BERITA

Kontras: Jangan Jadikan UU KKR untuk Cuci Tangan Kasus HAM

Kontras: Jangan Jadikan UU KKR untuk Cuci Tangan Kasus HAM

KBR, Jakarta - LSM Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mempertanyakan rencana pemerintah menyelesaikan kasus Semanggi I dan berbagai kasus pelanggaran HAM menggunakan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Koordinator LSM Kontras Yati Andriyani mengatakan, jika penyelesaian mengunakan cara rekonsiliasi maka harus ada pengungkapan fakta terlebih dahulu yang menjadi pedoman.

Sementara, saat ini pelaku tidak diketahui siapa yang melakukan.

"Tapi saya masih curiga kalau KKR yang dimaksud pemerintah itu sebenarnya ada rekonsiliasi. Rekonsiliasi itu kan ada tahapannya, yang namanya rekonsiliasi harus ditempuh dengan satu pengungkapan kebenaran. Pengungkapan kebenaran itu tentang fakta-fakta peristiwa apa, pelaku siapa, penanggung jawab siapa harus dibuka. Kalau pemerintah langsung pada rekonsiliasi, itu sama saja dengan upaya menutup kasus ini dengan cuci tangan," ujar Yati Andriyani di M Block Space, Rabu (13/11/2019).


Koordinator Kontras Yati Andriyani menyebut Undang Undang KKR tidak mengugurkan kewajiban negara menempuh proses hukum terhadap pelaku pelanggar HAM.


Menurut Yati Andriyani, pengadilan HAM dan Undang-Undang KKR sifatnya saling melengkapi. Namun, harus diungkap lebih dulu siapa pelakunya.

Dengan begitu pemerintah tidak bisa mengugurkan peradilan dengan KKR.

Baca juga:

Alasan Istana


Sebelumnya, Istana Kepresidenan menawarkan solusi penyelesaian berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM), termasuk tragedi Semanggi I yang terjadi tepat 21 tahun lalu, dengan Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).


Juru bicara Presiden Joko Widodo, Fadjroel Rachman mengatakan ide KKR tersebut sudah disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD pada Jokowi. Jika Jokowi menyetujuinya, kata Fadjroel, Mahfud yang akan bertugas mempersiapkan rancangan undang-undangnya.


"Beliau (Mahfud MD) menyarankan lagi untuk dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang dulu gagal, karena waktu itu bersama Undang-undang KPK, dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. Nah, ada inisiatif sekarang oleh Menko Polhukam, untuk menaikkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Intinya agar kebenaran diungkap, agar para korban diberikan apa yang menjadi haknya. Nanti kita lihat," kata Fadjroel di kompleks Istana Kepresidenan, Rabu (13/11/2019).


Fadjroel Rahman pernah menjadi salah satu dari 42 orang kandidat anggota KKR, sebelum undang-undangnya dibatalkan Mahkamah Konstitusi.


Fadjroel meyakini, mekanisme KKR bisa menjadi cara efektif untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Namun, ia tak bisa memastikan nasib pengusutan tragedi Semanggi I secara hukum, yang telah diselidiki Komnas HAM, jika pemerintah menggunakan mekanisme KKR untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM.


Fadjroel berkata, isu yang masih menjadi perdebatan dari KKR adalah pasal khusus yang memberi pengampunan untuk pelaku jika bersedia mengakui perbuatannya.


Isu itu dipersoalkan keluarga korban Tragedi Semanggi I, karena dianggap memberikan impunitas (kekebalan hukum) untuk pelaku pelanggar HAM.


Tragedi Semanggi I terjadi 13 November 1998, tepat 21 tahun lalu. Peristiwa itu menewaskan 17 warga sipil. Tragedi tersebut diperingati dengan acara tabur bunga di Universitas Atma Jaya, serta pembentangan spanduk "Berapa Presiden Lagi sampai Pelanggar HAM Diadili" di depan gedung kampus.


Baca juga:


Editor: Agus Luqman 

  • KKR
  • HAM
  • Kasus Pelanggaran HAM
  • kasus HAM
  • Tragedi Semanggi
  • Tragedi Trisakti
  • Kontras

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!