BERITA

Pakar: Jangan Sembarangan Gunakan Hak Interpelasi

"Undang-undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3 kembali menjadi perdebatan di parlemen."

Gungun Gunawan

Pakar: Jangan Sembarangan Gunakan Hak Interpelasi
Reformasi Hukum dan HAM, UU MD3, KIH, KMP

KBR, Jakarta - Undang-undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3 kembali menjadi perdebatan di parlemen. Fraksi partai yang tergabung dalam koalisi penyokong Joko WIdodo atau Koalisi Indonesia Hebat ngotot merevisi UU tersebut, terutama pasal 74 dan 98. Kedua pasal ini mengatur hak-hak DPR seperti hak interpelasi dan hak angket. 


Polemik tersebut praktis menghambat kinerja parlemen dan telah menjadi sorotan masyarakat. Politisi Partai Gerindra Martin Hutabarat mengaku mengetahui keresahan masyarakat. "Warga di Menado misalnya, mereka melihat DPR sekarang secara negatif, polemik ini harus segera dituntaskan," kata Martin dalam program Reformasi Hukum dan HAM KBR. 


Menurut Martin, partainya yang merupakan pentolan koalisi oposisi, sudah sepakat dengan KIH soal revisi dua pasal itu. 


Tidak hanya kali ini UU MD3 menjadi perdebatan. Sebelumnya, UU ini sempat digugat ke MK terkait mekanisme pemilihan pimpinan DPR. Saat itu, PDIP sebagai partai pemenang pemilu legislatif merasa direbut haknya. Dalam UU MD3 ini, pimpinan DPR dipilih oleh anggota DPR, tidak lagi otomatis dijabat partai pemenang pemilu legislatif. Martin Hutabarat menegaskan polemiknya sudah usai. "Sudah ditetapkan oleh MK," ujarnya.


Martin menambahkan, usulan revisi dua pasal dalam UU MD3 yang diajukan oleh KIH baru-baru ini justru kental juga dengan aroma politik. "Hak-hak DPR sudah diakui konstitusi dari dulu. Kalau mau dipermasalahkan kenapa tidak dari dulu saat penyusunan UU ini?" ujarnya.


Dua pasal dalam UU MD3 salah satunya memungkinkan DPR memberikan sanksi pada kementerian yang menolak rapat dan dinilai tidak memenuhi rekomendasi DPR. "Hal tersebut seharusnya tidak dipermasalahkan bila menteri-menteri sekarang hebat dan berintegritas," ujar Martin. 


Berbeda dengan Martin, Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai hak interpelasi DPR yang diatur dalam UU MD3 berpotensi digunakan secara berlebihan. "Dalam pasal itu disebutkan DPR dapat memberi sanksi kepada menteri, bahkan lembaga negara non eksekutif hingga masyarakat biasa," ujarnya. Hal tersebut menurut Refly sangat berlebihan sebab kewenangan memberi sanksi kepada menteri adalah milik presiden.


Menurut Refly, bila DPR menilai suatu kementerian tidak bekerja dengan benar, maka cukup memberi tahu presiden. "Ini bukan lagi sistem parlementer, tapi lebih mengarah ke sistem otoritarianisme parlemen," ujarnya.


Refly menambahkan, hak interpelasi kerap digunakan berlebihan seperti yang terjadi di DPRD DKI Jakarta. "Ahok diinterpelasi karena ucapannya dianggap tidak menyenangkan dan meresahkan warga. Itu berlebihan," ujar Refly. 


Refly mengingatkan, penggunaan hak interpelasi tak bisa sembarangan. Hak ini hanya dipakai bila menyangkut kebijakan yang berdampak luas kepada masyarakat. "Bila presiden membuat kebijakan yang merugikan masyarakat, baru hak ini digunakan," pungkas Refly.


Editor: Sutami

  • Reformasi Hukum dan HAM
  • UU MD3
  • KIH
  • KMP

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!