BERITA

Hendrika Mayora: Perkara Menjadi Pejabat Publik dan LGBITQ+ Dalam Katolik

Hendrika Mayora: Perkara Menjadi Pejabat Publik dan LGBITQ+ Dalam Katolik
LOVE BUZZ Season 4 : Hendrika Mayora. (FOTO : KBR)

KBR, Jakarta - Salah satu yang langsung muncul pas bikin perencanaan Love Buzz Season ke-4 ini adalah Hendrika Mayora atau yang akrab disapa Bunda Mayora. Transpuan yang jadi pejabat publik pertama di Indonesia. Tepat Maret lalu, Bunda Mayora terpilih menjadi Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Habi, Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur.

Bareng Bunda Mayora, saya ngobrol perkara pekerjaannya sebagai Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD), visibilitas dan penerimaan terhadap teman-teman transpuan di tempat tinggalnya, LGBITQ+ dalam agama kristen dan katolik, dan juga ngobrol perkara cinta tentunya.

Anda mendengarkan Love Buzz bersama Saya Asrul Dwi.

QnA

Asrul :Aktifitas selama pandemi ini apa aja sih yang dilakukan?”

Bunda Mayora : “Selama pandemi ini, di 2020 awal bulan Maret situasi berubah. DItengah-tengah itu juga saya mengawali karya saya sebagai yang terpilih menjadi Anggota BPD. Nah itu, saya terlibat di masyarakat dalam hal ini saya anggota PKK, di desa juga jadi Kader Posyandu, bantu di Pokja Satu di Kecamatan. Saya juga sebagai volunteer membantu didik anak-anak di Serikat Kepausan Anak Komisioner. Untuk menunjang perekonomian, saya juga menerima job make-up, MC pesta perkawinan, ulang tahun, dan hajatan lainnya.

Pas pertengahan itu ada pesta demokrasi sebenarnya kecil yang dilaksanakan di desa. Saya juga merintis sebuah organisasi bernama Fajar Sikka dari awal 2018 hingga hari ini saya hadir dengan teman-teman kelompok minoritas LGBTIQ secara khusus transpuan tapi saya juga coba mendekatkan diri dan merangkul semuak kelompok minoritas lainnya seperti janda, lansia, disabilitas. Disitu ada kelompok-kelompok pendampingan saya. Misalnya kelompok Mama-mama tenun ikat, juga ekonomi kreatif misalnya pembuatan abon, bikin anyaman.

Kalo untuk di komunitas sendiri di temen-temen transpuan sudah coming in ya tetapi belum total. Kenapa? Karena masih ada di dalam diri mereka masih merasa dosa dan bersalah. Ketika saya bekerja di komunitas saya, yang pertama adalah saya harus memerdekakan diri saya dan teman-teman saya. Maka itu, kerja yang pertama adalah bagaimana saya harus bisa bantu teman-teman untuk menerima dengan memberi metode pelajaran SOGIESC. Kita belajar tentang seksualitas, gender, identitas, ekspresi sehingga pada akhirnya mereka bisa menerima diri mereka. Dan Puji Tuhan, teman-teman transpuan bisa hidup dalam komunitas kecil ini dengan merdeka bisa menerima diri mereka secara ekspresi iman, gender, mereka. Saya juga bisa dampingi mama-mama, anak-anak, remaja juga.

Dan, di pandemi Covid-19 ini, kerja ekstra yaitu bagaimana perekonomian yang sebelumnya normal langsung lumpuh. Tunggu BLT dari pemerintah lama juga 2-3 bulan sekali baru terima. Ini mendorong saya dan teman-teman gimana kita berupaya bantu teman-teman yang paling terdampak Covid-19. Kami galang donasi, sehingga saya dan teman-teman komunitas ini menemukan banyak sekali saudara kami yang KLMTD (Kaum Lemah,Miskin,Tersingkir dan Difabel) juga minoritas gender dan seksualitas banyak terdampak. Kami bantu yang paling mendasar adalah sembako, kemudian kami bantu urus mereka KTP, KK, advokasi desa mereka tinggal untuk bisa dapat bantuan. Karena walaupun waria, kami adalah WNI, kami punya status yang sama. Negara wajib melindungi dan memenuhi kebutuhan warga negaranya. Saya bersikeras ditengah pandemi ini, bahkan sampai hari ini kami berjuang,”

Asrul :Penerimaan aparatur desa Ketika Bunda melakukan advokasi untuk teman-teman transpuan untuk terima KTP, KK itu seperti apa?”

Bunda Mayora : “Nah ini sesuatu yang unik. Saya bersyukur di 2018 itu menjadi awal yang baik Ketika saya mengalami stigma dan diskriminasi Ketika saya berada di Jawa. Ini mendorong saya untuk harus kuat dan berjuang bahwa kesetaraan itu penting, keadilan itu penting. Kami transpuan punya kapasitas dan kemampuan.

Ketika saya datang ke Maumere, saya membangun inklusi. Selama ini, pemberitaan tentang LGBTIQ, waria, kan selalu negatif. Kita selalu dianggap orang sakit, penyakit, padahal kita ini orang baik-baik. Kita dianggap tidak normal, bodoh, dalam strata sosial dianggap paling bawah.

Nah itulah Ketika saya ke Maumere, saya ubah itu konstruksi sosial yang dibangun. Saya pelan coba inklusi dengan masyarakat. Saya ajak teman-teman saya untuk hadir sebagai relawan. Saya ingat betul Kejadian Luar Biasa (KLB) Maumere jadi kota yang banyak demam berdarah sampai Jakarta turun tangan, saya dan teman-teman jadi relawan di instalasi gizi, masak disana. Warga lihat mereka punya antusias bantu kita. Ini lah ruang perjumpaan. Jadi mereka tahu. Saya juga hadir dengan anak-anak mahasiswa, mama-mama. Teman-teman saya undang untuk diskusi dengan media. Kami buka ruang dan buka diri lewat lingkup pendidikan SOGIESC yang kecil. Dan akhirnya mereka sadar misalnya orang muda, cowok-cowok yang dekati kami dan kami berlaku baik dan sopan dengan mereka, mereka kaget bahwa selama ini pikiran mereka waria itu ganggu laki-laki sembarang, itu hilang. Sekarang bisa sama-sama minum kopi, makan, diskusi baik.

Yang anehnya lagi, awal-awal mereka protes saya kenapa pake baju perempuan padahal kayak laki-laki. Tapi saya bilang ‘mama, identitas gender saya adalah transpuan dan baju atau celana itu tidak berjenis kelamin’. Saya pakai baju selalu sopan meskipun pake rok. Mereka itu terbawa konstruksi (sosial). Akhirnya masyarakat itu dilatih. Saya ke gereja itu awal-awal itu saya langsung diomongin karena saya pake gaun, feminin. Tapi dalam perjalanan mereka sadar saya tidak ganggu mereka. Apalagi masa pandemi, saya ajak teman-teman untuk saling bantu mereka terutama ibu-ibu saat mereka tidak punya lauk pauk, sembako, sayur mayur. Mereka kaget dan sadar pikir salah tentang kami. Tidak seperti apa yang diberitakan media. Kami bongkar pandangan orang tentang stereotipe dan pandangan tentang LGBTIQ. Tapi kami bersykur bahwa inklusifitas yang kami bangun itu beri dampak yang baik sehingga sampai 2020 kami tidak tutup diri tapi lakukan tindakan sosial yang nyata dalam masyarakat dan masyarakat mencintai kami. Begitupun pemerintah, mereka mengakui kami,”

Asrul :31 Maret lalu diperingati sebagai International Transgender Day of Visibility. Perkara visibilitas ini kayaknya kalau dari cerita Bunda tadi, citra positif itu yang perlu dibangun oleh teman-teman transpuan. Tapi ini lagi-lagi kemudian dibebankan kembali pada teman-teman transpuan yang mengalami stigma, diskriminasi, stereotipe,”

Bunda Mayora : “Saya berharap banyak orang yang tidak suka kita, diluar teman trans ya. Tapi banyak orang yang mengasihi kita. Sahabat-sahabat itulah yang bisa bantu kita untuk bisa bersuara, bercerita. Maka itu saya buka ruang perbincangan dengan perempuan, laki-laki, di luar komunitas. Tidak semua mereka jahat. Beri kami waktu, ruang, kesempatan untuk kami bisa hadir. Kami percaya teman-teman di Jawa itu punya kemampuan, kapasitas, peluang besar. Tetapi sayang, ketika tokoh agamanya, atau agama yang sangat konservatif tidak beri kesempatan. Harus kabur dari rumah, diusir, hidup di jalan, harus… (menghela nafas). Maka itu saya berharap ada banyak ruang perjumpaan dengan tokoh-tokoh agama, orang-orang yang berkuasa, untuk bisa menghargai dan menerima kami. Mari teman-teman trans, jangan menyerah! Saya percaya teman-teman trans, LGBTIQ, adalah orang-orang hebat.

Saya ini orang kampung, perempuan kampung, kalo di Indonesia nih kami seperti anak tiri, anak kedua karena kurang diperhatikan. Di Jaman Jokowi ini kami dibangunkan bendungan, tapi bertahun-tahun kami hidup dalam kesederhanaan, sudah biasa. Tapi kasihan teman-teman saya yang di Jawa, Indonesia bagian barat. Seharusnya orang-orang di kota besar harusnya lebih progresif karena mereka lebih maju. Kami lebih terbuka, menghormati keberagaman. Kami disini mayoritas katolik tapi kami saling menghormati. Maka itu kami sebagai transpuan disini kami rangkul semua termasuk trans komunitas Muslim. Oleh itu saya berharap, negara saat ini tidak punya undang-undang khusus yang diskrimasi kita, tetapi sayangnya masih ada aturan di beberapa daerah yang mendiskriminasi kami. Ini ada apa? Pembangunan oke, tapi dalam penegakan hukum saya sedih. Sampai saat ini, teman-teman minoritas gender dan seksualitas masih banyak mengalami kekerasan, persekusi, ketidakadilan bahkan nyawa kami jadi korban di Indonesia yang kami cintai ini,”

Asrul :Tadi Bunda bilang Sikka lebih progresif dibanding Jawa. Apa sih yang kita di luar kabupaten Sikka bisa pelajari dari sana?”

Bunda Mayora : “Yang harus dipelajari adalah, ini adalah hal yang biasa tapi ini sudah jadi warisan budaya kita orang Indonesia. Karena kita ini kah pluralis. Semboyan kita jelas, Bhinneka Tunggal Ika. Maumere ini kota kecil. Maka itu, pemberitaan yang jahat, tidak benar, selalu datang dari bagian barat. Mari buka mata untuk lihat kami dari bagian timur. Kami jarang diperhatikan tapi kami saling mencintai bahkan bisa lebih jadi orang Indonesia. Kenapa? Kami ber-majemuk, hormati keberagaman. Kami cintai perbedaan. Jakarta perlu belajar dari Maumere, belajar bagaimana kita baku sayang walau beda agama, suku, gender.

Saat pernikahan, kami waria diundang untuk jadi juru koki, dekorasi. Di pemerintahan pun kami diundang untuk jadi fasilitator beri pelatihan. Kenapa Jakarta tidak bisa? Bahkan beberapa event didukung pemerintah daerah. Artinya kami punya kemampuan dan kualitas,”

Asrul :Artinya soal persepsi. Berita atau penggambaran yang dilakukan media selama ini pada teman-teman transpuan, itu tidak berpengaruh pada kultur masyarakat disana yang lebih progresif dan bisa menerima perbedaan itu?”

Bunda Mayora : “Benar. Ada dampak juga waktu itu 2016 tapi tidak lama. Karena kultur budaya disini mencintai sesama, menghargai. Disini kan mayoritas katolik ya secara teologi agak keras tapi pada prakteknya sangat menghormati keberagaman, perbedaan. Dengan semangat cinta kasih itu, saya bersyukur tokoh-tokoh agamanya juga tidak konservatif, lebih mengajarkan cinta damai. Bahkan ‘secara hukum’ untuk perkawinan tidak diijinkan tapi kehadiran kami sangat dihormati untuk boleh hidup dalam perkumpulan, hidup Bersama dan keluarga-keluarga punya anak-anak. Saya pernah ketemu anak masih kecil ini udah identifikasi dirinya sebagai trans SMA. Dan secara ya terbuka dihormati orangtua nya bahkan jadi seorang penari yang terkenal bawa nama sekolahnya jadi juar. Saya pernah make up di depan gurunya dengan dia sebagai trans. Dihargai, karena itulah dia. Oleh karena itu saya percaya kami berguna,”

Asrul :Penerimaan sudah terjadi sejak dulu. Kalau di Sulawesi punya konsep lima gender. Kalau di NTT, khususnya Sikka ada nggak konsep semacam itu. Artinya mengakui ada gender selain gender biner laki-laki dan perempuan?”

Bunda Mayora : “Sebenarnya di Maumere ini ada tetapi tidak dibicarakan, tidak diceritakan. Penelusuran saya, saya telusuri sampai di kampung-kampung dan saya tahu betul. Ini juga kalau kita bicara konstruksi soal berpakaian juga. Pakaian perempuan, pakaian laki-laki. Saya pergi ke kampung terpencil saya ketemu trans yang secara ekspresi keliatan, walau rambut pendek tapi pakai sarung perempuan dan dia sangat feminin. Saya tanya dia siapa, punya tugas apa, peran seperti apa. Dia urus kebun tapi juga urus anak. Orang disini sebut ‘kobek’, artinya perempuan tidak, laki tidak. Itu ada, dan orang tidak mempersoalkan mau kawin kah tidak. yang penting bisa bantu, bekerja.

Diluar komunitas trans, ada perempuan yang sampai tua tidak ada istri, suami ada. Orang aman-aman saja. Termasuk teman-teman keberagaman yang lainnya. Sudah ada dari jaman dulu. Sudah bisa hadapi kami, laki yang berjiwa perempuan. Kemudian perempuan yang berjiwa maskulin itu ada. Ada itu bapak orang panggil dia ‘sius dua lai’ itu artinya bisa jadi laki bisa jadi perempuan. Identitas gender nya transpuan.

Pernah ada orang yang berdebat dengan kakak perempuan soal saya. Om saya dulu itu dipanggil ‘sius dua lai’ karena punya peran ganda, kami tidak persoalkan itu. Dan sejak jaman dulu trans sudah ada. Bahkan sekarang saya jumpai ada satu trans yang luar biasa, punya jiwa (bikin) tenun ikat yang meneruskan warisan budaya. Itu kalau dikategorikan sebagai pekerjaan perempuan. Kenapa Tuhan ciptakan kami? Kami adalah ciptaan Tuhan, bagian dari anugerah, pemberian, kami tidak buat-buat tidak bikin-bikin tapi kami hadir karena kami ada,”

Asrul :Waktu itu Bunda sempat ke Jogja dan belajar teologi. Bahkan seminari ya untuk jadi pastur. Ketika kemudian punya kesadaran bahwa Bunda seorang transpuan tapi juga belajar soal agama katolik, yang mungkin kalau kita orang awam atau luar ngelihatnya rasanya agama yang asalnya bukan dari Indonesia kan kebanyakan melarang itu. Kalau waktu itu Bunda menerima diri sebagai seorang katolik taat. Seperti apa prosesnya?”

Bunda Mayora : “Saya berziarah atau merantau dalam jiwa untuk waktu yang cukup lama. 32 tahun, terus saya coming out jadi seorang trans. Saya dibesarkan dalam keluarga katolik, budaya patriarkis, hidup ditengah ajaran yang sangat kental. Saya tertarik dengan symbol-simbol feminin yang ada di dalam gereja sendiri. Pasturnya pakai jubah yang keren, benih panggilan itu muncul. Ini jadi persoalan saya. Saya bilang jubah itu long dress he he.. ini refleksi rohani yang saya dapatkan. Saya bersyukur akhirnya tidak salah Tuhan menghadirkan saya menjalani panggilan saya waktu itu walaupun panggilan jadi biarawan itu tidak diteruskan tapi saya tetap menjalani panggilan hidup diluar biara dan melayani Tuhan dalam konteks saya sebagai transpuan.

Ini memang perjalanan panjang karena saya takut. Dalam gereja sendiri, homoseksualitas itu adalah dosa. Orang yang mengekspresikan diri sebagai transpuan, dalam alkitab sendiri kita dengar bacaan yang tidak ramah, orang selalu bilang banci itu tidak masuk dalam kerajaan Surga. Saya sendiri gelisah saat itu, takut dengan identitas saya. Tetapi di satu sisi, saya ingin berkarir dan melayani.

Dalam gereja katolik, melayani Tuhan dan berkarya itu orang harus terpanggil dalam hidup membiara. Saya itu, jiwa untuk mencintai karya kerasulan itu memang ada dari kecil. Untuk bekerja, membantu di pastoral. Tetapi ketika dewasa dan belajar teologi dalam pendidikan seminari kecil, lalu pendidikan Novis di Jogja, saya bergumul dengan diri saya karena kita nggak bisa bohongi diri kita, nggak bisa menutupi diri kita. Ketika saya hidup menjadi biarawan tapi punya identitas gender yang berbeda, saya jujur merasa berdosa. Saya rasa tidak adil mengapa Tuhan menciptakan saya dengan identitas gender seperti ini. Kok organ kelamin saya berbeda dengan rasa yang ada di dalam diri saya? Itu yang kemudian membuat saya kembali merasa bersalah, kadang menghakimi Tuhan.

Di titik-titik akhir itu saya hampir mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Saya sempat stress, vertigo, sakit.

Tapi akhirnya di 2015, 2016 saya kembali bergolak dengan diri saya dan memutuskan akhirnya ketika saya takut dengan gereja dan orientasi gender, saya keluar dari biara. Saat itu saya masih bingung dan menghakimi Tuhan. Tapi itu sebenarnya adalah kehendak Tuhan, refleksi rohani yang saya dapatkan. Artinya Tuhan biarkan saya hadir dan mengalami itu.

Saya ke Jogja itu saya lepas semua kehidupan saya seorang religius saat itu. Saya bukan lagi seorang biarawan. Saya rencananya bekerja dan jadi orang baik-baik tapi akhirnya tidak bisa juga. Saya berjuang sendiri menemukan diri saya. 2008 saya ke Jogja untuk belajar menjadi seorang Novis dan biarawan di Jogja, dan 2017 saya menjadi transpuan dan menerima diri seutuhnya bahwa saya terlahir sebagai seorang transpuan. Saya bersyukur, menjadi seorang transpuan adalah anugerah, kodrat, ciptaan, pemberian dari Tuhan. Ketika saya menerima itu, saya tidak lagi alami stress, frustrasi, vertigo, maag. Saya tidak lagi menyalahkan diri saya tapi akhirnya sadar bahwa Tuhan ini lah saya. Jika saya berdosa, kasitau saya salah dimana. Akhirnya saya temukan saya tidak salah, ini adalah rencana yang Tuhan berikan pada saya. Karena kalau kita tutup diri bohongi diri itu sakit, tapi mau sampai kapan?”

Asrul :Bunda, ada nggak pembacaan lain mengenai ayat-ayat di Injil soal seksualitas atau gender selain laki-laki dan perempuan?

Bunda Mayora : “Nah kalo kita belajar hermeneutika dengan cara pandang yang baru, Yesus itu tidak pernah mengajarkan yang namanya kebencian, yang ada lah kasih. Hukum yang paling utama dan terutama adalah kasih. Jadi, kan ada orang yang mau lempar Maria Magdalena, orang bilang dia pelacur, pendosa. Yesus bilang, ‘kalau kau tidak pernah melakukan dosa dan salah kau lempar batu yang pertama’. Ini kalau kita belajar kontekstual ya. Nah, dalam ajaran katolik, kristen, Yesus yang diimani dengan semangat kasih, saya, kami sebagai transpuan menghidupi spiritualitas kasih. Kenapa? Kalau mau benci, kami sudah benci dengan kami punya orang tua. Kalau kami benci, kami sakiti kami punya diri. Tetapi kami bisa bertahan hidup sampai hari ini karena kasih.

Kami protes dengan kami punya tubuh ini, kami punya diri. Tapi kami mau (bisa) apa? Karena kami ini adalah pemberian. Makanya saya bersyukur, kami ini trans adalah paket lengkap yang Tuhan kasih. Kami punya jiwa seni, jiwa yang luar biasa. Jadi olahragawan, pemain voli yang hebat, masak bisa, karate, taekwondo bisa, semua semua bisa.

Orang selalu diskriminasi kami, dengan ayat-ayat kitab suci tentang Sodom dan Gomora, itu penafsiran yang sangat konservatif. Kalau kita baca betul dalam injil, tidak banyak yang bicara kejahatan, yang ada itu adalah kasih. Penggenapan dalam Injil itu Tuhan Yesus bicara tentang kasih, bukan permusuhan. Semua agama sebenarnya mengajarkan tentang kasih, tapi agama yang masih konservatif itu kami berharap tokoh-tokoh agama mari kita buka ruang perjumpaan dengan tafsir-tafsir yang sejuk, yang ramah terhadap kelompok keberagaman gender dan seksualitas.

Satu tokoh yang luar biasa, Professor Gerrit dari UKDW Jogja yang beri waktu dan karyanya untuk tafsir progresif terhadap LGBTIQ dengan alkitab. Saya bersama para pastur, frater, kami membaca bagaimana alkitab yang ramah, dengan ‘kacamata’ yang baru, agar bisa menghormati kelompok minoritas gender dan seksualitas. Mari, apapun agamamu, mau penghayat, agnostic, kita ini semua sama. Kita hidup ini karena kemurahan Tuhan, kenapa kita harus membenci yang lain? Hidup itu harus berguna. Ko mati itu mau bawa apa? Kita mati itu hanya bawa mungkin 1 meter, 2 meter sebidang tanah. Mari kita isi dengan kasih apalagi dengan waktu yang sedikit ini. Kita tidak tahu kapan waktu kita tiba. Kita punya karya masing-masing dalam profesi masing-masing,”

Asrul :Gereja di Maumere bagaimana penerimaannya?”

Bunda Mayora : “Gereja disini sangat progresif. Kami tidak pernah terima kekerasan atau diskriminasi dari gereja. Temen-temen (trans) jadi lektor, dirijen, pelatih koor. Saya jadi Pembina, bantu Orang Muda Katolik. Memang kita tidak ada salah apa-apa kok. Kita hadir sama dengan masyarakat yang lain,”

Asrul :Artinya, khotbahnya juga nggak ada yang mengintimidasi teman-teman trans disana?”

Bunda Mayora : “Mungkin awal dulu orang takut, marah dengan saya karena berjubah (biarawan) tiba-tiba menjadi waria. Nggak apa-apa. Tapi dalam perjalanan, mereka terima saya karena saya dengan perilaku, pembawaan diri yang baik. Gereja sendiri beri ruang untuk kita bahkan kita punya kontribusi untuk gereja dalam hal melayani umat. Beda aja, dulu di biara sekarang orang awam. Tapi ya tetap melayani Tuhan dalam karya saya yang konteks jelas bahwa ini penghayatan teologi kontekstual ya bahwa saya hadir sebagai waria, saya bisa ber-pastoral,”

Asrul :Tadi ada dari jawaban Bunda ada yang menggelitik buat saya. Soal biarawan atau pastur dengan pakaiannya. Tapi kemudian Bunda melihatnya itu sebagai citra yang feminin, ada feminitas di dalam katolik. Menurut Bunda, nilai feminitas ini, selain kasih itu tadi yang cukup kental, yang harusnya lebih dipraktikkan dalam masyarakat kita. Seperti apa sih?”

Bunda Mayora : “Saya melihat symbol-simbol feminin itu banyak ya. Saya suka pada awalnya melihat gereja itu ya. Kalau gereja katolik sih paket lengkap aku lihat. Dulu liat dari luarnya ya. Begitu indah dengan bunga, pendekatan kita dengan anak-anak, karya pastoral, dengan ibu-ibu kita ada kelompok kategorial tapi sisi lain gereja itu teologinya belum siap terima bahwa tubuh itu adalah bait Allah jadi nggak boleh diapa-apain. Itu teologinya, tapi pada praktiknya, saya (sebagai waria) diterima dan dihormati. Saya nggak diapa-apain. Ini adalah kesempatan yang baik. Dan, iman itu berkembang ya sebenarnya, tidak stagnan. Dinamis.

Kalau kita lihat sih gereja katolik di tempat saya lebih ramah. Sampai saat ini kita diterima dan dihargai. Maka itu, saya liat simbol kasih dan feminin itu sebenernya ada didalam diri kita. Maka itu saya bersyukur gereja katolik Roma melalui Paus yang sempat mengeluarkan statement kita (trans) punya tempat dan dihormati.

Emang kita buat-buat? Ada yang berkomentar. Saya bilang, kita, saya dengan identitas seperti ini, saya tidak buat-buat. Saya terlahir dengan keadaan seperti ini. Kalau kita bicara anugerah, kodrat. Itu sesuatu yang melekat dalam diri yang Tuhan kasih ke kita. Maka itu saya bersyukur bisa diterima dan diberi kesempatan untuk bisa menjalankan identitas merdeka sebagai orang katolik, merdeka sebagai seorang transpuan. Meskipun secara di Indonesia, kami belum bisa merdeka secara utuh,”

Asrul :Kita masyarakat Indonesia dari dulu sebenarnya di beberapa ajaran atau manuscript kuno kan memang ada pengakuan bahwa gender itu nggak sekadar laki-laki dan perempuan. Ada gender ke-3, ke-4, bahkan ke-5. Kalau menurut Bunda, kenapa kemudian kesadaran, pengetahuan soal ragam gender itu kemudian menghilang dan masyarakat cenderung tidak mengakui itu bahkan mendiskriminasi pula. Menurut Bunda, apa yang sebenarnya terjadi?”

Bunda Mayora : “Saya bersyukur disini lebih ramah. Yah…ini ‘kesalahan agama’ juga. Agama datang menghancurkan keberagaman kita karena membawa dua gender saja perempuan dan laki-laki. Terutama agama samawi. Teologinya ya. Tapi saya bersyukur juga Indonesia membuka ruang dan kesempatan untuk kelompok penghayat, aliran kepercayaan,, agnostic. Karena saya terlahir katolik dan lebih menghayati ke-ketolik-an dalam ke-waria-an ku maka saya tetap menjadi katolik. Tapi sebenarnya kalau kita lihat, agama sangat patriarkis.

Kenapa saat ini gereja katolik lebih ramah? Karena berkembang sesuai jamannya. Dia tidak bisa bertahan dengan dogma-nya,”

Asrul :Tergantung pemimpin agama-nya juga kali ya?”

Bunda Mayora : “Tidak semua ustadz itu jahat, tidak semua pastur itu jahat. Saya dulu takut dengan Islam. Bayangan saya tentang yang jahat-jahat. Tapi ketika saya jumpa dengan Buya Husein, salah satu ustadz yang sangat progresif. Bagaimana tafsir-tafsir yang sejuk tentang LGBTIQ, keberagaman, bahkan waria punya tempat. Bahkan ada pondok pesantren waria di Jogja. Saya bangga juga dengan teman-teman di UKDW Jogja ada pastoral LGBTIQ. Luar biasa. Nah itu, tidak semua ajaran konservatif. Ada yang ramah dan terbuka,”

Asrul :Balik lagi soal posisi teman-teman transpuan disana. Bunda disebut sebagai pejabat publik pertama , transpuan yang terpilih dengan proses demokrasi. Kalo yang lain disana peran mereka dalam masyarakat kayak gimana sekarang ini selain posisi kultural yang sudah ada?”

Bunda Mayora : “Kita trans itu tidak seperti apa yang dipikirkan banyak orang. Bahwa kami tidak punya waktu, tidak tahu apa-apa. Tidak punya kapasitas. Karena kita sudah terlanjur distigma. Kalau di Jawa, lewat aja orang omongin kita, ejek kita. Ngamen aja ditangkap dijebloskan ke penjara. Maka ketika saya di Maumere, saya jadikan kesempatan bahwa saya harus ada di dalam sistem suatu saat. Dan dalam waktu singkat, di 2018 hingga 2020 proses inklusi itu yang saya lakukan. Kami tunjukkan bahwa kami itu tidak salah dan punya kemampuan. Kami tidak eksklusif tapi inklusif. Itu yang bikin saya punya kesempatan dalam pemilihan di BPD. Dan tidak harus seperti yang lain, maaf, harus heboh-heboh sosialisasi, cukup pendekatan kontekstual. Hadir saat pesta, ajari mama-mama beritahu bahwa saya kandidat untuk anggota BPD.

Tugas BPD sangat jelas dan fungsi yang krusial bagaimana kita bekerja untuk bantu masyarakat. Sebagai DPR-nya desa misalnya punya fungsi legislasi bikin peraturan desa, fungsi kontrol bagaimana mengontrol kinerja pemerintah desa dalam membangun desa. Lalu fungsi budgeting bagaimana menganggarkan dana desa untuk kepentingan masyarakat. Sebenarnya teman-teman trans punya kemampuan maka saat itu orang tidak melihat saya sebagai seorang waria lagi tapi orang yang punya kapasitas. Warga yang mengusung saya. KTP ada, identitas jelas, Puji Tuhan, saya terpilih. Hingga hari ini, saya sudah menjalankan tugas dan fungsi saya sebagai (anggota) BPD, mitra kerja pemerintah desa untuk membangun kampung halaman. Plus, saya bisa punya organisasi, mengadvokasi teman-teman saya, perjuangkan hak-hak mereka. Kami di BPD punya tugas bagaimana mengawal semua kinerja, aspirasi di desa. Saya juga berharap teman-teman transpuan punya kesempatan untuk ada dalam posisi. Ketika kita ada di luar sistem, orang tidak peduli. Tapi saya sebagai transpuan dan punya kapasitas pengambilan kebijakan, ya pasti didengar dan saya bisa berbuat. Bukan untuk satu orang tapi semua orang termasuk kelompok minoritas gender dan seksualitas,”

Asrul :Artinya, masyarakat disana menerima secara penuh teman-teman transpuan disana?”

Bunda Mayora : “Masyarakat terima dan mengakui kita ada karena kita hidup berdampingan dengan mereka. Tidak ada yang membedakan. Bahkan teman-teman yang punya salon bayar pajak. Mama-mama bayar iuran. Kerja bakti rame-rame. Kalau karnaval, barisan kami yang dinanti-nantikan karena kami punya banyak pertunjukan seni. Orang tertawa satu dua ya biasa tapi kalau yang jahat sampe lempar batu, puku gitu ya tidak ada.

Saya punya metode sendiri untuk ajari anak-anak tentang keberagaman. Juga mama-mama yang belum mengerti. Kita ajari dengan alat peraga, warna warni, simbol bunga bahwa inilah kita. Ada waria, laki-laki, perempuan. Kita hadir untuk saling melengkapi bukan saling benci.

Mama-mama disini juga mengedukasi anak-anaknya dengan baik. Saya kaget juga ada orang tua yang pengen anaknya seperti Bunda Mayora supaya bisa bantu, artinya orang tidak takut dengan waria toh. Mau jadi waria? Ya janganlah,”

Asrul :Kalau kebetulan trans ya nggak apa-apa ya?”

Bunda Mayora : “Ya kalau kebetulan nggak papa, makanya saya edukasi kepada anak-anak. Saya kan ada media (sosial) Facebook, Instagram, ada yang inbox bilang ‘Bunda, kami sama seperti Bunda. Saya masih SMP.’ Karena memang mereka melihat. Di Maumere ini kan tidak ada orang yang marah, Saya takut kan dalam hal ini nanti saya dibilang ngajak jadi waria, tapi tidak. Dari ekspresi mereka sudah keliatan ya kita arahkan mereka dengan baik untuk hargai diri, jaga diri, masih kecil ya sekolah supaya jadi orang berguna. Tetap jadi diri sendiri. Lenggang nya…lebih lembut daripada kita yang sudah tua bangka ini..haha… apalagi ekspresi TikTok nya itu aku kaget banget. Ini masih kecil-kecil udah cantik-cantik. Intinya saya arahkan ke jalan yang baik. Kalau di Jawa mungkin udah orang sudah usir dari rumah, tidak boleh masuk sekolah. LGBT atau waria kan dilarang masuk kampus atau sekolah, tapi di sini (Maumere) adek-adekku tuh eksis, cantik, tetap hadir dan punya kapasitas. Bisa jadi orang-orang hebat.

Saya pernah dandani satu waria di SMA, dia juara, wakili sekolah jadi penari yang hebat. Maka itu, orang tua yang punya anak waria, jangan takut dan menyerah. Itu aset yang baik sebenarnya,”

Asrul :Nah, tadi soal sekolah. Mereka yang masih usia sekolah dibebaskan juga berpakaian sesuai ekspresi gendernya?”

Bunda Mayora : “Lagi lagi nih kan regulasinya dari Jakarta (pusat). Jadi kita ikuti. Kita nggak masalah, kita sudah selesai dengan (urusan) berpakaian, Anak-anak itu tetap pakai pakaian ‘lekong’ (laki-laki) tapi alis tetap ‘nungging’, lipstik tetap oke dan tetap menjadi trans. Saya selalu arahkan, jadilah trans yang baik, waria yang baik, dengan identitas yang baik. Dalam artian, menghargai diri. Kehadiran kami ini kan orang masih omong juga walau baik selalu ada yang dilihat tidak baik. Tapi pelan-pelan kau tunjukkan kemampuan. Kalau soal seni, keterampilan, mereka selalu di depan. Soal IQ juga tidak rendah, matematika selalu oke. Ada 1 mahasiswa trans mewakili kegiatan di Jakarta. Puji Tuhan sudah lulus. Luar biasa toh?


Soal coming out ke orang lain tuh soal kemudian, tapi menghormati diri sebagai seorang trans itu luar biasa. Dan tampil tidak dibuat-buat meskipun belum mengakui diri waria tapi tunjukkan lah diri dengan kemampuan juga orang sudah akui kok,”

Asrul :Menerima diri sendiri itu sama dengan mencintai diri sendiri ya?”

Bunda Mayora : “Iya. Mencintai dirimu, jaga kesehatan, sampai saya tanya orientasi seksual nya. Kita yang tua nih perlu ajar mereka. Kalau dia heteroseksual, atau suka laki, ya kita didik betul. Lakukan seks yang aman, baik, sehat. Dan ingat, masih sekolah. Tuntaskan sekolah, jaga diri. Karena orang ini kadang labeli kita dengan HIV huh salah! Kami justru lebih pandai menjaga diri. Kami waria ini sangat profesional, makanya saya ajak untuk kontrol diri dan edukasi orang lain. Eh, orang Indonesia itu yang paling banyak (terjangkit HIV) ibu-ibu rumah tangga. Atau di Sikka sendiri begitu, atau di Jawa.

Kami ajari itu teman-teman penggunaan kondom, bagaimana jaga diri dengan baik, lindungi diri. Kadang kita juga bantu hilangkan stigma dan diskriminasi terhadap ODHIV,”

Asrul :Cukup banyak disana, Bunda?”

Bunda Mayora : “Di Maumere tidak terlalu, cuma stigma dan diskriminasi untuk ODHIV itu masih. Itu tugas kita menghilangkan stigma itu. Kita bantu pemerintah dalam hal pencegahan HIV dengan cara tidak tertutup, ya harus terbuka dan mengajarkan pendidikan seksualitas sejak dini,”

Asrul :Masyarakat disana tadi Bunda bilang tidak masalah melihat transpuan atau LGBTIQ tinggal bareng ya?”

Bunda Mayora : “Aku sih melihat orang disini tenang sebenarnya. Ada saudara saya yang 15 tahun hidup bersama bahkan mereka asuh anak. Itu aman-aman saja. Itu biasa. Dia juga menjalankan hidup sebagai orang katolik, kan tidak mengganggu orang lain. Kita tidak injak orang saat sedang tidur kok, tidak lukai orang. Yang ada, dia suka saya, saya suka dia. Kami sama-sama suka, saling mencintai. Kami hormati anugerah seks, cinta.

Seks itu adalah anugerah, kodrat yang Tuhan kasih. Tetapi agama itu mengartikan seks tidak hanya cinta tapi pro kreasi. Bagaimana dengan kami yang tidak punya rahim? Bagaimana dengan ibu yang mandul? Apa harus paksa cerai 10, 20 kali? Maka itu kami hayati anugerah keindahan seks itu adalah rasa menghormati, memberi dan menerima. Ketika kami punya laki, sama-sama menghormati, kami membantu keluarga kami masing-masing, apa itu salah? Nggak kan? Kok orang masih ada berpikir sempit sekali. Saya bersyukur ya, Maumere kota kecil tapi orang-orangnya sangat terbuka,”

Asrul :Makna cinta buat Bunda Mayora seperti apa?”

Bunda Mayora : “Cinta itu datang tanpa diundang. Seperti udara yang dihela setiap saat selalu ada. Cinta itu bagai magnet menarik hasrat. Irama detakan jantung mempengaruhi raga. Banyak yang mengucapkan namun sedikit yang mampu mempertahankan. Tetapi saya tetap merasakan, I can feel your love, God, thank You. Cinta itu pemberian dari Tuhan, anugerah, rahmat, dan cinta itu adalah realita yang ada,”

Kalau kamu punya saran, komentar, atau ingin berbagi cerita boleh banget email ke [email protected] dan tulis ‘Love Buzz’ untuk subject email-nya.

Saya nggak hendak berkhotbah, tapi sekadar mengutip Bunda Mayora yang dalam wawancara tadi bilang Yesus tidak pernah mengajarkan tentang kebencian. Hukum yang paling utama dan terutama adalah kasih. Transpuan itu menghidupi kasih, spiritualitas kasih.

Kunjungi kbrprime.id untuk menyimak beragam podcast lainnya dari KBR.

Baca Juga : Amar Alfikar : Transpria, Pesantren dan LGBTIQ+ Dalam Islam

  • #podcast
  • #lovebuzz
  • #bundamayora
  • #pejabatpublik

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!