HEADLINE

Jokowi Didesak Berikan Pengelolaan Hutan ke Masyarakat Adat Papua

Jokowi Didesak Berikan Pengelolaan Hutan ke Masyarakat Adat Papua

KBR, Jakarta- Program penyerahan penetapan sembilan hutan adat di Indonesia, yang dilakukan Presiden Joko Widodo mendapat kritikan. Itu karena, dari sembilan hutan adat yang diserahkan, wilayah Papua tidak masuk di dalamnya.

Direktur Yayasan Paradisea, Esau Yaung mengatakan, keterancaman terhadap hutan di wilayah Papua khususnya Papua Barat, sama tingginya dengan wilayah lain seperti Kalimantan dan Sumatra. Esau juga menyebutkan, banyak komunitas-komunitas adat di Papua yang sudah mendiami wilayah hutan yang berfungsi lindung di wilayah Papua. Sehingga baik deforestasi atau degradasi, adalah sebuah ancaman bagi masyarakat adat yang ada di Papua Barat.

"Ironis kemarin pemerintah mencanangkan pengakuan terhadap masyarakat pengelola hutan dan lahan, kami kecewa Papua dan Papua Barat belum termasuk. Ini kenapa? Oleh sebab itu makanya teman-teman kami undang ke sini," katanya saat ditemui KBR, Kamis (26/10/17)

Esau menambahkan, ke depan harus ada kemauan politik baik pemerintah pusat atau daerah untuk menjembatani hak-hak masyarakat adat sekitar hutan melalui optimalisasi hutan adat dan perhutanan sosial di Papua.

"Untuk itu kita berharap, ada perhatian juga terkait masyarakat adat di Papua yang selama ini berada di sekitar hutan," jelasnya.

Sebelumnya diketahui, Presiden Jokowi menetapkan sembilan hutan adat untuk dikelola masyarakat adat. Sembilan wilayah yang ditetapkan diantaranya, Jambi, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur. Luas kawasan ini mencapai lebih dari 3000 hektare dan melingkupi 3000an keluarga.

Jokowi juga menyerahkan hak pengelolaan kepada sembilan pengelola hutan desa. Lokasinya berada di Sumatera Barat, Riau, Bengkulu, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengah. Total luas wilayahnya mencapai lebih dari 80 ribu hektare yang dihuni hampir 5 ribu keluarga.

Perhutanan Sosial

Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK Hadi Daryono mengklaim realisasi perhutanan sosial saat ini sudah tinggi. Hadi juga membantah pemerintah memangkas target perhutanan sosial dari 12,7 juta hektare menjadi hanya 5 juta hektare. Dia berkata, revisi itu hanya pada alokasi perhutanan sosial untuk masyatakat. Hadi juga mengklaim capaian satu juta hektare perhutanan sosial sudah tinggi, karena pada tahun-tahun sebelumnya hanya tercapai 400 ribu hektare.

"Gede itu realisasinya. Jadi setelah dua tahun usia kabinet Pak Jokowi, diputuskan percepatan perhutanan sosial, diterbitkanlah peraturan menteri, P 83 2016 tentang Perhutanan Sosial, pada Oktober. Sejak Desember 2016, 650 ribu hektare, lebih cepat yang tujuh tahun 400 ribu hektare. Jadi kalau ditotal kan 1 juta hektare. Dalam empat tahun kan bisa 4 juta hektare, seperti yang dikatakan Bu Menteri. Bukan diturunkan targetnya, itu pada salah," kata Hadi kepada KBR, Rabu (25/10/2017).

Hadi mengatakan, kementeriannya meyakini setiap tahun akan ada lahan perhutanan sosial baru setidaknya 1 juta hektare. Sehingga, kata dia, dalam masa lima tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, alokasi perhutanan sosial mencapai 5 juta hektare. Meski begitu, menurut Hadi, capaian itu akan terus bertambah, sesuai dengan kemampuan pemerintah.

Hadi juga membantah tudingan pemerintah tak serius dengan program perhutanan sosial tersebut. Dia berkata, Jokowi pada 2016 lalu sempat memberikan lebih dari 9.000 hektare lahan untuk dikelola masyarakat melalui program perhutanan sosial di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Saat itu, pemerintah mengalihkan pengelolaan lahan yang sebelumnya dipegang sebuah perusahaan kertas kepada masyarakat. Kata dia, di provinsi tersebut, terdapat 12,6 juta hektare hutan, yang 1,6 juta hektare di antaranya perhutanan sosial.

Tapi kata Ketua Serikat Petani Indonesia, Zubaidah tidak tercapainya target  hutan sosial   memperpanjang kesulitan petani di beberapa daerah seperti di Sumatra. Zubaidah mengatkan jika kepastian hukum tidak kunjung diterbitkan maka akan banyak kesalah pahaman penggunaan lahan antara petani dan pihak lain.

“Ya kalau umpamanya dia (menteri KLHK) diperlambat (Tidak mencapai target) itu bagi petani sangat sengsara loh, karena tidak jelas kepastian hukumnya, dan seperti apa nanti saat kita kelola mereka bilang ini masih kawasan hutan, ketika kita memohon untuk memakai lahan ya ribet sekali gitu,” ujar Zubaidah, saat dihubungi KBR, Rabu (25/10/2017).

Ia juga mengatakan melesetnya target Kementerian LHK dalam pemberdayaan lahan kehutanan sosial  bagi petani dikarenakan pemerintah tidak mau bekerjasama dengan para petani. Padahal menurutnya jika ada komunikasi  maka proses tersebut akan lebih cepat, karena warga asli lah yang akan tahu letak dan bagaimana keadaan hutan-hutan tersebut.

“Coba kalau mau bekerjasama kita bisa ko, umpamanya di Sumatera Utara, ini masih kawasan hutan yang dikuasai masyarakat, petani sudah berapa tahun ini bahkan sudah 20 tahunan ini. Kalau mereka mau mencapai target ya mari bekerjasama, kita siap  menunjukan di mana lokasinya seperti apa, tapi kita bekerja sama, misal dari KLHKnya meminta petani sediakan ini itu sebagai syarat akan kami lakukan, bekerjasamalah dengan SPI kan di pusat juga ada untuk koordinasi, pasti SPI pusat akan merekomendasikan SPI provinsikan,” ujarnya.

Ia juga menambahkan untuk proses percepatan tersebut KLHK seharusnya membuat tim dengan gabungan masyarakat sekitar atau petani yang dapat membantu memetakan lokasi di sana. Selain itu ia juga meminta agar mekanisme yang dilalui dalam pemanfaatan hutan sosial dibuat sederhana dan mampu dipahami masyarakat, menurutnya selama ini banyak aturan yang terlalu rumit yang tidak dipahami masyarakat namun pemerintah tidak menjelaskan secara rinci, sehingga timbul banyak kesalah pahaman.

Sementara itu Kepala Departemen Kajian, Pembelaan, dan Hukum Lingkungan Walhi Zenzi Suhadi menilai revisi target lahan perhutanan sosial dari 12,7 juta hektare menjadi 5 juta hektare, menunjukkan kinerja pemerintah yang tak singkron. Zenzi mengatakan, sebelum menetapkan target perhutanan sosial, seharusnya pemerintah telah melakukan kajian yang menyeluruh, sehingga semua datanya valid. Namun kini saat target tersebut direvisi, kata Zenzi, berarti pemerintah tak hati-hati dalam menetapkan target dan berusaha membohongi publik.

"Itu agak aneh, karena artinya sesungguhnya pemerintah dalam mengambil keputusan tertentu tidak singkron atau tidak serius antara penempatan target dengan realisasi kerja. Ini bisa dilihat dari target 12 juta, tetapi anggaran untuk proses pemetaan dan pendaftaran sangat kecil. Artinya, kalau diturunkan, itu bukan turunkan target, tetapi kebohongan terhadap publik, terhadap rakyat Indonesia," kata Zenzi kepada KBR, Rabu (25/10/2017).

Zenzi mengatakan, nilai anggaran perhutanan sosial yang terus menurun sejak 2015, sebetulnya menjadi tanda pemerintah tak serius mengerjakan program perhutanan sosial. Menurut Zenzi, penurunan anggaran dari  Rp 308,12 miliar pada 2015, menurun ke Rp 249,58 pada 2016, dan Rp165,17 miliar pada untuk 2017, juga menunjukkan pemangkasan target juga telah direncanakan pemerintah sendiri.

Zenzi berujar, masyarakat masih sangat sulit mengajukan perhutanan sosial. Dia mencontohkannya dengan masyarakat petani karet di Dusun Cawang Gumilir, Desa Bumi Makmur, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan. Masyarakat tersebut tergusur dan akhirnya berkonflik dengan PT. Musi Hutan Persada (PT. MHP). Kata Zenzi, sejak Maret 2017 lalu, Walhi mulai mengajukan permohonan perhutanan sosial, tetapi hingga kini belum ada kajian dari KLHK.

Editor: Rony Sitanggang

  • perhutanan sosial
  • hutan adat

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!