BERITA

Pembatasan WNA ke Papua Tidak Sesuai Prinsip HAM

Pembatasan WNA ke Papua Tidak Sesuai Prinsip HAM

KBR, Jakarta- Pemerintah Indonesia membatasi kunjungan Warga Negara Asing (WNA) ke Papua. Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto mengklaim pembatasan dilakukan demi mencegah provokator masuk ke Papua.

"Saya tanya, apakah Anda bisa membedakan ini (WNA) wisatawan atau provokator? Nggak bisa, kan. Makanya, supaya nanti tidak ada yang ikut ke sana, nimbrung ke sana, maka ada pembatasan," kata Wiranto, seperti dikutip Antara, Kamis (4/9/2019).

Langkah tersebut didukung Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon. Ia menilai, di luar kepentingan pariwisata, harus ada seleksi terhadap WNA yang hendak masuk ke Papua.

"Karena mungkin ada pihak-pihak yang berkeinginan melakukan tindakan-tindakan di luar keinginan kita, termasuk memberitakan berita yang tidak benar," kata Fadli Zon, seperti dikutip Antara, Jumat (6/9/2019).


Pembatasan Jurnalis Asing

Pemerintah belum menjelaskan secara gamblang tentang mekanisme pembatasan atau kriteria penyaringan WNA yang boleh masuk ke Papua.

Namun, jika mengingat sejarahnya, pembatasan tersebut sangat rawan dikenakan pada WNA yang berprofesi sebagai jurnalis.

Pada 2015 Presiden Jokowi pernah mengatakan bahwa Indonesia telah mencabut pembatasan terhadap jurnalis asing, yang sudah terjadi selama puluhan tahun sejak Orde Baru.

Tapi menurut laporan Human Rights Watch (HRW), pernyataan Jokowi itu tidak banyak mengubah keadaan.

"(Pernyataan Jokowi) Tidak diikuti dengan Instruksi Presiden (Inpres), sehingga memberikan ruang bagi instansi pemerintah, dari sipil sampai militer, untuk tidak memenuhinya," kata HRW dalam laporannya.

"Wartawan asing bukan hanya sulit masuk ke Papua. Mereka yang berhasil dapat izin masuk ke Papua, selalu diawasi, dimata-matai dan, ada kalanya, ditahan sewenang-wenang oleh aparat keamanan," jelas HRW.

"(Pembatasan) Ini terutama bagi wartawan yang meliput ketidakpuasan orang Papua terhadap keadaan sosial dan politik di Papua, maupun pelanggaran yang dilakukan oleh pihak militer, polisi dan intel," terangnya lagi.


Tidak Sesuai Prinsip HAM

Dalam konteks HAM, pembatasan jurnalis asing ke Papua menyalahi Prinsip Johannesburg, yakni standar pemenuhan hak sipil-politik dalam kondisi darurat.

Prinsip Johannesburg menyatakan, pemerintah tidak boleh membatasi akses bagi jurnalis, atau pihak-pihak lain yang hendak meninjau dugaan pelanggaran HAM ke area-area "rawan".

"(Yaitu) Area di mana ada alasan yang masuk akal untuk percaya bahwa telah terjadi, atau akan terjadi, pelanggaran terhadap hak asasi manusia," jelas Prinsip Johannesburg.

Dan Indonesia, sebagai negara yang sudah meratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), tentu punya tanggung jawab mengikuti prinsip tersebut. 

Editor: Sindu Dharmawan

  • papua
  • konflik papua
  • Papua Barat
  • rasisme
  • kebebasan pers

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!