BERITA

Putu Oka Sukanta: Reformasi Tidak Mengubah Watak Penguasa

"Menaruh harapan pada Presiden terpilih untuk memperhatikan kasus pelanggaran HAM Peristiwa 1965."

Irvan Imamsyah

Putu Oka Sukanta: Reformasi Tidak Mengubah Watak Penguasa
Putu Oka Sukanta, PKI, tapol, Peristiwa 1965

KBR, Jakarta - Bulan ini, genap 60 tahun Putu Oka Sukanta berkarya. Novel, kumpulan cerpen, sampai film dokumenter merupakan karya yang dihasilkannya. Semuanya dibuat dengan susah payah. Putu Oka bahkan sempat hanya mengandalkan langit dan matahari untuk membuat puisi-puisinya. Itu terjadi kala ia mendekam dipenjara karena menjadi anggota Lekra, organisasi kebudayaan yang dicap PKI oleh pemerintah Orde Baru. Irvan Imamsyah mengorek perjalanan sang maestro Putu Oka Sukanta dalam sarapan bersama


Saat ini apakah masih hobi bermain di kebun obat atau bagaimana?


“Kalau ditanyakan apa yang saya kerjakan sekarang ini kata kuncinya cuma satu, ikut berada di kalangan yang termarjinalkan oleh sistem. Misalnya saya berada di kegiatan program pengobatan tradisional, saya bekerja di kalangan teman-teman yang positif HIV. Kemudian sebagai penulis saya menulis sejak umur 15 tahun, tema saya tidak pernah berpindah yaitu konflik sosial yang ada di mata saya yang ada dalam kehidupan saya. Jadi ketika saya mulai menulis tahun 1955-956 saya langsung menulis tentang bagaimana petani miskin, nelayan yang hidupnya senin-kamis, penari yang hebat di panggung tapi di luar panggung dia menumbuk padi.” 


Tapi Anda cukup produktif ya untuk berkarya ya?


“Iya sampai sekarang saya sudah menerbitkan enam novel, enam kumpulan cerita pendek, enam kumpulan puisi, beberapa buku kesehatan, enam film dokumenter tentang 65 dan dua film tentang kesehatan sejak saya dikeluarkan dari penjara tahun 1976. Saya dikeluarkan tahun 1976 dari penjara kecil ke penjara nusantara, penjaranya berubah dari Salemba menjadi seluruh Indonesia ini menjadi penjara, RT dan presiden adalah intel yang mengikuti saya. Karena menulis ini kebutuhan saya, bukan hobi, menulis adalah alat untuk menyampaikan pikiran dan ketertindasan saya kepada dunia. Di Indonesia dilarang dia terbit di luar negeri, saya selalu memanfaatkan yang ada dari otoritarian Soeharto sehingga resikonya pada tahun 1990 digebukin lagi, ditahan 10 hari di Kramat 5 ya resiko.” 


Kalau kita bicara soal 30 September, kita ingat peristiwa tahun 1965. Kondisi sekarang apakah masih sama dengan era Soeharto?


“Ada perubahan-perubahan yang secara kehidupan sehari-hari berubah. Karena perundangan atau peraturan yang diskriminatif tidak pernah dicabut. Saya kira masyarakat tahu Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 32 Tahun 1981 sampai sekarang tidak dicabut tetapi kewajiban dibubuhkannya di KTP tahun 1995 dia sudah cabut. Bekas tahanan yang berumur 60 tahun tidak mendapat KTP seumur hidup baru 3-4 tahun yang lalu dicabut sehingga sekarang saya punya KTP seumur hidup.” 


Ini setengah-setengah ya?


“Bukan setengah-setengah. Saya melihat ini tetap disimpan sebagai bom waktu yang kapan-kapan dia bisa gunakan untuk melakukan penindasan kembali. Saya sudah berteriak-teriak sampai kering kerongkongan supaya itu dicabut tapi tidak ada.” 


Anda adalah seorang penyair, selalu menulis. Anda juga dipenjara, berpindah-pindah dari Salemba, Tangerang dan sebagainya. Beda tidak suasana menulis di penjara dengan saat keluar? 


“Saya hanya bisa menulis di langit dengan awan dan sinar matahari karena tidak boleh punya kertas. Begitu kita diketahui punya kertas dan pensil kita akan dapat hukuman tambahan lagi ya diinjak-injak, ditendang, dimasukkan ke sel khusus dan sebagainya. Tidak bisa menulis di penjara, saya menulis sesudah keluar penjara dengan pengalaman-pengalaman batin saya selama di penjara.” 


Rekaman-rekaman yang masih diingat? 


“Rekaman-rekaman yang masih saya ingat dan itu siksaan bukan main ketika ingin menulis puisi. Saya berulang-ulang mencoba mengucapkan, komat-kamit bait-bait puisi. Itu hilang karena kondisi kesehatan juga tidak optimal, tidak bisa menulis di penjara.” 


Anda menulis sejak usia 15 tahun lalu bergabung ke Lekra. Bisa diceritakan seperti apa wadah Lekra ini?


“Itu pertanyaan yang sangat susah dijawab kenapa saya berminat di Lekra atau kenapa saya dianggap menjadi anggota Lekra. Karena Lekra itu gerakan kebudayaan, bukan departemen kebudayaan. Jadi gerakan kebudayaan ini dibentuk dan dibangun dalam era Republik Indonesia menghadapi sisa-sisa penjajahan, imperialism, kolonialisme, dan sisa-sisa kekuatan feodalisme. Saya kaum Sudra di Bali yang tidak punya kasta, ibu bapak saya petani jadi saya ini kasta bawah. Kalau saya ketemu orang yang dari kasta yang lebih tinggi saya harus ngomong hormat, sedangkan dia boleh ngomong sekasar-kasarnya karena kasta Sudra. Jadi secara alami saya mengalami diskriminasi, ketika saya mulai bergaul ke dunia yang lebih luas dari dunia di Bali saya berkenalan dengan penyair-penyair yang katanya orang Lekra seperti Risa Kotta. Risa Kotta suatu ketika ketemu saya, dia bilang “sejak aku membaca puisimu saya tahu kalau kamu akan di Lekra.” Jadi yang membawa saya ke Lekra bukan diri saya tapi tulisan saya.” 


Di masa kekinian jualan politik nama PKI ada stigma masih jadi ajang jualan politik para calon. Bagaimana Anda melihat fenomena ini?


“Saya melihat reformasi tidak mampu mengubah watak penguasa dan watak kekuasaan. Sehingga yang berubah cuma wujud orangnya tapi cara berpikir mereka hampir sama. Sekarang ambil presiden mana yang mempunyai perhatian terhadap korban 65 kecuali Gus Dur minta maaf secara pribadi. Tapi presiden mana yang memberikan perhatian, padahal Komnas HAM sudah menyampaikan temuannya berlapis-lapis jumlahnya. Lembaga LSM Indonesia dan luar negeri juga mendorong pemerintah untuk memberikan perhatian terhadap pelanggaran HAM berat ini tapi pemerintah memalingkan mukanya.” 


Presiden terpilih bagaimana?


“Presiden terpilih saya juga belum tahu dia belum resmi jadi presiden. Ketika sudah resmi jadi presiden saya juga harapkan setidaknya dia melihat bahwa ada sisa-sisa penindasan secara mental yang tetap hidup di akar rumput. Sehingga itu merupakan potensi konflik, tergantung presiden mau melihat masyarakat ini akan konflik atau tidak. Kalau dia tidak mau melihat masyarakat akan konflik dia harus melakukan klarifikasi terhadap peristiwa G 30 S. Klarifikasi ini maksudnya benarkah ada Gerwani yang menyilet-nyilet kemaluan jenderal di Lubang Buaya, benarkah ada pemuda rakyat yang melakukan pesta seks di sana. Sebab ketika Soeharto bilang bahwa PKI berada di belakang gerakan G 30 S masyarakat masih diam. Tetapi ketika mulai dibilang bahwa ada Gerwani menyilet-nyilet kemaluan jenderal, memutilasi, dan sebagainya baru marah dan ini didukung media. Media seharusnya melakukan satu refleksi terhadap perannya dalam tahun 1965-1966.” 


Anda ingin meluruskan soal PKI supaya masyarakat juga punya pemahaman?


“Saya tidak perlu melakukan klarifikasi karena saya bukan orang PKI. Saya kalau di luar negeri ditanya kamu siapa, saya adalah korban dari perang dingin. Kenapa, saya melihat G 30 S ini adalah salah satu letupan dari perang dingin yang sudah direkayasa dari luar.” 


Kembali ke soal Jokowi yang akan Anda lakukan terkait dengan pemerintahan Jokowi?


“Saya sangat ingin melakukan dialog dengan pemerintah yang akan datang mengenai satu klarifikasi peristiwa G 30 S itu. Kedua mulai melihat kemungkinan rekonsiliasi kultural maupun politik. Sebab membangun masa depan dengan meniadakan masa lampau, masa depan itu timpang masa depan itu seperti orang stroke. Saya punya harapan besar bahwa sekejam segelap apa pun masa lampau itu ini adalah milik bangsa Indonesia dan ini adalah tulang punggung bangsa Indonesia, ini adalah kekuatan untuk membangun masa depan.” 


  • Putu Oka Sukanta
  • PKI
  • tapol
  • Peristiwa 1965

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!