NASIONAL

Gagal Paham Soal HIV/AIDS, Pendidikan Anak Jadi Korban

Gagal Paham Soal HIV/AIDS, Pendidikan Anak Jadi Korban

KBR, Jakarta - Nasib tiga bocah dengan HIV positif di Desa Nainggolan, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara untuk bersekolah lagi, masih digantung. Kini ketiganya untuk sementara tak lagi mengenyam pendidikan di sekolah, melainkan mendapatkan kelas khusus di rumah sakit tempat mereka dirawat. Perkaranya, tiga anak yatim piatu berusia di bawah 12 tahun itu ditolak warga sekitar. Bahkan, mereka terancam diusir. Sebagian warga di Desa Nainggolan takut anaknya tertular jika satu sekolah dengan anak pengidap HIV positif.

Meski beroleh pendidikan di rumah sakit, perlakuan tersebut menurut Yayasan Pelita Ilmu--LSM yang fokus mengawal isu kesehatan dan pendidikan--termasuk salah satu bentuk diskriminasi. Wakil Ketua Yayasan Pelita Ilmu, Husein Habsyi mengungkapkan, semestinya tak ada alasan bagi pihak sekolah atau siapapun menghilangkan hak pendidikan anak dengan melarang ketiganya bersekolah.

"Tidak boleh, harus ada sekolah khusus bagi anak HIV itu tidak boleh itu diskirminasi baru kemudian dipisahkan  diruangan sekalipun itu juga diskriminasi baru. Pihak sekolah harusnya betul-betul paham bahwa bersekolah bersama-sama belajar, bersama-sama itu hal yang sangat biasa," kata Husen Habsyi saat dihubungi KBR, Kamis (25/10/2018).

Ia menjelaskan, aktivitas anak dengan HIV positif takkan membuat anak-anak lain di sekolah atau lingkungan itu tertular. Selain itu kata dia, anak dengan HIV positif itu tak layak menerima perlakuan tersebut.

"Si anak tidak tahu apa-apa kemudian diusir seperti itu ini diskriminasinya sangat luar biasa kami rasa. bukan soal  HIV nya saja tetapi juga dengan hak-hak anak untuk sekolah ini menjadi tidak bisa dia dapatkan."

Baca juga: Mendagri Tegus Bupati Samosir Karena Lalai Lindungi 3 Bocah Pengidap HIV

Kata Husen, berulangnya kasus diskriminasi terhadap anak pengidap HIV ini akibat minimnya pemahaman masyarakat mengenai HIV/AIDS. Ia mengklaim, lembaganya pernah menangani kasus serupa pada tahun lalu. Ia menambahkan, kejadian di Desa Nainggolan tersebut menunjukkan sosialisasi soal HIV/AIDS belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat.

Jurnalis KBR di Samosir melaporkan, upaya mediasi pemerintah desa dengan warga penolak telah berlangsung. Camat di desa itu mengklaim, kondisi warga sudah kondusif dan tak akan ada pengusiran. Namun soal berlanjut tidaknya kegiatan sekolah ketiga bocah itu, belum bisa dipastikan.


HIV/AIDS Tak Semudah Itu Menular

Kementerian Pendidikan menegaskan, mestinya pelarangan ini tak terjadi jika pemerintah daerah paham dan mampu memberikan penjelasan mengenai penularan HIV/AIDS. Dirjen Pembinaan Sekolah Dasar Kemendikbud, Khamim mengatakan bakal berkoordinasi dengan dinas setempat untuk mengurai kesalahpahaman para orangtua.

"Biar kami koordinasikan dengan dinas kesehatan biar mengadakan penyuluhan yang ada ini. Coba kami koordinasikan dengan dinas kabupaten/kota (Samosir, Sumut). Mestinya ini kalau sudah tersosialisasi harusnya tidak terjadi seperti yang ini (pelarangan sekolah)," kata Khamim kepada KBR, Kamis (25/10/2018).

Khamim juga memastikan, kementeriannya bakal menjamin hak pendidikan bagi ketiga bocah dengan HIV positif tersebut. Juru Bicara Kemendikbud Ari Santoso menambahkan, akses pendidikan bagi setiap anak dijamin dan diatur oleh undang-undang.

"Untuk anak sekolah itu selalu diprioritaskan, karena setiap anak punya hak untuk mendapatkan pendidikan, dan itu dilindungi undang-undang. Kalau SD itu otomatis di bawah kabupaten/kota," kata Ari.

Guna memperbaiki pemahaman warga di Kabupaten Samosir, Kementerian Kesehatan segera memerintahkan dinas kesehatan setempat melakukan penyuluhan ekstra mengenai HIV/AIDS. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes, Wiendra Waworuntu mengakui, aksi masyarakat menolak anak dengan HIV positiv itu semata lantaran kurangnya pengetahuan mengenai penyakit tersebut.

"Untuk meningkatkan pengetahuan itu bisa melalui media, bisa leaflat, bisa apa saja. Jadi sebenarnya peran dari tokoh masyarakat kita harusnya, mungkin penyuluhannya yang kurang ya di temen-temen," ungkap Wiendra saat dihubungi KBR, Kamis (25/10/2018).

"Tapi nanti kami coba lihat lagi karena kami sebenarnya punya dinas kesehatan di sana dan kami sudah berkomunikasi, bahwa oh mungkin solusinya kita lebih sosialisasi lagi. Artinya dalam hal pengetahuan, pengetahuan masyarakat," sambungnya lagi.

Baca juga:

Wiendra menjelaskan, seharusnya ketiga siswa tetap dibiarkan mengikuti pendidikan di sekolah seperti biasa. Kata Wiendram kekhawatiran masyarakat soal penularan HIV/Aids ini sebetulnya tak perlu. Karena penularan virus itu pun tak mudah.

"Jadi orang yang hidup dengan orang pengidap HIV itu tidak masalah, kalau tidak ada kontak sex dan lainnya. Kalau mereka paham orang dengan HIV itu tidak boleh didiskriminasikan atau distigma, sama saja dengan penyakit lain," jelasnya.

Selain mengupayakan dari pihak pemerintah, Wiendra juga meminta pelbagai komunitas HIV untuk turut mengawal dan memberikan perlindungan ke tiga bocah tersebut.

"Kami juga punya komunitas yang kita pengetahuan dan pendampingan kepada anak atau ibu penderita HIV, kami ada dan akan bantu mereka.”

Ia menambahkan, kementeriannya juga tengah membicarakan masalah ini dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Komnas HAM, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan pelbagai lembaga terkait lain.

"Kami sudah laporkan ke KPAI, Komisi Perlindungan Anak dan Komnas HAM juga. Jadi kami berupaya supaya Kementerian Pendidikan dan Sosial melihat sebagai permasalahan yang harus diselesaikan. Karena Kementerian kesehatan hanya bertugas untuk upaya ketersediaan obat dan perawatan medis, serta penyuluhan," tambah Wiendra.



Editor: Nurika Manan

  • pengidap HIV
  • HIV-AIDS
  • Kabupaten Samosir
  • pengusiran
  • pendidikan anak
  • Diskriminasi

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!