BERITA

Kementerian ESDM: Kalau EBT Berkembang, Industri Batu Bara RI Hadapi Masalah

""Kalau EBT, energi baru tadi berkembang pesat, dan harga keekonomiannya menjadi lebih murah daripada batu bara, itu batu bara kalau tidak diproses lanjut akan menjadi masalah.""

Sadida Hafsyah, Astri Yuanasari

Kementerian ESDM: Kalau EBT Berkembang, Industri Batu Bara RI Hadapi Masalah
Warga mengamati panel surya yang jadi sumber energi jaringan BTS di kawah Gunung Ijen, Banyuwangi, Jawa Timur, Kamis (7/11/2019). (Foto: ANTARA/Budi Candra)

KBR, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menilai perkembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) dapat mengancam industri batu bara di Indonesia.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Bambang Gatot Ariyono melihat kemungkinan ini dari pergerakan negara tujuan ekspor batu bara Indonesia, seperti Tiongkok dan India. Negara itu tengah mengembangkan EBT untuk menjadi sumber energi utamanya.


"Kalau EBT, energi baru tadi berkembang pesat, dan harga keekonomiannya menjadi lebih murah daripada batu bara, itu batu bara kalau tidak diproses lanjut akan menjadi masalah. Di India kemarin, bertemu dengan Dubes India. Di 2025 mereka akan membangun 175 gigawatt energi baru. Seratus gigawatt dari solar, 65 dari angin, yang sisanya dari nuklir dan air," jelas Bambang, Rabu (20/11/2019).


Baca juga:


Gatot Ariyono menyebut hilirisasi adalah solusi yang tepat untuk persoalan ini. Misalnya penerapan teknologi gasifikasi khusus untuk batu bara di Bukit Asam Coal Based Special Economic Zone (BACBSEZ).


Harapannya ke depan akan meningkatkan nilai tambah pada produk turunan batu bara tersebut.


Kementerian ESDM juga memberi dukungan lain kepada pelaku industri batu bara, dengan menjamin perpanjangan masa kontrak selama 20 tahun (2 x 10 tahun), bagi perusahaan batu bara pemegang kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Tetapi dengan skema pengurangan wilayah kerja.


"Kami fair saja. Perpanjangan kontrak sudah tertulis dalam undang-undang," kata Gatot Ariyono. PKP2B saat ini diatur melalui UU Pertambangan No. 11/1967.


Dalam lima tahun ke depan setidaknya ada tujuh PKP2B Generasi I yang akan habis masa kontraknya. Di antaranya PT Kideco Jaya Agung (berakhir 13 Maret 2023) dan PT Kaltim Prima Coal (31 Desember 2021).


Baca juga:

Kebijakan tidak sinkron


Associate and Country Coordinator, International Institute for Sustainable Development (IISD) Lucky Lontoh menilai kebijakan mengenai energi bersih di Indonesia tidak sinkron dengan komitmen Indonesia dalam Paris Agreement.


Hal itu terkait dengan masih dijadikannya batu bara sebagai sumber utama bahan bakar pembangkit listrik untuk proyek 35 ribu megawatt.


Lucky menyebut, untuk periode pertama pemerintahan Jokowi, kebijakan mengenai energi bersih sudah dibuat dengan baik, dan arah kebijakannya sudah jelas. Namun dalam 5 tahun pertama progresnya masih kurang cepat.


Dalam Paris Agreement, Indonesia sudah berkomitmen untuk mencapai target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada tahun 2025. Namun kata Lucky, saat ini, Indonesia baru mencapai 10-12 persen saja energi bersih dalam bauran energi nasional.


"Seperti kita tahu, energi bersih itu penting. Sebenarnya belum ada UU-nya, tapi arahannya sudah ada. Indonesia harus mencapai target 23 persen energi bersih, dalam bauran energi nasional. Tapi justru kebijakan utamanya Indonesia di bidang energi adalah pembangunan 35 ribu megawatt pembangkit listrik, yang sebagiannya itu berasal dari batu bara. Bahan bakar fosil. Jadi memang kurang sinkron. Mudah-mudahan bisa diperbaiki di periode kedua, sehingga Indonesia punya lebih banyak energi bersih,"  kata Lucky kepada KBR, Kamis (24/10/2019).


Lucky mengatakan, jika Indonesia tidak bisa memperhatikan kualitas lingkungan dan kualitas energi, maka kualitas pembangunan ekonominya akan lebh buruk.


Lucky menyebut, sudah ada studi jika pemerintah tidak memperhatikan kualitas lingkungan dan kualitas energi, maka GDP (Gross Domestic Product) Indonesia juga akan turun sekitar 2 persen.


"Kualitas ekonomi yang baik. Sekarang konsepnya adalah kualitas ekonomi yang juga memperhatikan kualitas lingkungan dan juga kualitas manusia. Ini konsep ekonomi baru yang sebenarnya sudah digagas oleh Bappenas. Jadi sudah ada dokumennya. Cuma belum sepenuhnya diadopsi kepada RPJMN. Kalkulasinya sudah ada, dan hal ini jika konsideran-konsideran lingkungan itu diadopsi dalam RPJMN, maka itu akan sangat-sangat mempengaruhi kualitas pembangunan ekonomi Indonesia," imbuhnya.


Lucky menambahkan, cukup sulit bagi pemerintah untuk mengubah kebijakan-kebijakan mengenai penggunaan bahan bakar fosil. Namun kata dia, hal itu bisa dimulai dengan kepemimpinan yang tegas.


Apalagi, Lucky menyebut, Jokowi di periode keduanya ini punya modal kuat untuk membangun kebijakan-kebijakan baru dan melaksanakan agenda-agenda politik energi terbarukan tersebut dengan lebih mulus.


Modal tersebut menurutnya adalah susunan kabinet dan kekuatan politik di parlemen yang cukup kuat.


"Pertama harus ada effort yang sangat kuat dari pemerintah untuk menggandakan energi bersih di Indonesia. Selain harus menggandakan, mereka harus ingat, pemerintah harus mulai stop untuk membangun kapasitas dan teknologi untuk bahan bakar fosil.

"Jadi percuma kalau misalnya energi terbarukannya didorong, tapi bahan bakar fosilnya tetap jalan. Subsidi terhadap bahan bakar fosil harus dihentikan, pembangunan pembangkit listrik bahan bakar fosil harus dihentikan," tandasnya.

Baca juga:


Editor: Agus Luqman 

  • EBT
  • energi baru terbarukan
  • energi fosil
  • batu bara
  • energi bersih
  • Kementerian ESDM

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!