BERITA

Para Pengibar Bendera yang Dikerangkeng

Para Pengibar Bendera yang Dikerangkeng

KBR, Jakarta - Pekan lalu Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menangkap sejumlah mahasiswa Papua atas tuduhan makar.

Para mahasiswa itu dituduh makar karena mengibarkan bendera Bintang Kejora dalam aksi damai tolak rasisme di depan Istana Negara, Jakarta (28/8/2019).

Juru bicara Polri Dedi Prasetyo menyebut pengibaran bendera Bintang Kejora adalah tindakan melawan hukum. Tapi, Dedi menolak menjelaskan lebih jauh soal dasar hukum yang dipakai dalam penangkapan tersebut.

"Soal enam tersangka pengibar bendera di Istana itu, 'kenapa pasal makar dijadikan penangkapan' gitu? Teknis lagi itu. Jangan tanya teknis. Kalau tanya teknis, kamu saya suruh nanya ke Kabid Humas sana," kata Dedi saat diwawancara KBR di kantor Humas Polri, Jakarta, Selasa (3/9/2019).


Baca Juga: ICJR & ELSAM: Permintaan Referendum Tak Bisa Dijerat Pasal Makar


Sejak Tahun 1970

Penangkapan terhadap pengibar bendera Bintang Kejora bukan pertama kalinya terjadi di Indonesia.

Polri memang belum pernah memublikasikan data resmi tentang total jumlah tersangkanya. Tapi, menurut riset Papuans Behind Bars, penangkapan serupa setidaknya sudah terjadi sejak 1970. Berikut rinciannya:

    <li>Tahun 1970: dua orang pengibar bendera Bintang Kejora di Wamena dipenjara 8 tahun.</li>
    
    <li>Tahun 2012: satu orang pengibar di Abepura dihukum penjara 3 tahun.</li>
    
    <li>Tahun 2013: empat orang pengibar di Biak dipenjara antara 2-7 tahun.</li></ul>
    

    Setelah tahun 2013 Papuans Behind Bars tidak mengeluarkan data lagi. Namun, dalam laporan riset berjudul Aksi Protes Makin Meningkat, Penangkapan Makin Meningkat (2016), mereka menyebut bahwa penangkapan terus terjadi.

    "Dakwaan makar masih terus digunakan untuk menekan kebebasan berekspresi di antara para aktivis dan masyarakat sipil Papua," jelas Papuans Behind Bars dalam laporannya.

    "Penggunaan dan kepemilikan bendera Bintang Kejora, simbol kemerdekaan Papua, masih terus digunakan sebagai alasan penangkapan, interogasi dan intimidasi," tandas mereka.

    "Pada tahun 2015, sedikitnya lima kasus seperti itu dicatat. Salah satunya, seorang anak laki-laki berusia 15 tahun di Sorong diinterogasi dan diancam oleh aparat kepolisian karena memakai kaos dengan gambar Bintang Kejora dan slogan yang menyebutkan 'Bebaskan Papua Barat'," ungkapnya lagi.


    Bukan Hanya Papua

    Penangkapan para pengibar bendera bermuatan "ekspresi politik" tak hanya terjadi pada orang Papua, tapi juga pada orang Maluku.

    Akhir Juni lalu (29/6/2019) Polri menangkap lima aktivis yang memasang bendera Republik Maluku Selatan (RMS) di dalam rumahnya sendiri.

    Menurut Amnesty International (AI) Indonesia, kelima tersangka itu ditahan di Polres Ambon dan Pulau-Pulau Lease tanpa didampingi pengacara. AI Indonesia menilai penangkapan macam ini tidak semestinya terjadi.

    “Memasang bendera untuk menunjukkan ekspresi politik bukanlah merupakan sebuah bentuk kejahatan. Terlebih yang terjadi pada para aktivis politik yang melakukan aksinya dengan damai, termasuk mereka yang mendukung kemerdekaan, memiliki hak menyatakan pandangan politik mereka," kata peneliti senior AI Indonesia Papang Hidayat di situs resminya.

    Amensty International Indonesia pun meminta Polri segera membebaskan para pengibar bendera itu, serta menjamin kebebasan berekspresi warganya.

    Editor: Agus Luqman

  • papua
  • refrendum
  • bendera bintang kejora
  • Mahasiswa Papua
  • Penangkapan Mahasiswa
  • kebebasan ekspresi
  • kebebasan berpendapat

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!