BERITA

Fraksi PKS Tolak Anggaran 601 M untuk Perencanaan Gedung Baru DPR

"Fraksi PKS meminta anggaran digunakan untuk perbaikan "

Fraksi PKS  Tolak  Anggaran 601 M untuk Perencanaan  Gedung Baru DPR
Ilustrasi: Gedung DPR

KBR, Jakarta- Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fraksi PKS, Al Muzzammil Yusuf mengatakan sikap fraksi masih sama  menolak  pembangunan gedung baru. Dia mengatakan  lebih setuju untuk diadakan perbaikan gedung dibanding membuat gedung baru yang memakan anggaran besar.

“Kalau membuat gedung baru besar sekali, kalau perbaikan dibutuhkan, sekarang paling minim saja kebutuhan yang mendesak adalah perbaikan toilet yang paling mendesak. Kalau untuk membangun saya kira prioritasnya mungkin lebih dibutuhkan untuk yang lain,” ujar Yusuf saat dihubungi KBR, Kamis (26/10/2017).

Perbaikan toilet di gedung DPR memang dianggap sudah diperlukan menurut Yusuf, toilet yang ada di setiap lantai hanya berjumlah 4 ruang dan biasa digunakan ratusan orang. Menurutnya dibanding dengan membangun gedung baru, alangkah bijaknya untuk memperbaiki kebutuhan toilet saja.

“Kebutuhan toilet, jadi ini perbaikan, perbaikan tidak sebesar pembuatan gedung baru. Tidak usah muluk-muluk perbaikan toilet besar saja lah bisa dipakai 40 orang anggota dan ratusan staf, itu saja dulu.” Ujarnya.

Yusuf  menegaskan bahwa Fraksinya masih bersikap sama untuk permasalah pembangunan tersebut, seharusnya anggota lain juga dapat memberikan prioritas utama dan itu bukan pembuatan gedung.

Baca: DPR Anggarkan 601 M untuk Perencanaan Gedung Baru

Sementara itu  Direktur  Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam mengatakan anggaran dana sebesar Rp. 601 Milyar untuk perencanaan pembangunan gedung dan alun-alun demokrasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak rasional. Pasalnya anggaran untuk perencanaan seharusnya tidak sebesar itu.

Kata dia,   anggaran perencanaan pada 2010 yang digunakan hanya 14 miliar untuk proses perencanaan. Dia mengatakan anggaran tersebut patut dipertanyakan akan digunakan sebagai apa.

“Jadi kalau Rp. 600 miliar hanya untuk perencanaan ini tidak masuk akal, dan ini patut dipertanyakan merencanakan apa sampai Rp. 600 miliar? Kecuali itu termasuk untuk konstruksi, ya kalau dengan konstruksinya itu masuk akal tapi belum tentu wajar begitulah,” ujar Roy saat dihubungi KBR, Kamis (10/26/2017).

Ia mengatakan pemerintah patut mempertanyakan anggaran tersebut, mengapa DPR bisa mengajukan anggaran besar hanya untuk penganggaran. Selain itu Roy juga menjelaskan proses perencanaan yang harus dilakukan dalam pembuatan meliputi pembuatan gambar dan juga pembiayaan konstruksi, sehingga tidak masuk akal jika memerlukan biaya sebesar itu.

“Perencanaan itu kan bagaimana gedung akan dibuat, konstruksi dan bagunan seperti apa yang ingin dihasilkan maka hasilnya adalah gambar. Jadi perencanaan itu meliputi pembuatan gedung dan biaya yang dibutuhkan,” ujar Roy.

Roy juga mengatakan sebelumnya IBC pernah mengkaji alokasi dana yang terlalu besar untuk pembangunan gedung DPR, ia juga mengatakan IBC sempat mempertanyakan tentang anggaran tersebut namun akhirnya p pemerintah tetap menyetujui dan tidak mempertimbangkan adanya kajian anggaran.

Kendati pemerintah menyetujui alokasi dana tersebut, Roy mengatakan harus ada pemantauan  agar anggaran tepat sasaran dan tidak terindikasi korupsi.

“Artinya harus ada pengawasan, kalau kemudian kenyataannya 600 miliar hanya untuk perencanaan ini harus disikapi bahwa bisa jadi ada potensi penggelembungan anggaran.” Ujarnya.

Kata  Roy, biaya untuk perencanaan alun-alun demokrasi yang mencapai 200 miliar juga tidak masuk akal. Menurutnya jika hanya akan membuat alun-alun biasa maka biaya pembuatan blok saja tidak akan sampai sebesar itu. Tapi jika alun-alun yang dimaksud lebih megah maka mungkin saja anggaran besar bisa dikeluarkan.

Editor: Rony Sitanggang

  • gedung baru DPR
  • Al Muzzammil Yusuf
  • Roy Salam

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!