BERITA

Uji Materi UU MD3, Saksi: Pembentukan Pansus Angket KPK Tak Sah

"Panitia Khusus Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi, seperti buah dari pohon beracun"

Uji Materi UU MD3, Saksi: Pembentukan Pansus Angket KPK Tak Sah
Ilustrasi (foto: KBR/Yudha S.)

KBR, Jakarta- Eks Hakim Mahkamah Konstitusi Maruara Siahaan menyebut keberadaan Panitia Khusus Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi, seperti buah dari pohon beracun. Dia mengatakan itu saat menjadi  saksi ahli dari pemerintah dalam sidang lanjutan uji materi Undang-undang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) di Gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu (25/10).

Menurut Maruara, Pansus Angket DPR terhadap KPK adalah buah dari pohon beracun karena keberadaannya tidak sah. Sebab, pada proses pembentukannya, seluruh fraksi di DPR tidak satu suara. Ini yang dia sebut sebagai pohon beracun.

Kata dia, ketentuan pasal 201 ayat (3) UU MD3 menyebutkan, semua fraksi harus terwakili dalam pansus hak angket. Sedangkan ada tiga fraksi yang menolak yakni Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Keadilan Sosial.

Kendati begitu, Pansus Angket DPR terhadap KPK tetap muncul. Karena itu, menurut Maruara, ada masalah etika mengenai keberadaan Pansus itu yang sarat dengan konflik kepentingan. Sebab, Rektor Universitas Kristen Indonesia itu mengatakan, orang-orang yang berada di dalam Pansus itu diduga terlibat dalam kasus yang tengah ditangani KPK, yaitu korupsi Kartu Tanda Penduduk Elektronik.

"Kalau sedang diperiksa atau dicurigai atau diduga melakukan tindak pidana, tapi karena kita punya kekuasaan untuk memeriksa kembali orang yang memeriksa kita, itu masalah etik. Itulah conflict of interest. Jadi dia menggunakan kekuasaannya untuk membela kepentingnannya yang sedang diuji orang lain," kata Maruara menegaskan, seusai sidang.

Sebagai saksi ahli presiden, Maruara mengatakan, keterangannya dalam sidang uji materi UU MD3 pasal 7 ayat 3 itu adalah wujud dukungan pemerintah terhadap penguatan KPK.

Judicial Review UU MD3 di MK ini terjadi atas gugatan dari empat pihak. Mereka adalah Forum Kajian Hukum dan Konstitusi, Direktur Eksekutif LIRA Institute, Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Busyro Muqoddas beserta Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia.

Dengan uji materi ini, mereka meminta Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang diketuai Arief Hidayat, memberikan tafsir ulang pada UU MD3 pasal 7 ayat 3 yang mengatur soal hak angket. Menurut mereka, pasal tersebut tidak cukup jelas. Karena, pasal tersebut hanya menyebutkan hak angket bisa ditujukan pada lembaga pemerintah, tanpa menjelaskan siapa saja yang dimaksud 'lembaga pemerintah'.

Mereka berpandangan, KPK bukanlah lembaga pemerintah, tetapi lembaga negara yang independen. Karena itu, angket DPR terhadap KPK tidak tepat sasaran.

Dalam sidang uji materi tadi, saksi ahli KPK Refly Harun berpendapat, hak angket DPR tidak tepat ditujukan pada KPK. Dengan pendekatan batas-batas kewenangan konstitusional dan filosofi penggunaan hak angket, Refly mengatakan, hak angket itu tidak ditujukan pada lembaga-lembaga independen seperti KPK.

"Angket (harusnya) ditujukan kepada pejabat-pejabat di lingkup eksekutif, mulai dari presiden sampai lembaga-lembaga nonkementerian," kata Refly.

Dia menjelaskan, sejarah munculnya hak angket adalah perseteruan Presiden Abdurahman Wahid dengan DPR. Jadi, dia melanjutkan, sangat jelas bahwa angket itu mengarah kepada presiden atau lembaga eksekutif.

"Jadi dari segi filosofi dan implementasi, hak angket ini sebenarnya tidak ditujukan ke lembaga selain lembaga kepresidenan," katanya.

Sidang hari ini hanya beragenda mendengarkan keterangan saksi ahli. Sidang uji materi ini dilanjutkan pada 2 November 2017 di Gedung MK, dengan agenda pembacaan kesimpulan.

Sementarra  itu Ahli tata negara Universitas Parahyangan Asep Warlan menilai kebanyakan ahli yang bersaksi dalam sidang uji materi  UU MD3 meragukan keabsahan pembentukan Pansus Angket KPK. Asep mengatakan, kebanyakan kesaksian para ahli yang didatangkan pemohon dan pihak terkait, kurang lebih menyoroti bahwa hak melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang, seharusnya ditujukan kepada presiden, bukan lembaga seperti KPK, kejaksaan, maupun kepolisian.

Asep menilai, kesaksian para ahli tersebut sudah cukup meyakinkan bahwa pembentukan pansus angket layak diragukan.

"Silakan MK memutus apapun. Tetapi kalau kita lihat di Undang-Undang Dasar, angket itu sebetulnya ditujukan kepada presiden, kebijakan presiden. Kalau MK merasa itu jadi konsisten dengan sejarah terbentuknya angket itu, dan bagaimana angket itu dijalankan oleh DPR, maka tradisi, norma, dan filosofinya, harusnya dikabulkan. Tetapi saya tidak mau berspekulasi tentang pendapat MK, tetapi sebaiknya MK pada posisi seperti itu," kata Asep kepada KBR, Rabu (25/10/2017).

Asep mengatakan, hak angket memang bisa digunakan sebagai  mekanisme "check and balances" dalam pemerintahan. Namun, kata dia, sejarah angket yang ada dalam ilmu tata negara, selalu ditujukan kepada presiden.

Asep berujar, dia menghormati semua putusan MK tentang uji materi UU MD3. Menurutnya, MK bisa segera memutuskan permohonan uji materi sebut, apabila merasa keterangan dari para saksi sudah cukup. Asep berkata, dia sangat menantikan keputusan MK tersebut, karena apabila gugatan tersebut ditolak, DPR akan bisa dengan mudah memanggil lembaga negara untuk dimintai keterangan melalui angket, bukan melalui mekanisme rapat kerja atau rapat dengar pendapat dengan komisi mitra di DPR.

Editor: Rony Sitanggang

  • Pansus Angket KPK
  • uji materi UU MD3

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!