BERITA

Belajar Memahami Agama Melalui Sastra

"KBR68H, Jakarta - Banyak yang jemu, dikarangkan syair baru ketemu. Syair itu masih terkenang gamblang dalam ingatan Ahmad Baso, intelektual muda Nahdatul Ulama."

Belajar Memahami Agama Melalui Sastra
sastra, pesantren, seminari

KBR68H, Jakarta - Banyak yang jemu, dikarangkan syair baru ketemu. Syair itu masih terkenang gamblang dalam ingatan Ahmad Baso, intelektual muda Nahdatul Ulama. Jebolan pesantren di Makassar ini mengenang syair itu untuk mengacu pada mereka yang dianggap nakal dan sulit belajar agama di pesantren. “Kyai menertibkan anak-anak nakal dengan menyuruh mereka menghafal syair sastra. Lama-lama syair itu mendidik secara moral” ungkapnya.

Anak-anak yang sebelumnya dianggap nakal menjadi gemar akan sastra. Ahmad mengatakan, sastra merupakan bagian penting dari pesantren. Itulah kenapa salah satu karyanya dalam Pesantren Studies membahas sastra pesantren. Menurutnya, pesantren berhasil mencetak sastra dan sastrawan tersendiri. Di antaranya adalah Mustofa Bisri dan Acep Zamzam Noor. 

Kultur pendidikan agama yang mencetak sastrawan tidak hanya milik pesantren. Seminari, sekolah calon imam Katolik juga menggodog murid-muridnya bergumul dengan sastra. Produk kultur seminari di antaranya adalah Remy Sylado, Romo Mangunwijaya dan Romo Leo Kleden. Remy Sylado mengisahkan, ia mulai mengakrabi sastra dari perpustakaan seminari di Semarang. Di situ, ia membaca T.S.Eliot, seorang sastrawan berkebangsaan Inggris.

“Saya belajar dari rektor Seminari philologi” katanya. Philologi merupakan ilmu untuk mempelajari teks-teks kuno. Dari situlah ia mendapat bekal penting untuk menjadi sastrawan. Ia juga diminta menghafal ayat-ayat tertentu dari alkitab dalam bahasa Inggris. “Alkitab itu sastra, cob abaca Zabur, Yesaya,” katanya dalam program Agama dan Masyarakat di KBR68H dan Tempo TV, Rabu (16/10).
 
Pendidikan sastra tidak hanya bermanfaat untuk mencetak sastrawan, sastra mengajarkan budi pekerti dan mendekati agama melalui rasa. Ahmad Baso menggambarkan, “soal mencipta belakangan, tapi sastra mengasah rasa, kepekaan”. Dengan begitu, para santri memahami agama tidak lagi dalam kaca mata hitam/putih semata.

Mereka terpacu untuk menukik lebih dalam. Ini dibenarkan sastrawan Remy Sylado. Ia yakin, mengutip Romo Mangunwijaya, bahwa karya sastra memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki moral pembaca. Menurutnya, tanggung jawab semacam itu bersifat religius.

Meskipun begitu, kedua intelektual ini sepakat, terjadi degradasi sekarang ini baik dalam pendidikan sastra di institusi pesantren maupun ketika sastra menjadi sarana menyebarkan nilai-nilai relijius. Ahmad Baso mencontohkan, ketika ia nyantri dulu di Makasar, guru-gurunya mengajarkan  membaca lontar karangan kiyai-kiyai terdahulu. Menurutnya, ini mendekatkan para santri pada tradisi sastra lokal. Ia bahkan menemukan kebiasaan ini juga terjadi di Jawa; ketika para santri diwajibkan membaca babat-babat lokal. Namun, kecenderungan ini semakin terpupus akhir-akhir ini.
 
Ahmad Baso menenggarai standarisasi Kementerian Agama terhadap kurikulum pesantren sebagai salah satu biang keroknya. “Pendidikan kita tidak ajarkan kontemplasi dan ini menghalangi pendidikan sastra,” keluhnya. Selain itu, kurikulum justru mengajarkan santri untuk membaca syair-syair dari sastra arab semata, tanpa menilik babat-babat setempat.

Sastrawan Remy Sylado bahkan melihat akar menjauhnya pendekatan sastra untuk memahami agama ada pada penerjemahan alkitab dalam bahasa Indonesia. Ia berpendapat, terjemahan lama dari abad 18 yang masih diadaptasi hingga sekarang mengakibatkan alkitab menjadi kaku untuk dibaca. “Alkitab harus diterjemahkan ulang dalam bahasa yang lebih sastrawi,” katanya.

Dalam karya-karya sastra dengan genre reliji, ia juga menemukan sastra sekarang tidak lagi merangsang pembacanya untuk merenung secara mendalam. Pasalnya, sastra sekarang bicara secara blak-blakan. Ia mencontohkan cerita seorang nakal yang bertobat dalam sekejap mata hanya karena didatangkan tokoh agama yang menyebutkan ayat-ayat suci.

Cerita seperti itu menurutnya sangat simplistic dan hitam putih. Padahal, “Kita perlu sastra yang terjemahkan ayat-ayat melalui tindakan, bukan verbal semata, dan tak hitam/putih” ungkapnya. Ahmad Baso, mengutip perkataan Nirwan Dewanto membenarkan itu. Nirwan menyayangkan banyak santri yang menulis sastra tidak lagi menggunakan simbol-simbol yang mengajak orang untuk berpikir.

Editor: Doddy Rosadi

  • sastra
  • pesantren
  • seminari

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!