BERITA

Cerita Buruh Hamil di Industri Garmen

Cerita Buruh Hamil di Industri Garmen

KBR, Jakarta - Royani, buruh perempuan di salah satu perusahaan garmen di Kawasan Berikat Nasional (Cakung) berangkat kerja dengan perasaan tak keruan. Perkaranya, setiap dua hari sekali ia mesti menghadap bagian personalia PT Amos Indah Indonesia. Bukan karena rutinitas menjahit atau hasil kerja yang buruk, melainkan karena kehamilannya.

Kala itu usia kandungannya delapan bulan. Ia mondar-mandir ke ruang personalia untuk bicara masalah cuti. Manajemen tak mengizinkan Royani ambil cuti melahirkan tiga bulan. Kalau mau dapat rehat lahiran, ia harus bersedia mengundurkan diri.

"Dia bilang, ini peraturan di sini. tapi saya tidak mau," cerita Royani kepada KBR.

Saban hari, perempuan usia kepala tiga itu mesti merampungkan 60 buah jahitan per 30 menit. Mudahnya begini, satu jahitan harus selesai dalam 2 menit. Itu artinya, dalam sehari atau delapan jam kerja ia harus setor 960 buah jahitan. Yang bila tak kelar, maka lembur tanpa bayaran demi mengejar target pun mau tak mau harus dilakoni. Hal semacam itu mereka sebut “skorsing”.

"Istirahat, habis makan, "ngepot", kerja lagi, mengejar target. Mau pulang pun, jam pulang tidak boleh pulang, disuruh "ngepot" lagi. Jam 4 sampai jam 5 tidak dibayar, katanya untuk bayar utang. Istirahat satu jam. (Istirahat bisa efektif?) Boro-boro, makan saja keselek-keselek mikirin target."

Celakanya, saat hamil pun, berlaku demikian. Alhasil, target harian itu disiasatinya dengan memangkas waktu istirahat. Jadi, satu jam rehat yang didapat Royani itu nyaris tak selo. Separuh dari waktu digunakan makan siang, sebelum akhirnya kembali menghadap meja jahit untuk mengejar target.

Dalam sebuah ruang produksi seluas hampir 50 meter persegi, ada ratusan meja-kursi sepaket dengan mesin jahit. Letaknya berjajar, disusun berderet ke belakang juga ke samping. Satu line bisa sampai 50 buruh. Dan ada belasan bahkan puluhan line. Seribuan buruh perempuan bekerja dengan alat masing-masing. Royani duduk di salah satu kursi di bagian menjahit.

Perkara target yang mendera buruh garmen, bukan cuma soal banyaknya jahitan yang dihasilkan. Proses yang bersinggungan dengan tajamnya jarum dan deru mesin ini menuntut ketelitian lantaran rumitnya pekerjaan.

Baca juga:

    <li><b><a href="https://kbr.id/nasional/04-2018/aksi_may_day__ini_tuntutan_solidaritas_perempuan/95915">Aksi May Day, Ini Tuntutan Buruh Perempuan</a><br>
    
    <li><b><a href="https://kbr.id/berita/03-2018/hari_perempuan_internasional__narasumber_dan_wartawan_perempuan_minim/95323.html">Narasumber dan Jurnalis Perempuan, Minim</a>&nbsp;</b><br>
    

Setidak-tidaknya, satu kemeja flanel yang biasa kita pakai itu melibatkan 48 orang dalam pengerjaannya. Royani menjelaskan, reniknya setiap bagian. Ada beberapa bagian kemeja yang harus ia jahit dengan jarum dua atau double needle. Belum lagi jahitan pada kerah, saku dan lengan.

Temuan lain di perusahaan yang sama, seorang buruh perempuan membebat perut yang tengah hamil lima bulan, agar tak kentara. Ia takut kehamilan itu berbuah pemutusan kontrak kerja. Meski, Undang-Undang Ketenagakerjaan sudah mengatur mulai dari hak cuti melahirkan, jaminan untuk tetap bekerja selama hamil hingga perlindungan keselamatan.

Tapi, kondisi semacam itu lekas disangkal Kepala personalia PT Amos Indah Indonesia, Engkus Suhendar. Ia mengklaim, manajemen perusahaan sudah berupaya menjalankan perintah undang-undang. Termasuk soal cuti melahirkan.

"Di Amos, cuti hamil sudah berjalan. Jadi bulan ke-7,5 kita mengajukan hak cuti mereka. Jadi isu-isu itu tidak benar. (Soal desakan mereka mengundurkan diri?) Enggak ada. Kalau keluar pun harus sesuai dengan perjanjian kerja. Tidak ada kalau masih ada kontrak kemudian diputus, tidak ada."

Kajian yang dirilis Juni 2018 oleh Komite Nasional Perempuan Mahardhika--organisasi advokasi hak-hak perempuan--menemukan, modus pemutusan kerja saat hamil lazim terjadi lantaran perusahaan tak mau memberi fasilitas lahiran. Soal lain, cuti tiga bulan buruh yang melahirkan dianggap menghambat target produksi. Karena sebagian besar buruh garmen berstatus kontrak, maka enteng saja bagi perusahaan melakukan pemecatan. 


Ikhtiar Menggenapi Hak Buruh Perempuan

Diburu target harian, sudah jadi makanan rutin para buruh garmen. Di kawasan berikat Tangerang, saya menjumpai ritme serupa.

"Maaf, buru-buru, ini istirahat cuma setengah jam. Saya masih lembur, enggak dulu ya," jawab seorang perempuan, ketika saya hendak minta waktu wawancara.

Di jalanan Siliwangi, Jatiuwung, Tangerang sore jelang mahrib, orang berseragam lalu lalang bergegas, berhamburan keluar pabrik. Menghampiri gerobak makanan para penjaja. Beberapa tampak sesegera mungkin menandaskan bakso di mangkoknya.

Yang berbeda, kecemasan yang melilit Royani tak terjadi pada buruh perempuan di sana. Misalnya pada Eliyanti. Ia mendaku tak pernah takut hamil. Sejak 18 tahun silam memutuskan nyemplung jadi buruh garmen.

Saya temui di tengah jam istirahatnya, dengan sedikit terburu, ia menjawab lugas saat ditanya perkara kehamilannya. Urusan kerja dan melahirkan, baginya yang ada lancar belaka.

"Lah, saya sudah tiga kali hamil, bekerja sejak tahun 2000. Kalau sakit ya izin, lalu lahiran juga ditanggung perusahaan. Dan dapat cuti tiga bulan," aku Eliyanti di tengah rehatnya menjahit.

Eliyanti bekerja sebagai operator jahit (sewing) di PT Pan Brothers--salah satu pemain garmen terbesar di Indonesia. Produknya juga memasok merk-merk kesohor dunia. Sebut saja Uniqlo, The North Face, Lacoste atau juga Ralph Lauren.

Buruh lain, Risma mengungkapkan, ibu hamil di perusahaan ini beroleh fasilitas cek kesehatan sebulan sekali. Selain itu, pengawas juga melarang buruh hamil bekerja lembur. Keistimewaan lain, beban kerja dikurangi.

"Lalu jam kerja itu dia enggak lembur, cuma delapan jam kerja. Dan itupun dikasih kerjaan yang gampang-gampang, yang paling gampang. Supervisor juga nggak mau ambil risiko juga kan, kalau terjadi apa-apa sama kehamilannya. Kalau di-sewing itu kan paling nandain (menandai pola) doing," tutur Risma yang delapan tahun bekerja di bagian jahit.

Nasib mujur itu terjadi lantaran perusahaan menyadari buruh perempuan menjadi penggerak utama industri ini. Sehingga pelbagai cara dilakukan untuk mempertahankan para pekerja. Salah satunya, menurut Deputy General Manager HRD, Denny Henry Samboh, dengan mematuhi pemenuhan hak-hak pekerja perempuan yang dimuat Undang-Undang Ketenagakerjaan.

"Memang orang berpikir, buat apa susah-susah sampai ada pengadaan pembalut. Kalau dikali 4.000 (karyawan) saja sudah berapa dananya? Buat kami, setelah sudah biasa melakukan itu, artinya kan ada alokasi bajet yang diset-up untuk itu," jelas Denny.

Pan Brothers bukan saja memberikan cuti melahirkan tiga bulan, melainkan juga termasuk cuti haid, bantuan melahirkan, ruang laktasi dan perlakukan khusus bagi buruh hamil—seperti kursi rehat bagi ibu hamil.

Bahkan sejak 2017 lalu, perusahaan ini jadi satu-satunya perusahaan garmen yang mulai mengikuti sertifikasi EDGE. Kalau sudah melewati ini, maka sebuah perusahaan memenuhi syarat penilaian standar sertifikasi bisnis untuk kesetaraan gender.

"Berangkat dari ini industri padat karya, sumber daya manusia yang banyak, kebanyakan perempuan, manajemen menyikapi ini supaya bagaimana mereka bisa stay. Karena mencari pekerja nggak gampang. Karena kalau gaji, boleh dicek, perusahaan di kawasan ini juga banyak manufaktur. Kalau hanya gaji tidak cukup untuk buat mereka stay, loyal, buat mereka semangat kerja. Apa lagi? Yasudah daripada investasi susah-susah, kami ikuti saja regulasi, undang-undang," jelas Denny kepada KBR.

Baca juga:

    <li><b><a href="https://kbr.id/nasional/04-2018/ribuan_perusahaan_belum_penuhi_hak_pekerja_perempuan/95800.html">Ribuan Perusahaan Belum Penuhi Hak Pekerja Perempuan</a>&nbsp;<br>
    
    <li><b><a href="https://kbr.id/nasional/12-2017/buruh_garmen_di_kbn_cakung_takut_hamil/94061.html">Buruh Garmen di KBN Cakung Takut Hamil</a>&nbsp;</b><br>
    

Timnya, jauh-jauh hari menyiapkan tenaga pengganti bagi buruh yang ambil cuti melahirkan. Bahkan bila perlu, ada penggantian pekerjaan, juga rotasi pekerja. Agar kebijakan ini bisa berjalan lancar, menurutnya setiap buruh di pabriknya harus mampu dan wajib menguasai seluruh bagian kerja di industri garmen. Sehingga saat ada buruh hamil ambil cuti, itu bukan jadi perkara besar sebab siapa saja bisa menggantikan tugas.

"Mereka yang hamil itu kan di-switch, ke pekerjaan yang lebih mudah. Karena di sini mereka sudah dibekali untuk bisa semua. Jadi bisa saling cover, nggak masalah ketika di-switch pun," sambung Denny.

Sialnya, tak semua perusahaan punya kesadaran menggenapi hak-hak buruh perempuan. Rilis pemerintah pada 2018 menyebutkan, dari total 3.000an perusahaan, baru 150an di antaranya yang patuh. Data itu dikumpulkan dari rekap 2017.

Catatan pemerintah itu sejalan dengan temuan Perempuan Mahardhika. Dalam kajian tentang pengabaian hak maternitas buruh garmen di KBN Cakung, organisasi tersebut menemukan separuh dari buruh perempuan di area industri kelas kakap ini, takut hamil.

Tim kajian mewawancarai lebih dari 100 buruh perempuan dari 45 perusahaan. Dari situ, terungkap tiga sebab mereka takut hamil. Antara lain khawatir keguguran, cemas kehilangan pekerjaan, dan takut penghasilannya berkurang.

Kerja ribuan buruh perempuan menggerakkan industri garmen nyatanya tak sepadan dengan risiko dan kesulitan di tengahnya. Ironi, sebab industri ini jadi penyumbang tenaga kerja terbesar setelah industri makanan. Jumlahnya, tahun lalu saja menurut Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai lebih dari 1,5 juta pekerja. Meliputi skala kecil dan mikro, sedang hingga besar.

Bila disebutkan bahwa 83 persen buruh garmen itu perempuan, maka kita bisa bayangkan berapa banyak yang kemungkinan dapat perlakuan seperti Royani. Padahal, persentase jumlah yang jauh lebih tinggi itu menggambarkan buruh perempuan lah yang jadi penggerak utama industri garmen.

Deputy General Manager HRD PT Pan Brothers, Henry Samboh mengaku selain aturan dan pengawasan pemerintah, peran pemilik label pakaian sebagai buyer berpengaruh besar mendorong keberpihakan perusahaan terhadap buruh perempuan.

Hal tersebut pula yang mendorong Sekretaris Komite Nasional Perempuan Mahardhika Mutiara Ika Pratiwi berencana menyerahkan hasil temuan lembaganya ke para pemilik label. Dengan begitu, ia berharap, pemilik label yang memebeli produk di KBN Cakung mampu mengintervensi pabrik-pabrik garmen untuk memenuhi hak maternitas buruh hamil.

"Dalam setiap brand atau buyer, itu pasti mereka punya kode etik. Tetapi saya yakin, data-data sedetail ini, mereka belum tahu, sehingga ada kepentingan bagi kami, Perempuan Mahardika, bisa mendialog-sosialkan data-data ini, bahkan sampai di tingkatan buyer di internasional," pungkas Ika.

  • buruh perempuan
  • hamil
  • industri garmen

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!