BERITA

Pemerintah Harus Cabut UU Penodaan Agama

"Bagi Ibnu ateisme bukanlah faham yang mengajarkan kebencian kejahatan kepada siapapun."

Ade Irmansyah

Ilustrasi. (Antara)
Ilustrasi. (Antara)

KBR, Jakarta - “Kami kerap menerima hujatan, kami kerap diserang. Masyarakat menilai ateisme adalah buruk,” ujar Ibnu (bukan nama sebenarnya), penganut ateisme dalam program perbincangan Agama dan Masyarakat yang disiarkan oleh radio KBR, Utan Kayu, Jakarta Timur

Bagi Ibnu ateisme bukanlah faham yang mengajarkan kebencian kejahatan kepada siapapun. “Meski kadang ada kasus kami memberikan perlawanan, itu tak ubahnya bentuk perlawanan yang kami terima atas semua paradigma yang menganggap kami jahat dan salah”, ujarnya. 

Padahal, Ateisme menurut tafsiran Ibnu, adalah pandangan filosofi yang tidak mempercayai keberadaan Tuhan dan dewa-dewi. Singkatnya penolakan terhadap teisme. Definisi Ateisme juga bervariasi, bergantung sejauh mana seseorang harus mengambil posisi mengenai gagasan keberadaan tuhan untuk dianggap sebagai ateis.

Bagi Ibnu dan teman-temannya, pemahaman ateis yang mereka yakini hanya sebatas pada keyakinan pribadi. Soal bagaimana mereka hidup bersosialisasi dimasyarakat, sama seperti kebanyakan orang. Menurutnya,  ateis bukan agama, karena ateis tidak memiliki nabi, kitab suci, dan tuhan. “Orang menjadi ateis tidak melewati dakwah, tetapi melewati pergumulan hati dari hasil pencarian. Saya melewati tahap itu dengan waktu yang sangat lama. Ini soal keputusan hati saya. Bukan karena orang lain”, ujarnya.

Sayangnya, pemerintah menurut Ibnu, tak mengakomodir hal ini. Akibat keteguhannya tersebut, Ibnu sempat di hukum 2,5 tahun penjara. Hakim menilanya melanggar undang-undang No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.  

Peneliti dari The Wahid Institute Muhammad Subhi menyebut pemerintah kerap tak berdaya menghadapi kasus-kasus intoleransi, termasuk kepada mereka yang menyatakan dirinya ateis. Ini terbukti dengan makin meningkatnya masalah intoleransi dengan indikator yang sama. “Orang yang tidak ingin menganut suatu ajaran agama tidak bisa dipungkiri, itu ada. Namun negara ini memaksakan semua orang untuk beragama, dan menurut saya itu adalah salah,” ujarnya.

Kebencian terhadap ateisme menurut Subhi berawal dari peristiwa 1965. Saat itu PKI menjadi kambing hitam terjadinya pemberontakan. “Kebencian permanen pemerintah saat itu kepada PKI dan mengakibatkan diterbitkan tap MPR. Ini yang menjadi cikal bakal UU Penodaan Agama. Dan pola ini terus berlanjut sampai sekarang hingga mendarah daging,” ujarnya. 

Sejak itu kata dia, istilah ateis dan ateisme seperti istilah yang gelap dan jahat. Banyak orang bicara soal ateis, atau menggunakan istilah ateis untuk mencap orang lain jahat. 

Subhi mengingatkan lembaga Amnesty International telah meminta pemerintah mencabut Undang-undang Penodaan Agama yang dikeluarkan pada 1965. Undang-undang ini sudah memenjarakan banyak orang yang dianggap bersalah menodai atau menistakan agama. “Selama 10 tahun terakhir, sudah ada 100 orang ditahan. Termasuk Ibnu (bukan nama sebenarnya), seorang warga yang yang memilih jalan hidup ateisme atau tidak beragama. Ia dipenjara 2,5 tahun sejak 2012 lalu,” ujarnya.

Editor: Sutami

Disclaimer: Tulisan ini tidak untuk menyebarluaskan  Ateisme

  • Agama dan Masyarakat
  • Ateisme
  • Wahid Institute
  • Toleransi
  • petatoleransi_06DKI Jakarta_merah

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!