BERITA

Komnas Perempuan: Alasan Pemerintah-DPR Tunda RUU PKS Mengada-ada

"penundaan pengesahan RUU tersebut malah dianggap sebagai kemunduran gerakan perempuan. Apalagi RUU PKS akan melengkapi RKUHP"

Valda Kustarini

Komnas Perempuan: Alasan Pemerintah-DPR Tunda RUU PKS Mengada-ada
Aksi meminta DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) karena KUHP yang selama ini dipakai dalam menyelesaikan kasu

KBR, Jakarta- Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) menilai tidak ada relevansi antara Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Menurut Ketua Komnas Perempuan Azriana Manalu, alasan DPR dan Pemerintah menunda pembahasan RUU PKS hanya mengada-ada.


Pasalnya, penundaan pengesahan RUU tersebut malah dianggap sebagai kemunduran gerakan perempuan. Ia berpendapat RUU PKS akan melengkapi RKUHP.


"RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini seharusnya disahkan. Pengesahan RUU PKS justru ingin menjawab keterbatasan RKUHP. RUU PKS seharusnya bisa diwujudkan untuk keadilan korban. Tapi akhirnya korban tidak mendapatkan apapun," kata Azriana Manalu di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Selasa (1/10/2019).


Azriana mengatakan, dengan menyandera RUU PKS, korban kekerasan seksual tidak akan mendapatkan keadilan.


Ia menilai, ada inkonsistensi pada DPR Komisi VIII yang menangani perempuan. Seperti saat DPR meloloskan Undang-Undang Pornografi dan Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang tidak disangkut pautkan dengan RKUHP.


"Mengapa hanya RUU PKS yang tidak bisa disahkan?" kesal Azriana.


Komnas Perempuan menyebut, ada empat hal pokok yang harus diatur di dalam RUU PKS. Pertama, perlu ada perubahan cara pandang dan pola pikir negara dan masyarakat terhadap kekerasan seksual, seperti tindakan kejahataan itu bukan hanya tindak kesulilaan tetapi juga kejahatan terhadap martabat manusia.


Kemudian, perlu ada pencegahan kekerasan seksual, mulai dari penelusuran akar masalah kekerasan seksual, karena salah satu penyebabnya adalah ketimpangan relasi antara korban dan pelaku.


"Kemudian, aturan baru juga perlu dibuat untuk melindungi korban," kata Azriana.


Untuk mempercepat itu, Komnas Perempuan, juga mendesak pimpinan partai politik dan pimpinan fraksi DPR agar menugaskan anggota DPR baru yang memiliki kepakaran tentang hukum, HAM, dan gender sebagai anggota Panja/Pansus RUU PKS.


"Komnas Perempuan juga meminta Badan Legislasi DPR RI agar menetapkan RUU PKS sebagai RUU yang akan dibawa pada masa persidangan tahun 2020. Terakhir, meminta Badan Musyawarah DPR RI periode 2019-2024 menetapkan RUU PKS dibahas oleh Panitia Khusus (Pansus) lintas komisi. Sebab, isu kekerasan seksual bukan hanya isu perempuan tetapi juga isu di lintas komisi terkait," jelas Azriana.


Azriana menambahkan, RUU PKS telah diupayakan masuk daftar pro legislasi nasional 2015-2019, kemudian masuk prolegnas prioritas pada 2016.


Pada 2018, Komnas Perempuan juga dilibatkan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) RUU PKS.


"Namun, hingga berakhir masa tugas DPR periode 2014-2019, RUU PKS ini tidak dibahas dan disahkan," pungkasnya sembari kecewa.

Editor: Kurniati Syahdan

  • RUU PKS
  • RKUHP
  • Komnas Perempuan
  • DPR RI

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!