BERITA

Pelaksanaan Ratifikasi Konvensi Antikorupsi PBB, KPK Usulkan Perppu

Pelaksanaan Ratifikasi Konvensi Antikorupsi PBB, KPK Usulkan Perppu

KBR, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusulkan penerbitan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pemberantasan Korupsi menyusul hasil laporan pelaksanaan ratifikasi United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC) atau konvensi antikorupsi PBB.

Hasil peninjauan putaran pertama implementasi UNCAC sepanjang 2010-2015 menunjukkan Indonesia baru bisa melaksanakan delapan dari total 32 rekomendasi. Rekomendasi yang sudah diselesaikan di antaranya berkaitan dengan pemidanaan atas tindak pindana suap oleh anggota polisi, aturan pemberhentian sementara bagi pejabat publik yang tersangkut korupsi, kajian penerapan aturan tindak pidana menghalang-halangi proses hukum kasus korupsi dan, perlindungan terhadap pelapor kasus korupsi.

Rekomendasi lain yang juga sudah dijalankan adalah, menghilangkan kewajiban harus mengantongi izin dari presiden ketika menangani tersangka pejabat tinggi.

Sedangkan 24 rekomendasi yang belum ditindaklanjuti di antaranya mengkaji ulang hukuman suap dan penggelapan, memidanakan penyuapan aktif terhadap pejabat publik asing atau pejabat organisasi internasional, memastikan aturan penyalahgunaan kewenangan juga mencakup keuntungan nonmaterial dan, menjamin pengelolaan yang lengkap atas barang sitaan dan rampasan.

Seturut dengan rekomendasi tersebut, Ketua KPK Agus Rahardjo menilai Perppu pemberantasan korupsi diperlukan. Karena menurutnya, revisi Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi akan memakan waktu sementara perbaikan aturan harus bergegas dilakukan.

"Saya ingin menggarisbawahi satu hal, yang mungkin sangat penting untuk kita. Di dalam review yang pertama 32, yang hutang kita masih 24 tadi," kata Agus saat pemaparan hasil review putaran I & II UNCAC di Gedung Penunjang KPK, Jakarta, Selasa (27/11/2018).

"Ada hal sangat penting, mendesak, genting, darurat, perlu segera diwujudkan, yaitu yang namanya perubahan UU Tipikor. Jadi perubahan UU 31 Tahun 1999 itu penting dilakukan," lanjut Agus.

Baca juga:

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly merespons positif usuan tersebut. Namun menurutnya, baik penerbitan Perppu ataupun revisi UU Tipikor memerlukan banyak waktu. Karena itu ia meminta KPK untuk menyusun kerangka kerja sekaligus tenggat penyelesaian aturan.

"Ini kan soal prinsip yang harus kita lakukan, keinginan yang harus kita lakukan dalam menata sebuah sistem yang lebih komprehensif. Kalau memang demikian, maka kita dorong bersama-sama untuk kita buat time table," tutur Yasonna di Jakarta, Selasa (27/11/2018).

Hanya saja ia pesimistis regulasi itu bisa rampung cepat mengingat bertepatan dengan helatan politik elektoral.

"Hanya memang kalau kita berbicara time table, terpaksa untuk pelaksanaan politik tahun depan karena kalau sekarang ini dari April itu kan agak sulit mendorong perundang-undangan," tambahnya.

Ia menjelaskan, pembuatan Perppu memakan waktu sebab perlu pembahasan lintas sektoral. Belum lagi, jika ada tarik-menarik perbedaan prioritas perundang-undangan tiap-tiap kelompok.

Kendati begitu Yasonna menyatakan pemerintah siap duduk bersama KPK dan instansi terkait lainnya untuk membahas wacana ini.

"Tinggal bagaimana kita melakukan ini secara koordinatif. Sama dipentingkan sekali karena perancangan perundang-undangan harus dimulai dari tahapan-tahapan, penyusunan naskah akademik, kemudian pembahasan harmonisasi, cuma rancangannya dibahas di antara stakeholder, dibawa di kampus-kampus untuk pembulatan dan masukan dari masyarakat. Semua tahapan harus kita lakukan, maka kita masih punya waktu yang panjang," terang Yasonna.

Dalam peninjauan pelaksanaan Konvensi Antikorupsi PBB tersebut, Agus juga menekankan masih buruknya pemberantasan korupsi di Indonesia. Kendati, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tercatat membaik di peringkat ke-96 dengan skor 37 pada 2017.

"Hari ini ada perbaikan 2017, rilis dari Transparency International, di atas kita, kalau Brunei nggak saya hitung karena penduduknya cuma 600 ribu, yang di atas kita itu tinggal Singapura dan Malaysia. Kita naik itu bagus, tapi kemudian itu tidak mencerminkan kondisi kita yang sangat memprihatinkan," ungkap Agus.

"Tolong jangan dilupakan, kita reformasi itu mau apa. Ingat Ketetapan MPR 11 Tahun 1998, dari situ turun antara lain UU 28 (tahun 1999), mengenai penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN, dan UU 31 (1999) tentang pemberantasan korupsi," sambung Ketua KPK Agus Rahardjo.

Baca juga: Revisi UU Tipikor Lebih Genting dibanding UU KPK 



Editor: Nurika Manan

  • KPK
  • Komisi Pemberantasan Korupsi KPK
  • konvensi Antikorupsi PBB
  • UNCAC
  • Agus Rahardjo
  • korupsi
  • Menkumham Yasonna Laoly

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!