BERITA

Periode Pertama Jokowi, Jumlah Terpidana Mati Naik 200 Persen

Periode Pertama Jokowi, Jumlah Terpidana Mati Naik 200 Persen
Presiden Jokowi memberi keterangan pers tentang kondisi Wiranto setelah insiden penusukan di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (11/10/2019). (Foto: ANTARA)

KBR, Jakarta - Selama periode pertama pemerintahan Jokowi praktik hukuman mati di Indonesia meningkat tajam.

Demikian isi laporan Imparsial, lembaga masyarakat sipil independen yang bergerak di bidang pengawasan pelanggaran HAM.

"Selain eksekusi mati, pada periode ini juga terjadi peningkatan vonis mati yang dilakukan pengadilan di berbagai tingkatan, dengan sedikitnya 221 vonis mati baru," jelas Imparsial dalam rilis, Kamis (10/10/2019).

Menurut riset Imparsial, praktik eksekusi dan vonis mati di bawah rezim Jokowi jauh lebih tinggi dibanding era presiden-presiden sebelumnya.

Sejak era Presiden Habibie, Gus Dur, Megawati, sampai Soesilo Bambang Yudhoyono (1998-2013), rata-rata ada 13 terdakwa yang divonis mati tiap tahunnya. Namun di era Presiden Jokowi (2014-2019), angka itu naik menjadi 44 vonis mati per tahun.

"Perbandingan vonis mati yang terjadi selama Reformasi naik di era pemerintahan Jokowi, dengan kenaikan sebesar 236,6 persen," ungkap Imparsial.


Pelanggaran HAM dan Penambahan Jenis Pidana Mati

Selain peningkatan frekuensi hukuman mati, rezim Jokowi juga banyak terjerat masalah pelanggaran HAM kepada terpidana. Menurut Imparsial, masalah pelanggaran HAM itu meliputi:

    <li>Hak-hak terpidana yang diabaikan (terkait grasi dan pemberitahuan 3×24 jam sebelum eksekusi);</li>
    
    <li>Peradilan yang tidak adil (<i>unfair trial</i>);</li>
    
    <li>Mitos efek jera yang keliru;</li>
    
    <li>Politisasi dan diskriminasi dalam praktik hukuman mati;</li>
    
    <li>Perlindungan buruh migran di luar negeri, dan;</li>
    
    <li>Problem akuntabilitas anggaran eksekusi mati.</li></ul>
    

    Di bawah rezim Jokowi, jenis tindak pidana yang diancam hukuman mati pun kian bertambah.

    “Itu dilihat dari banyaknya tindak pidana baru yang diancam dengan hukuman mati, mulai dari UU perlindungan anak, terorisme, KUHP juga banyak,” kata Wakil Direktur Imparsial Ghufron Mabruri dalam rilisnya, Kamis (10/10/2019).


    Presiden Jokowi Diminta Hapus Hukuman Mati

    Menurut Wakil Direktur Imparsial Ghufron Mabruri, hukuman mati harusnya dihapuskan karena bertentangan dengan komitmen HAM dan konstitusi.

    “Hak hidup itu, kalau dalam hak asasi manusia, itu kan non-reachable. Itu maksudnya dalam kondisi dan situasi apapun itu nggak bisa dicabut, termasuk ketika orang melakukan tindak pidana, sekalipun termasuk terorisme,” kata Ghufron.

    “Hukuman mati bertentangan dengan jaminan konstitusional tentang hak hidup yang ditegaskan dalam UUD 1945,” tegasnya lagi.

    Ghufron juga meminta pemerintah menghapus hukuman mati karena dinilai tidak efektif memberi efek jera.

    “Dalam kasus narkoba misalnya, sejak eksekusi mati pelaku narkoba secara masif dilakukan oleh Kejaksaan Agung, angka kejahatan narkoba justru meningkat tajam. Ini diakui sendiri oleh BNN (Badan Narkotika Nasional). Itu secara objektif menunjukkan efek jera itu tidak ada,” katanya.

    “Lima tahun ke depan ini harus jadi catatan serius. Jangan hanya fokus soal ekonomi infrastruktur. Soal reformasi hukum HAM ini harus jadi perhatian, karena ini banyak masalah kan,” tegas Ghufron. 

    Editor: Agus Luqman

  • hukuman mati
  • Presiden Jokowi

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!