Dua penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi KPK ‘dicerai’ dan dikembalikan ke institusi Polri. Mereka dianggap melanggar kode etik karena merusak barang bukti penyidikan kasus korupsi.
Ilustrasi. (Foto: kpk.go.id)
Senin, 08 Oktober 2018
Dua penyidik KPK ‘dicerai’ dan dikembalikan ke institusi Polri. Mereka dianggap melanggar kode etik karena diduga merusak barang bukti penyidikan kasus korupsi. Bukti diduga menyebut nama Tito Karnavian, eks Kapolda Metro Jaya yang kini menjabat Kapolri. Sejumlah media berkolaborasi dalam IndonesiaLeaks mencari fakta-fakta di pusaran itu.
IndonesiaLeaks adalah platform bagi informan publik untuk membagi dokumen untuk diteruskan oleh sembilan media di dalamnya dalam bentuk liputan investigasi. Platform ini terenkripsi sehingga tidak bisa melacak identitas pengirim informan publik.
DI sebuah ruangan di lantai 9 Gedung KPK. Itu hari Jumat, 7 April 2017 sekitar Magrib.
Dua penyidik KPK dari unsur Kepolisian, Roland Ronaldy dan Harun, tertangkap kamera CCTV tengah beraksi. Mereka mengambil buku catatan keuangan warna merah. Menghapus beberapa tulisan di sana dengan tipe-ex. Mereka juga merobek 9 lembar dari buku itu.
Aksi mereka yang terekam CCTV itu dibenarkan oleh Ketua KPK Agus Rahardjo.
Pada Agustus 2018, IndonesiaLeaks menemui Roland Ronaldy di Polres Cirebon, Jawa Barat. Ia justru mendapat promosi jadi Kapolres Cirebon, setelah dipulangkan KPK atas dugaan “pelanggaran etika".
Raut wajah Roland sontak berubah ketika melihat versi digital dokumen-dokumen penyidikan KPK yang dirusak oleh dia dan Harun. Ia menolak berkomentar.
“Ini kan soal rahasia, ngapain diungkit-ungkit lagi?” katanya dengan wajah kesal.
“Sudah lah. Itu kan sudah lama. Sudah dijawab oleh Humas (Polri) juga.”
Sementara Harun tidak merespons surat permintaan wawancara dari IndonesiaLeaks yang dikirim 14 Agustus 2018. Intinya adalah ingin menanyakan dugaan keterlibatannya dalam kasus perusakan barang bukti penyidikan KPK.
Suatu malam, IndonesiaLeaks mendatangi rumahnya di kawasan Palmerah, Jakarta Barat.
“Sudah, nggak usah,” kata Harun sambil membuka pagar rumahnya dengan kepala menunduk.
***
AKSI Roland dan Harun terungkap lewat sebuah paket dan surat yang dikirim pelapor ke Direktorat Pengawasan Internal (PI) KPK pada pertengahan 2017.
Surat itu berjudul “Pelaporan Perusakan Barang Bukti di Direktorat Penyidikan Perkara Basuki Hariman”.
Paket yang menyertainya adalah CD berisi hasil scan barang bukti buku bank bersampul merah. Ada dua versi scan - sebelum dan sesudah disobek.
"Pada barang bukti yang ada di Labuksi ini, beberapa tulisan telah ditipe-ex untuk menghilangkan catatan pemberian suap dari Basuki Hariman. Selain beberapa catatan ditip-ex, ada beberapa halaman yang disobek dan hilang dari barang bukti," tulis si pengirim surat ke Direktorat Pengawasan Internal KPK.
Surat secara terang menyebut pelakunya adalah dua penyidik KPK dari unsur Kepolisian; Roland Ronaldy dan Harun. Ada juga disebut nama dua orang lain yang ada dalam ruangan saat perusakan barang bukti terjadi. Pengirim surat menyebut aksi perusakan itu terekam CCTV di ruang penyidikan.
Pelapor menginginkan KPK menyelidiki penyidiknya sendiri.
Barang bukti yang dirusak adalah buku catatan keuangan bersampul merah atas nama Serang Noor IR, nomor rekening 4281755xxx BCA KCU Sunter Mall.
(Foto barang bukti buku merah. Bagian sebelah kanan bertanda kuning robek pada 7 April 2017.)
Buku ini terkait dengan kasus dugaan suap oleh pengusaha impor daging Basuki Hariman, dan sekretarisnya, Ng Fenny, terhadap hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar.
Di situ ada detil catatan dan riwayat aliran dana dari Basuki Hariman kepada sejumlah pejabat. Ada 68 catatan transaksi yang diduga suap kepada sejumlah orang dari instansi seperti Bea Cukai, Balai Karantina, Kepolisian, TNI hingga Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara.
Keberadaan surat pengaduan itu dibenarkan Ketua KPK Agus Rahardjo.
Direktorat Pengawasan Internal KPK lantas bergerak. Mereka menyimpulkan, Roland dan Harun telah melakukan pelanggaran etik.
“(Hasil) penyidikan internal memang orangnya melakukan kesalahan, terus akhirnya dipulangkan,” kata Agus Rahardjo kepada IndonesiaLeaks.
Keduanya lantas dipulangkan ke Kepolisian pada 13 Oktober 2017. Seharusnya Roland masih bertugas sampai Oktober 2019, sementara Harun sampai 1 November 2017.
(Surat pemulangan dua penyidik KPK Roland dan Harun ke Mabes Polri.)
Begitu dikembalikan, Mabes Polri mengaku turut memeriksa Roland dan Harun. Tapi hasilnya berbanding terbalik.
“Pemeriksa internal Polri tidak menemukan adanya pelanggaran yang dimaksud,” kata Muhammad Iqbal. Ini adalah jawaban tertulis untuk IndonesiaLeaks dari Iqbal yang saat itu masih menjabat sebagai Kepala Biro Penerangan Masyarakat di Mabes Polri pada Agustus 2018 lalu.
Iqbal mengklaim, kedua penyidik itu dikembalikan KPK ke Kepolisian karena masa dinas kontrak hampir selesai.
Tak sampai enam bulan setelah ‘ditalak’ KPK, Roland dan Harun justru diganjar promosi.
Pada 8 Maret 2018, Kapolri Tito Karnavian mengangkat AKBP Roland Ronaldy sebagai Kapolres Cirebon Kota, Polda Jawa Barat. Sedangkan Kompol Harun mendapat tempat tinggi di Direktorat Kriminal Khusus pada Polda Metro Jaya per 27 Oktober 2017.
Apa isi lembaran yang disobek dari buku sampul merah oleh penyidik Roland dan Harun?
Basuki Hariman divonis 7 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada 28 Agustus 2017. Ia terbukti menyuap Hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar, sebesar lebih dari $70 ribu. Di persidangan yang sama, hakim juga memvonis sekretaris Basuki, Ng Fenny lima tahun penjara.
Basuki terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 25 Januari 2017, bersama Patrialis Akbar. Pengusaha impor daging itu menyuap Patrialis untuk memengaruhi putusan hakim MK dalam perkara uji materi Undang-undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Uji materi diajukan oleh asosiasi peternak dan pedagang ternak.
Pada saat diperiksa KPK pada awal 2017, Basuki menganggap Undang-undang itu merugikan perusahaannya di bidang impor daging.
"Yang boleh impor daging sapi dari India hanya satu perusahaan, Bulog, ini jelas monopoli," ujar Basuki di Gedung KPK, Jakarta, 27 Januari 2017.
Pada 7 Februari 2017, Mahkamah Konstitusi menolak hampir seluruh permohonan uji materi tersebut. Sekitar tujuh bulan kemudian, pada 4 September 2017, Pengadilan Tipikor pun memvonis Patrialis delapan tahun penjara karena menerima suap dari Basuki.
(Foto salinan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, 28 Agustus terhadap Basuki Hariman.)
Dalam persidangan Basuki dan Fenny, aliran dana hanya menyebut nama Patrialis. Dakwaan tim Jaksa KPK terhadap Basuki maupun Ng Fenny juga tidak menyertakan pasal suap terhadap orang selain hakim MK itu.
BAP yang diacu dalam persidangan ini adalah BAP tertanggal 5 April 2017.
Sedangkan, isi BAP tertanggal 9 Maret 2017 yang juga dibuat untuk kasus dugaan suap Basuki Hariman, dengan tersangka Ng Fenny tidak pernah disebut di persidangan.
Buku bersampul merah itu tercantum sebagai barang bukti nomor 316, yang dilampirkan dalam putusan Pengadilan Tipikor terhadap Basuki Hariman. Basuki dihukum 7 tahun penjara dan denda Rp 400 juta - lebih rendah dibandingkan tuntutan jaksa yaitu 11 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
(Putusan Pengadilan Tipikor terhadap Basuki Hariman juga mencantumkan Buku Merah dalam daftar barang bukti.)
Pada persidangan Basuki Hariman, staf keuangan perusahaan milik Basuki, Kumala Dewi Sumartono, menjadi saksi. Ia sempat ditunjukkan sejumlah barang bukti, termasuk buku bank berwarna merah atas nama Serang Noor itu. Kumala mengetahui dan membenarkan keberadaan buku itu.
Dalam putusan Pengadilan Tipikor terhadap Basuki Hariman juga mencantumkan ratusan barang bukti, termasuk sejumlah salinan bukti pembelian valuta asing dari PT Antarartha Benua. Beberapa tanda bukti pembelian valuta asing itu sesuai dengan isi buku merah, dan keterangan Kumala Dewi tentang dugaan aliran dana ke Tito - baik tanggal transaksi maupun nilai pembelian dolar.
***
Pada 9 Maret 2017, Penyidik KPK Surya Tarmiani memanggil Staf Keuangan CV Sumber Laut Perkasa, Kumala Dewi Sumartono. Ia menjadi saksi untuk tersangka Ng Fenny, sekretaris Basuki Hariman. Ini merupakan pemeriksaan lanjutan, karena sebelumnya Kumala sudah memberi keterangan pada Februari 2017.
Penyidik Surya Tarmiani menyodorkan sebuah buku sampul merah. Di depannya tertulis: atas nama Serang Noor IR, nomor rekening 4281755xxx BCA KCU Sunter Mall.
"Apakah saudara mengenali dokumen atau buku tersebut?"
"Iya, saya mengenal dokumen tersebut, adalah Buku Bank atas nama Serang Noor. Serang Noor adalah mantan Direktur Utama CV Sumber Laut Perkasa, namun dipakai namanya saja.”
(Buku bersampul hitam dan merah dijadikan barang bukti dalam pemeriksaan kasus suap Basuki Hariman dan Ng Fenny)
Dua bos Kumala Dewi adalah pengusaha impor daging Basuki Hariman dan sekretarisnya, Ng Fenny. Mereka terbukti menyuap Hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar, untuk memuluskan uji materi Undang-undang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang diajukan asosiasi peternak dan pengusaha. CV Sumber Laut Perkasa milik Basuki Hariman bergerak di bidang importir daging.
“Tulisan tangan dalam buku bank tersebut adalah tulisan tangan saya,” imbuh Kumala Dewi.
Dialog itu terekam dalam BAP 9 Maret 2017, yang salinannya diterima IndonesiaLeaks. Dokumen BAP Surya tersebut telah diverifikasi dan dibenarkan oleh empat sumber terpisah di KPK sebagai salinan dokumen asli.
Di Berita Acara Pemeriksaan itu terlihat Penyidik Surya Tarmiani merenceng 68 transaksi keuangan dalam buku sampul merah tersebut. Puluhan transaksi itu terjadi selama rentang Desember 2015 hingga Desember 2016. Tapi hanya satu yang berkaitan dengan aliran duit ke Patrialis Akbar - yakni ke Kamaludin, orang dekat Patrialis. Kamaludin mengaku di persidangan Pengadilan Tipikor Jakarta pada 31 Juli 2017 kalau ia adalah penghubung antara Patrialis dan Basuki.
Setelah dikelompokkan, duit senilai total Rp 23 miliar lebih itu mengalir ke orang-orang di sejumlah instansi pemerintah, seperti dari Bea Cukai, Balai Karantina, Kepolisian, TNI dan Kementerian PAN.
Kumala Dewi menjawab satu per satu deretan transaksi yang disodorkan penyidik.
"Tanggal 2016 19/1, beli USD 71.840 x 13.920 untuk Kapolda. Kredit 1.000.000.000-- Merupakan pemberian uang kepada Kapolda Tito Karnavian yang diantarkan Basuki Hariman," demikian tertulis dalam BAP yang dibuat Surya Tarmiani, 9 Maret 2017. Di situ juga tertera nomor cek 704810 untuk pembelian USD tersebut.
Dari catatan setoran-setoran serta BAP tersebut, nama yang diduga Tito Karnavian disebut sedikitnya delapan kali, dari Januari hingga Juli 2016. Total setoran sekitar Rp7,2 miliar.
“Saya tidak tahu maksud maupun kepentingan dalam pemberian uang ke beberapa orang. Saya hanya menjalankan perintah Basuki Hariman atau NG Fenny untuk menyiapkan uang yang dibutuhkan,” jawab Kumala Dewi saat ditanya maksud kiriman uang dari bosnya ke sejumlah orang tersebut.
(Putusan Pengadilan Tipikor untuk Basuki Hariman juga melampirkan bukti sejumlah pembelian dolar)
Sesuai keterangan di BAP, Kumala mengklaim bosnya mengirim uang ke Tito Karnavian dalam rentang waktu itu. Nilainya berkisar Rp200 juta sampai Rp1 milyar dalam bentuk dolar AS. Dari kesaksian Kumala, uang itu diberikan sedikitnya delapan kali, dan kebanyakan uang diantar Basuki.
Kumala juga sempat meralat catatan di buku bank pembukuan untuk transaksi pembelian dolar pada 7 September 2016 sebesar 76.144 dolar AS yang ditulis ‘u/ HD’. Dalam kurs rupiah saat itu, kata Kumala, 1 USD senilai Rp13.133.
“Pada buku bank tercatat bahwa pemberian USD 76.144 pada tanggal 7 September 2016 adalah untuk HD. Namun, saya ragu-ragu. Menurut saya terjadi kesalahan pencatatan di buku bank. Yang betul menurut saya adalah pemberian untuk Kapolda Tito Karnavian, karena Basuki Hariman memberikan uang kepada Kapolda Tito Karnavian sebesar Rp1.000.000.000 yang ditukarkan dalam mata uang USD tiap bulannya dari Januari sampai Juli 2016. Kemudian pada Agustus 2016 belum ada pemberian untuk Tito Karnavian. Sedangkan untuk HD, pada tanggal 6 September, baru saja diberikan uang sebesar USD 141.630,” kata Kumala Dewi, seperti tertulis dalam BAP I.
Tito menjabat Kapolda Metro Jaya 12 Juni 2015 – 16 Maret 2016. Ia sempat menjadi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) selama tiga bulan sebelum diangkat sebagai Kapolri pada 13 Juli 2016.
Kapolri Tito Karnavian membantah menerima aliran dana dari Basuki Hariman.
Pertengahan Agustus 2018, tim IndonesiaLeaks menanyakan hal itu kepada Tito.
“Sudah dijawab oleh Humas. Sudah dijawab oleh Humas," kata Tito cepat. "Sudah dijawab Humas. Resmi! Cukup ya?"
Empat kali eks Kapolda Metro Jaya mengulangi pernyataannya.
Tito lantas bergegas naik ke buggy golf. Dia meninggalkan wartawan.
Konfirmasi langsung ini dilakukan setelah sepekan sebelumnya IndonesiaLeaks mengirim surat permintaan wawancara lewat Mabes Polri. Muhammad Iqbal yang kala itu menjabat Kepala Biro Penerangan Masyarakat dari Divisi Humas Mabes Polri merespon dengan meminta daftar pertanyaan tertulis.
"Tidak benar. Bapak Kapolri tidak pernah menerima (aliran dana dari Basuki Hariman) itu. Orang bisa saja membuat catatan yang belum tentu benar. Dulu sewaktu jadi Kapolda Papua, Kapolri pernah mengalami hal yang sama dan sudah diklarifikasi,” tulis Iqbal pada awal Agustus 2018.
(Foto jawaban Karo Penmas Mabes Polri)
IndonesiaLeaks menemui Kumala Dewi di rumahnya, di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Melalui anaknya, Kumala menolak permintaan wawancara itu pada akhir Juni 2018.
Sikap serupa juga ditunjukkan Basuki Hariman ketika didatangi di Lapas Kelas I, Tangerang, Banten. Ia justru memanggil sipir ketika melihat ada wartawan tim IndonesiaLeaks hendak menemuinya.
“Saya tidak mau. Saya tidak mau diwawancara soal itu,” jawab Basuki pada 24 Juni 2018.
Sementara Penyidik Surya Tarmiani menolak berkomentar soal isi BAP 9 Maret 2017 yang memuat nama Tito.
“Nggak tahu saya,” jawab Surya, ketika dihubungi tim IndonesiaLeaks, pertengahan September 2018.
“Tapi betul memeriksa Kumala?”
“Sudahlah, sudah lewat,” jawab Surya.
Hampir sebulan setelah pembuatan BAP 9 Maret 2017, Penyidik KPK Surya Tarmiani diteror orang tak dikenal.
Ketika itu Surya menumpang taksi dari Bandara Soekarno Hatta ke tempat tinggalnya di Setiabudi. Tas ransel berisi laptop dan berkas dirampas orang tak dikenal.
Dari salinan laporan polisi bernomor LP/131/K/IV/2017 yang diperoleh majalah Tempo, Surya menyebutkan tas yang dirampas itu berisi sejumlah barang penting. Di antaranya komputer jinjing merek HP, dompet berisi kartu identitas, paspor, serta kartu penyidik KPK.
Tapi ia tak mau bicara soal perampasan laptop itu.
“Tanya Mas Febri atau pimpinan aja ya, saya nggak bisa jawab,” kata Surya pertengahan September 2018, seraya menyebut nama Febri Diansyah, Kepala Biro Humas KPK.
Surya mengakui kasus perampasan laptop itu sampai sekarang belum ada tindak lanjut di Kepolisian.
***
“Saya tidak tahu maksud maupun kepentingan dalam pemberian uang ke beberapa orang. Saya hanya menjalankan perintah Basuki Hariman atau NG Fenny untuk menyiapkan uang yang dibutuhkan,” kata Kumala Dewi, seperti tertulis dalam BAP.
-TANGGAL 5 April 2017, Kumala Dewi kembali menjalani pemeriksaan lanjutan di KPK.
Kali ini, staf keuangan CV Sumber Laut Perkasa, perusahaan milik pengusaha Basuki Hariman itu, diperiksa dua penyidik KPK, Roland Ronaldy dan Harun.
Nyaris seluruh pertanyaan yang diajukan Roland dan Harun ke Kumala Dewi sama dengan pertanyaan yang diajukan Surya Tarmiani sebulan sebelumnya.
Bedanya, Roland dan Harun tak menunjukkan buku catatan keuangan bersampul merah. Juga tak menyinggung informasi yang sudah digali Penyidik Surya sebelumnya - termasuk soal dugaan aliran uang ke sejumlah pejabat.
Roland dan Harun malah menunjukkan salinan legalisir tanda terima dan bukti penjualan valuta asing oleh PT Panorama Indah Sejati serta CV Sumber Laut Perkasa. Keduanya perusahaan milik Basuki Hariman. Namun bukti itu tidak menggambarkan upaya penyidikan suap Basuki Hariman.
“BAP atas nama Saudara pada hari Senin tanggal 20 Februari 2017. Ditanyakan kepada Saudara, adakah perubahan atas BAP tersebut?”
Ini pertanyaan yang diajukan Penyidik Roland dan Harun dalam lembaran BAP Lanjutan (Saksi) tanggal 5 April 2017. Salinan dokumen ini diterima tim IndonesiaLeaks.
Pertanyaan itu seperti mengabaikan adanya BAP yang dibuat pada Maret 2017 oleh Penyidik KPK Surya Tarmiani.
Dua hari setelah memeriksa Kumala, Penyidik Roland dan Harun tertangkap kamera CCTV tengah merusak barang bukti buku catatan keuangan bersampul merah itu. Peristiwa perusakan barang bukti itu tergambar dari salinan berkas pengaduan ke Direktorat Pengawasan Internal, yang diterima IndonesiaLeaks.
"Pada barang bukti yang ada di Labuksi ini, beberapa tulisan telah ditip-ex untuk menghilangkan catatan pemberian suap dari Basuki Hariman. Selain beberapa catatan ditipex, ada beberapa halaman yang disobek dan hilang dari barang bukti," tulis si pengirim surat ke Direktorat Pengawasan Internal KPK.
BAP yang dibuat Penyidik Surya pada Maret 2017 pun tak pernah muncul di persidangan Basuki dan Ng Fenny. Padahal BAP ini mengkonfirmasi aliran dana dari Basuki ke sejumlah pejabat.
Sebanyak 9 lembar (18 halaman) dari buku bank bersampul merah itu hilang dirobek.
Di antaranya halaman yang memuat transaksi keuangan antara 17-22 Desember 2015 (1 lembar/2 halaman), 19 - 25 Januari 2016 (1 lembar), 24-30 April 2016 (2 lembar), 18 Mei - 3 Juni 2016 (2 lembar), 1-22 Juli 2016 (2 lembar) dan 15-24 Agustus 2016 (1 lembar).
Setidaknya nama Tito ditulis sebanyak 8 kali di dalam buku bank tersebut, ditulis dengan keterangan Kapolda, Bp Tito atau Kapolda Tito. Namanya disandingkan dengan keterangan pembelian USD sebesar rata-rata 70 ribuan USD. Sebanyak 3 lembar (5 halaman) yang disobek mencantumkan nama-nama tersebut.
Sejak peristiwa penyobekan lembaran buku bank sampul merah ini, Roland dan Harun dipulangkan KPK ke institusinya semula, yakni Kepolisian.
Ketua KPK Agus Rahardjo menerangkan, hasil pemeriksaan Direktorat Pengawasan Internal KPK menyatakan kedua penyidik itu terbukti bersalah merusak barang bukti terkait perkara suap Basuki Hariman.
“Saya tidak membaca utuh hasil pemeriksaannya, tapi oleh PI dinyatakan bersalah,” imbuhnya.
“Makanya kami kembalikan ke kepolisian. Apakah di kepolisian yang bersangkutan mendapat sanksi, itu kan sudah bukan kewenangan KPK,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.
***
PEMERIKSAAN terhadap Roland dan Harun, dua penyidik asal kepolisian, tak pernah terbuka disampaikan ke publik. Ini dikritik bekas pimpinan KPK, Busyro Muqoddas. Padahal sebagai lembaga publik, menurutnya, transparansi pimpinan KPK jadi penting.
"Karena tidak ada informasi ke publik. Publik mengambil kesimpulan, menggantung atau digantung. Akhirnya kan kesimpulannya berdasarkan fakta yang ada, yakni tidak ada publikasi. Padahal ini problem publik," tutur Busyro.
Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Oce Madril menilai, perusakan barang bukti penyidikan yang dilakukan Roland dan Harun merupakan tindak pidana.
"Dan motivasinya saya yakin ada informasi yang disembunyikan, tentu supaya tidak terungkap. Informasinya kalau itu berupa kejahatan korupsi, tentu pelanggarannya makin serius. Ada pihak-pihak yang merasa diuntungkan," tutur Oce.
Menurut Oce Madril, KPK bisa saja memperkarakan mereka karena menghalangi proses penyidikan. KPK bisa mengenakan pasal 21 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kepada Roland dan Harun.
"“Mereka bisa dikenakan tuduhan obstruction of justice," kata Oce Madril.
Pasal 21 UU Tidak Pidana Korusi (Tipikor) menyatakan, "Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta."
Senada, bekas pimpinan KPK Tumpak Hatorangan Panggabean menilai tindakan itu bisa digolongkan upaya menghalangi penyidikan. Apalagi, jika Pengawas Internal menemukan unsur kesengajaan atau niat jahat (mens-rea).
“Kalau memang dia punya niat, memang mens rea-nya ingin menghilangkan barang bukti sehingga barang bukti dirusak. Aku pikir sudah pidana itu,” kata bekas jaksa itu kepada KBR.
Ketua KPK Agus Rahardjo. (Foto: ANTARA)
Ketua KPK Agus Rahardjo tak menampik adanya sejumlah nama dalam buku catatan keuangan bersampul merah milik perusahaan Basuki Hariman tersebut.
"Nama itu kan catatan di buku ya. Ada singkatan, ada nama yang kemungkinan (sebutan) untuk banyak orang," kata Agus.
"Itu pasti ditanyakan ke pencatat, ini siapa, itu siapa, hari ini penyidik sudah tahu itu siapa. Sebab pasti kan ditanyakan ke yang mencatat, sekretarisnya Basuki Hariman itu. Pasti ditanyakan ke dia, apakah itu kode atau apa. Yang kamu maksud dengan nama ini siapa, yang ini siapa," imbuhnya.
Namun Agus tak bisa pengembangan penyidikan karena itu adalah kewenangan penyidik KPK.
"Kalau penyidik merasa itu bisa dikembangkan, cukup bukti permulaannya, itu pasti nanti diekspose, lalu gelar perkara, itu diputuskan itu naik atau tidak. Hari ini kami belum mendapat permintaan untuk mereka melakukan gelar perkara," kata dia lagi.
Pimpinan KPK mengklaim, seluruh barang bukti kasus korupsi Basuki Hariman masih lengkap disimpan.
"Kalaupun dirusak kami masih punya bukti itu. KPK mempunyai semua record-nya, itu saja yang saya tegaskan," kata Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif.
Bekas Pimpinan KPK Tumpak Hatorangan menyarankan perkara suap ini dikembangkan. Tak ada alasan bagi lembaga antirasuah itu mengesampingkan fakta bahwa duit Basuki Hariman mengalir ke sejumlah nama pejabat, selain bekas hakim MK.
"Kalau begitu, KPK harus menyidik kembali untuk perkara untuk orang ini (soal aliran dana)," tegas Tumpak.
Tim KBR