BERITA

Komnas Anak: Kementerian Pendidikan Kerap

"Kasus siswi korban perkosaan yang dikeluarkan dari sekolahnya kembali terungkap. Kali ini terjadi pada siswi SMP di Purworejo, Jawa Tengah. Dalam kasus ini sekolah dituding hanya menjaga nama baik sekolah belaka."

Anto Sidharta

Komnas Anak: Kementerian Pendidikan Kerap
Komnas Anak, Kementerian Pendidikan. Purworejo, Pemerkosaan anak

KBR68H, Jakarta – Kasus siswi korban perkosaan yang dikeluarkan dari sekolahnya kembali terungkap. Kali ini terjadi pada siswi SMP di Purworejo, Jawa Tengah. Dalam kasus ini sekolah dituding hanya menjaga nama baik sekolah belaka.

Sementara itu, Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan menyerahkan kasus ini dinas pendidikan setempat. Lantas, apa tanggapan Ketua Komisi Nasional Perlidungan Anak Indonesia Arist Merdeka Sirait? Simak perbincangan penyiar KBR68H Novri Lifinus dan Rumondang Nainggolan bersama Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Musliar Kasim dalam program Sarapan Pagi, Kamis (17/10).

Kabarnya (Pemerintah) Pusat menyerahkan ke dinas pendidikan setempat, tanggapan Anda?

Agak aneh kalau pernyataan seperti itu. Bahwa tugas dan tanggung jawab masyarakat seperti yang diamanatkan Undang-undang Perlindungan Anak, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional itu setiap orang punya kewajiban memberikan yang terbaik bagi anak, memberikan perlindungan bagi anak.

Jadi kalau setingkat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah menyerah seperti itu artinya saya menyimpulkan dia tidak punya niatan baik untuk melindungi anak dari apapun, apalagi di lingkungan sekolah. Oleh karena itu dari statement itu, dari beberapa kasus-kasus juga yang selalu mengelak saya sudah terlampau bosan bicara tentang ini di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mulai dari penerbitan buku yang tidak baik untuk anak sampai anak-anak korban perkosaan dan sebagainya.

Bahkan kita protes keras ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengatakan bahwa anak yang mengalami korban perkosaan di Depok yang sampai heboh itu bahwa anaknya yang mau. Itu pernyataan yang tidak baik dan salah satu bentuk bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu tidak punya perspektif perlindungan anak dan mengabaikan tugas dan tanggung jawab sebagai institusi negara yang diamanatkan dalam Undang-undang Perlindungan Anak.

Oleh karena itu dari peristiwa-peristiwa itu apalagi terjadi di Purworejo itu dikembalikan kepada fungsi dinas pendidikan yang tidak punya kewenangan apa-apa, maka sebenarnya kita harus evaluasi sesungguhnya dunia pendidikan itu untuk apa. Sekolah itu untuk apa, sekolah itu selain proses belajar mengajar lembaga pendidikan juga memberikan perlindungan bagi anak.

Jadi kalau ada anak korban perkosaan dari lingkungan terdekatnya apakah karena kakeknya, gurunya, kerabatnya atau orang lain dan seterusnya lalu dikeluarkan dari sekolah itu artinya lembaga pendidikan itu ikut melanggar hak anak atas pendidikan. Jadi agak aneh kalau ada statement wakil menteri yang seperti itu, saya tidak terkejut sih karena sejak peristiwa bukan saja di Depok, Makasar, Medan, Surabaya, Purworejo tidak heran saya karena memang dunia pendidikan kita sudah carut-marut, dan lembaga ini perlu dievaluasi, harus kembali ke habitatnya pengertian atau fungsi dari sekolah. 

Sebenarnya apa alasan mereka tidak bisa melakukan tindakan tegas?

Saya juga tidak tahu padahal dia punya kewenangan. Berdasarkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional saja tidak boleh memberikan sanksi apapun yang tidak ada hubungannya dengan hak anak atas pendidikan. Saya tidak mengerti argumennya apa, argumennya menurut saya argumen yang cuci tangan. Hanya untuk membela nama baik sekolah, ini sangat tidak masuk akal kita. Di Purworejo diperkosa oleh kakeknya sampai umur 5 bulan mengandung, akhirnya divonis 8 tahun, lalu kemudian sekolah memvonis pula anak itu keluar dari sekolah.

Dari catatan Komnas Perlindungan Anak apakah ada selama ini untuk kasus seperti ini yang hak-hak mereka dikembalikan?

Tapi apa yang dilakukan tidak ada. Ada kasus Depok yang kita mau buat sebagai contoh, tetap dia tidak diterima di sekolah itu tapi direkomendasi oleh Dinas Pendidikan Kota Depok itu ke sekolah lain. Itupun karena didesak karena ada pemberitaan media yang begitu gencar, kemudian para aktivis mendorong supaya itu tanggung jawab dinas pendidikan tetapi bukan di sekolah itu, dipindahkan ke sekolah lain.

Padahal sebenarnya fungsi sekolah memulihkan karena anak itu korban. Misalnya Purworejo, bisa tidak Pak Nuh itu memahami bagaimana sakitnya pengalaman anak yang diperkosa kakeknya sampai hamil lalu dikeluarkan sekolah, bisa tidak dia dengan tidak mengurangi rasa hormat saya dengan Pak Nuh sebagai menteri memahami itu.

Empati itu penting, tapi kalau misalnya mengatakan tidak punya kewenangan karena itu otonomi daerah dan sebagainya, Undang-undang Perlindungan Anak itu mewajibkan semua termasuk lembaga negara, pemerintah, masyarakat dan orang tua untuk memberi perlindungan bagi anak, termasuk lembaga pendidikan.

Artinya tidak hanya terkait di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saja ya?


Iya Undang-undang Perlindungan Anak jelas menyebutkan itu. Bahwa empat pilar penanggung jawab perlindungan anak selain rumah atau keluarga, mayarakat, negara, dan pemerintah. Pemerintah ini misalnya di dunia pendidikan, maka Undang-undang Perlindungan Anak itu berlaku di situ, menteri punya kewajiban untuk memberi perlindungan itu.

Jadi ini bukan karena cuci tangan itu otonomi daerah, kewenangan daerah tidak bisa. Selalu persoalannya seperti itu, misalnya buku LKS yang diterbitkan oleh masing-masing daerah. Misalnya di Aceh sana bahwa untuk menguji kesehatan anak-anak di SMP dan SMA ada kuesioner itu untuk mengisi besar kecilnya penis dan payudara, itu di lingkungan sekolah lalu ketika itu Kementerian Kesehatan kan cuci tangan.

Ini juga sebenarnya cuci tangan, menurut saya tidak bisa lagi. Kementerian itu punya kewenangan untuk melakukan itu dan melakukan tindakan yang jelas bahwa korban harus dilindungi termasuk lingkungan sekolah, bukan menghukum.            

Pendidikan apa yang tepat yang perlu diterapkan untuk dinas pendidikan atau mungkin pihak sekolah?

Ada evaluasi terhadap sistem pendidikan nasional kita yang mengarah hanya untuk kecerdasan intelektual tapi tidak mendorong kecerdasan emosional dan spiritual. Itu fakta, karena kurikulum di tingkat Paud sampai SMA itu adalah berat sekali dan membuat anak stres, membuat anak frustasi. Karena semua arahnya adalah kecerdasan intelektual, mengejar target-target itu tapi kecerdasan emosional sangat kurang sehingga anak tidak punya waktu untuk mengekspresikan diri sehingga muncul kefrustasian. Menurut saya yang dievaluasi adalah sistem pendidikan nasional, termasuk kurikulum itu.

Dari banyak kejadian-kejadian di berbagai daerah apakah dinas pendidikan setempat sudah menjalankan fungsinya?

Belum. Karena orientasi dinas pendidikan kita adalah bagaimana mengejar apalagi ini sudah mau ujian nasional di tahun depan, arahnya kesana saja. Tidak berlebihan saya mengatakan, bahwa dinas pendidikan khususnya kabupaten/kota dan provinsi itu menurut saya tidak maksimal memberikan perlindungan dan tidak punya perspektif kesamaan pandang terhadap anak kalau dia menjadi korban apakah kekerasan, pelanggaran atau korban kejahatan seksual di lingkungannya. Karena apa, sistem perlindungan yang dibangun lewat program-program BK (Bimbingan Konseling, red.) itu bukan perspektifnya anak ini perlu diperbaiki.

Evaluasi besar-besaran ya?


Sangat. Karena dunia pendidikan itu menentukan masa depan anak-anak, kalau lingkungan sekolah sudah tidak menjadi lingkungan yang kondusif bagi anak dalam proses belajar mengajar dan memberikan bimbingan yang lebih baik sehingga punya kesadaran betul. Kalau lembaga pendidikan bukan menciptakan atau menghasilkan arahnya adalah pemimpin-pemimpin bangsa yang jujur, demokratis, dan toleransi maka lembaga pendidikan kita hancur. Oleh karena itu tentu perlu penataan yang luar biasa. 

Editor: Anto Sidharta

  • Komnas Anak
  • Kementerian Pendidikan. Purworejo
  • Pemerkosaan anak

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!