BERITA

PR Besar Kementerian Agama

Aisyah Khairunisa

PR Besar Kementerian Agama
Kementerian Agama, Minoritas, Syiah, Ahmadiyah

KBR, Jakarta - “Dalam beberapa kasus terkait Ahmadiyah dan Syiah, pernyataan Suryadharma Ali (SDA) justru tidak memperbaiki keadaan. Malah mempertinggi tensi dan memperkeras semangat sektarianisme,” kata Imdadun Rachmat, Wakil Sekretaris PBNU membuka perbincangan dalam program Agama dan Masyarakat, Rabu (15/10). Ia menggambarkan betapa buruknya sikap menteri agama untuk mengayomi, apalagi melindungi pemeluk keyakinan minoritas.

Menurut Imdadun, seharusnya menteri agama menempatkan diri sebagai bapak dari semua agama yang ada di Indonesia. Bukan perwakilan agama atau keyakinannya. “Baik untuk (agama) yang resmi atau tidak, menteri agama harus bersikap melindungi dan mengayomi”.

Imdadun menambahkan, hingga kini Kemenag masih kerepotan dalam menyediakan direktorat khusus yang melayani kelompok keyakinan minoritas. “Lebih mudah dalam bentuk direktorat Islam, Kristen, dll. Mengelola kelompok kecil-kecil yang banyak lebih sulit untuk dilayani,” ungkapnya. Meski begitu, kata Imdadun kesempatan untuk melayani kelompok kecil bukan menjadi urgensi utama. Di atas itu, yang lebih dibutuhkan adalah pemberian jaminan kebebesan dan perlindungan,” kata pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Komnas HAM.

Sementara itu bekas Menteri Agama pada Kabinet Reformasi, Malik Fajar menyatakan hal yang dibutuhkan Kemenag saat ini adalah merekonstruksi kembali pandangan akan kehidupan beragama di Indonesia. “Karena keberagaman agama itu adalah bingkai dari bangsa ini,” kata Malik. Untuk itu Malik menilai Kemenag menjadi kementerian yang harus ada dan tidak boleh dihapus di pemerintahan.

Menurut Malik kekerasan antarkelompok agama tak selalu berdasarkan pada perbedaan keyakinan.  Di balik itu, bekas menteri pendidikan ini menilai pemahaman dan latar belakang sosial dan ekonomi warga juga bisa jadi sebab.

Ia menegaskan kembali empat tugas pokok bagi Kemenag. Pertama, menciptakan tata kehidupan beragama, sesuai pasal 29 UUD 1945. Kedua, masalah peradilan agama, yang sekarang dipegang oleh Mahkamah Agung (MA). “Dulu saya sudah peringatkan, itu tidak betul. Peradilan agama tidak bisa dilihat secara khusus dari yang dikembangkan oleh MA,” kata Malik.

Selanjutnya tugas pokok Kemanag adalah memberikan pendidikan agama. “Baru yang terakhir adalah haji. Pada kepemimpinan SDA sepertinya hanya poin terakhir ini yang diurusi,” kata Malik menyinggung tersangka korupsi haji yang pada bulan Mei lalu mundur sebagai Menag.

Malik menyebut penyelenggaraan haji Indonesia sudah menjadi bisnis. Ini bisa dilihat dari kuota haji yang kerap diselewengkan. Harga untuk berangkat haji yang sangat mahal menurut Malik karena 95 persennya memakai valuta asing.

Di samping itu, Imdadun dan Malik sama-sama merasakan angin segar ketika kursi Kemenag-1 diduduki oleh Menteri Agama saat ini, Lukman Hakim Saifuddin. “Pak Lukman Hakim ini seperti hujan turun di musim kemarau. Dalam beberapa kasus, ia bisa menangkap keresahan masyarakat dan memberikan harapan untuk penyelesaian” kata Imdadun.

Misalnya, seperti yang dicatat Komnas HAM, ada tiga hal positif yang dilakukan Lukman. Pertama adalah upaya yang lebih tertata untuk penyelesaian kasus Ahmadiyah dan Syiah. Kemudian masalah pendirian rumah ibadah (soal SKB3 menteri) yang dikaji kembali. Ketiga, wacana dilayaninya agama minoritas dan lokal. “Jika mereka dilayani, maka makin besar peluang mereka juga dilindungi negara,” kata Imdadun.

Editor: Sutami


  • Kementerian Agama
  • Minoritas
  • Syiah
  • Ahmadiyah

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!