisa meyakinkan penonton ya kita harus berbicara dengan sangat jujur terhadap apapun itu. Misalnya saya lagi bicara mengenai bagaimana suasana yang sedih dalam sebuah film, sejujur apa saya bisa terharu sejujur apa saya bisa menangis. Kalau semuanya pretensius semuanya berpura-pura padahal seni peran juga adalah sebuah kepura-puraan yang disengaja pada prinsipnya. Tapi bagaimana saya memutar balik itu menjadi sebuah kepura-puraan yang jujur, jadi pura-pura tapi jujur. Itu hanya bisa terjadi di set sebenarnya, karena kalau saya membayangkannya selalu tidak bisa membayangkan yang sedih-sedih atau marah. Saya harus membayangkan kalau saya kehilangan orang tua misalnya, itu yang harus saya rekam dulu, saya simpan dulu, saya selami dulu kemudian saya munculkan itu. Itu cara saya mendalami sebuah peran, karena saya percaya setiap tokoh hanya akan manusiawi di tangan aktor yang betul-betul masih berpikir untuk memanusiakan tokoh itu.

Tampaknya semua film bagus jatuhnya ke Anda ya?

Amin mudah-mudahan begitu. Itu kepercayaan ya, saya percaya bahwa itu adalah sebuah kepercayaan produser, sutradara. Karena kepercayaan bisa terbentuk atas kerja keras, atas bukti dulu yang sudah kita buktikan, kemudian kepercayaan bisa datang omongan dari mulut ke mulut di industri itu sendiri. Saya percaya betul bahwa dari mulut itu bekerja dengan sangat baik, sebaik apapun saya sudah main kalau attitude juga minus sepertinya orang malas bekerjasama. Jadi saya coba jaga sikap saja, saya tetap jadi diri saya, saya sangat keras orangnya kalau di lokasi.

Kerasnya seperti apa?

Mungkin kadang-kadang kan tidak semua orang bisa bekerja sesuai apa yang saya inginkan, sistem kerja saya. Kadang-kadang saya juga harus menyesuaikan pola kerja orang lain, kadang-kadang saya terlalu perfeksionis saya pikirin hal-hal yang kecil sampai besar. Jadi kadang-kadang itu yang mengganggu saya pribadi sehingga saya membentuk self deffense yang begitu kuat bahwa kalau saya punya pendapat A saya akan pertahankan sampai titik darah terakhir bahwa harus begini.

Kalau nanti punya perusahaan film sendiri tampaknya bakal one man show ya?

Makanya itu jangan, repot juga kalau one man show. Artinya mungkin itu tumbuh karena perfeksionisnya saya.
 
Dengan produktivitas Anda yang banyak ini berapa sih setahun?

Berapa apa ini, berapa filmnya? karena sebenarnya tahun ini tahun yang paling tidak produktif buat saya. Saya hanya muncul dua film yaitu Finding Srimulat dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck sisanya tidak ada. Tahun 2012 saya ada enam film setahun jadi mungkin tahun ini tahun yang paling santai menurut saya. Tapi saya bekerja kemarin di Brunei, film negara tetangga lalu di Indonesia saya syuting film ada sekitar tiga film tapi buat tahun depan semua. Kalau dibilang produktif ya mungkin boleh dibilang cukup produktif, kalau bicara angka ya cukuplah.
 
Anda di usia yang relatif muda meraih tiga Piala Citra, sebelumnya terbayangkan akan mendapat Piala Citra bahkan sampai tiga kali?

To be honest tidak pernah. Saya dulu pertama kali cita-cita saya adalah saya ingin sekali pindah dari sinetron ke film, jadi apapun filmnya akan saya ambil itu yang terwujud dalam film pertama saya film horor. Jadi kalau ada orang bilang jangan pernah main film seperti itu untuk mengawali sebuah karir, kalau Anda punya pilihan lain yang lebih baik kenapa tidak tapi pada saat itu saya tidak punya pilihan lain. Saya ambil kesempatan itu dan ternyata saya bisa membuktikan bahwa nasib atau karir kita tidak ditentukan dari mana kita mengawali kok. Tidak ditentukan hanya karena kita berawal di film horor yang pada saat ini kalau saya nonton sekarang ya begitu ya. Tapi menurut saya ya itu membawa saya pada satu step yang berbeda.

Tapi kalau begitu sekarang tidak mau lagi main film horor?

Mau, saya tidak ada masalah dengan film horor tapi horor yang seperti apa kontennya. Saya tidak pernya membayangkan ada tiga Piala Citra saat ini yang saya dapat, karena dulu cita-cita saya ingin main film kok susah sekali, casting sana sini kok susah apa yang salah itu membuat saya terus berpikir dan memperbaiki. Sampai saya mendapat kesempatan dan turning point-nya adalah Perempuan Berkalung Sorban.

Lebih enak sutradara atau pemain?

Pemain, tetap kalau saya sebagai aktor. Sutradara konsentrasinya luar biasa, pusing memikirkan banyak hal. Tapi sebagai story teller memang sutradara lebih punya kesempatan untuk menyampaikan lebih luas karena dia berbicara dari sudut pandang A, B, C, dan D. Kalau aktor mungkin satu saya perannya sebagai apa ya sudut pandangnya hanya sudut pandang tokoh itu saja yang bisa saya tuangkan.

Dengan tiga Piala Citra ini apakah Anda akan semakin selektif untuk memilih film-film yang akan Anda mainkan kedepannya?

Tidak pernah terpengaruh. Sebenarnya masalah selektif atau tidak itu tidak ditentukan oleh piala yang saya dapat. Tapi bagaimana kalau ada pilihan saya dapat dua skenario yang saya nilai baik tentu saya pilih mana yang terbaik menurut saya, tapi kalau satu skenario saja yang datang dan menurut saya baik ya saya ambil. Saya bingung menentukan selektif itu sebenarnya yang bagaimana, saya hanya mengambil cerita yang saya suka peran yang saya suka, sesederhana itu.

Kriteria yang Anda suka ini sebenarnya yang seperti apa?

Pertama cerita yang menurut saya masyarakat mampu tangkap ceritanya. Kemudian cerita yang dekat dengan kehidupan masyarakat yang realistis, seperti di film saya Alangkah Lucu Negeri Ini, Tanda Tanya, 3 Hati. Sesuatu yang secara konflik pun ya itu riil di masyarakat kita terjadi, bisa ada di kehidupan sehari-hari. Kalaupun fantasi filmnya saya mungkin tetap memakai pola permainan yang bagaimana masyarakat bisa enjoy untuk nonton.

Lima tahun ke depan apa yang ingin Anda catat?
 
Itu yang tidak pernah saya pikirkan. Karena buat saya berakting hanya persoalan skup yang membedakan setiap aktor, saya percaya Indonesia punya aktor-aktor yang tidak kalah dengan aktor-aktor luar. Hanya kesempatan dan kepercayaan dunia film luar terhadap kita yang belum muncul, masih sedikit. Jadi saya rasa kalaupun ada ya saya berharap ada film Indonesia yang go international atau diputar di dunia dan tidak hanya sekadar action, misalnya drama menceritakan masyarakat kita atau saya bermain dalam produksi luar tapi bicara mengenai Indonesia.

Anda punya aktor atau aktris favorit?

Aktris favorit Julia Robert dan Meryl Streep. Kalau aktor Morgan Freeman dan Robert De Niro itu adalah dua aktor favorit saya.

Kalau dalam negeri?

Ada Slamet Rahardjo, Tio Pakusadewo, Christine Hakim, dan Widyawati. 
           
Masih ada keinginan tampil dengan seorang tertentu dalam satu film?

Christine Hakim. Saya rasa tidak ada yang tidak mau main sama beliau, saya melihat karena pola bermain Bu Christine sangat luar biasa, otentik permainannya. Tapi di sisi lain saya melihat Ibu sebagai sosok yang menginspirasi saya dalam berakting dan terus berkarir karena dedikasinya luar biasa.

Anda sebagai seorang aktor apakah melihat film Indonesia sebagai tuan rumah di negeri sendiri?

Ya kadang-kadang bisa terjadi setahun sekali menjadi tuan rumah. Seperti sekarang minimal saya bisa melihat ada Soekarno dua layar, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dua layar. Tapi masak terjadi setahun sekali setiap bulan Desember itupun baru dimulai periodenya setelah film 5 cm.

Ke depannya apa yang harus dilakukan agar Indonesia menjadi tuan rumah seperti India?

Mungkin saya ambil contoh tidak terlalu jauh seperti Thailand. Peraturan pemerintah yang paling penting, karena kita apa-apa kalau sudah bicara hukum bicara Undang-undang, bicara mengenai pemerintah, bicara UU yang disusun oleh pemerintah. Saya rasa harus ada regulasi yang lebih konkret, kita di Indonesia kebanyakan standar ganda karena standar ganda itu di semua lini pemerintahan. Contoh ada Undang-undang Perfilman yang mengatur bahwa layar film di Indonesia harus dikuasai sekian persen oleh film nasional ketimbang film asing, itupun tidak terwujud jumlah layar yang bertambah. Saya bingung, bikin Festival Film Indonesia dengan mengatakan dana Rp 16 miliar katakanlah, dana itu kemana kalau festival yang kemudian kita lihat wujudnya hanya begitu saya. Saya rasa itu bukan wujud yang menggambarkan yang Rp 16 miliar tadi. Saya merasa bahwa pemerintah perlu lebih memikirkan mengenai ini dan saya tidak bisa bilang harus ada departemen khusus yang membidangi khusus mengenai film Indonesia, harus ada PFN kembali hidup, harus ada KFT yang kembali hidup, harus ada Badan Perfilman Indonesia (BPI) yang kembali hidup. Karena elemen-elemen ini yang akan mendukung munculnya Undang-undang yang lebih konkret. Undang-undang dulu deh kalau saya, percuma saya bilang tumbuh kembang bergantung pada produser yang menciptakan film-film bagus itu nonsense buat saya. Undang-undang diterapkan dulu bahwa 80 persen layaf film Indonesia harus diisi film-film nasional ayo coba buktikan dulu. Kemudian kalau ada film yang dinilai baik sebelum masalah penonton harus ada regulasi yang minimal membuat film tersebut tayang minimal satu bulan seperti di Malaysia. Punya regulasi-regulasi khusus, bukan film bagus baru tayang dua tiga hari hanya karena penontonnya sedikit dan belum diberi kesempatan oke turun ganti layar film berikutnya, jadi monopolinya kuat sekali saya harus akui.      
           


  • reza rahardian
  • film bagus
  • bioskop

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!