BERITA

Sri Rusminingtyas:

Sri Rusminingtyas:

KBR, Jakarta- Sepuluh tahun lalu, Sri Rusminingtyas pergi ke Bandara Schipol di Amsterdam dengan gembira. Ia hendak menjemput kawan lamanya, sesama aktivis HAM Munir yang hendak melanjutkan kuliah di Universitas Utrecht. Tapi ia juga merasa ganjil, karena tak biasanya Munir minta dijemput saat pergi ke luar negeri. 


Sri menceritakan kilas balik peristiwa 10 tahun lalu yang masih terpatri kuat di ingatannya. 


Anda saat itu berada di Bandara Schipol kabarnya untuk menjemput Munir. Penjemputan diminta atau inisiatif sendiri?


“Diminta Poengky (Poengky Indarti adalah kawan lama Munir, kini Direktur Eksekutif Imparsial - red). Jadi Poengky pada waktu itu dari Imparsial minta saya untuk jemput walaupun sebetulnya aneh menurut saya.” 


Kenapa?


“Munir kemana-mana sendiri bisa kok ngapain dijemput, itu menurut saya aneh tapi Poengky tetap ngotot. “


Bagaimana suasana penjemputan Munir waktu itu? Anda sendiri atau didampingi?


“Saya sendiri. Waktu itu saya diantar oleh suami ke Rotterdam Central Station, dari sana jadi waktu itu jam 6 pagi atau apa. Saya sudah bawa roti karena saya pikir terlalu pagi untuk makan, terus dari Rotterdam ke Schipol naik kereta. Dari situ saya tunggu Munir sambil lihat pengumuman screen Garuda dan sebagainya. Saya sempat ke  toilet segala macam, ketika keluar dari toilet ternyata Garuda sudah mendarat tetapi Munir tetap saja tidak keluar-keluar. Saya menunggu lama sekali tidak datang, kebetulan Poengky pada waktu itu telepon saya tanya “mbak sampean nangdi?” saya jawab "ya Schipol.” Terus cerita, dia dengar informasi mungkin rumor, katanya Munir meninggal.”


Itu pertama kali Anda mendapatkan informasi soal meninggalnya Munir dari Poengky?


“Iya. Saya tidak tahu Poengky ya saya tidak tahu mungkin dia ditelepon orang atau bagaimana tetapi itu intinya.” 


Selanjutnya?


“Terus saya bilang, sebetulnya tadi itu ada pengumuman dari information center-nya Schipol. Tetapi saya tidak terlalu memperhatikan karena bahasa Belanda saya masih jelek, pada waktu itu information center ngomong ada kata-kata Munir cuma saya pikir bego amat Munir belum keluar kok sudah disuruh ke sana. Padahal sebetulnya information center itu bilang, bagi yang jemput Munir tolong pergi ke information center. Kemudian karena menunggu tidak keluar-keluar sampai akhirnya kru Garuda yang keluar, saya memberanikan diri tanya ke pramugarinya. Saya tanya saya dapat informasi bahwa Munir meninggal di pesawat betul atau tidak, salah satu bilang iya betul keterangan lebih lanjut silahkan tanya ke counter Garuda. Saya akhirnya pergi ke information center, saya selalu bilang saya penjemput Munir saya memperoleh informasi kalau Munir meninggal, dimana counter Garuda supaya saya bisa menghubungi. Terus yang duduk di information desk itu bilang three gentlemen standing outside, jadi di situ ada tiga orang Belanda kemudian saya celingak-celinguk orangnya mana. Terus tiga orang itu mendatangi saya tanya “kamu yang jemput Munir?” kata saya “iya betul, saya temannya Munir” terus saya langsung tanya “apa betul kalau Munir meninggal?” begitu dia bilang “iya meninggal” saya langsung nangis tidak karuan. Dia memeluk saya terus dibawa ke atas, di sana kemudian saya masih belum percaya saya berusaha menahan diri.” 


Dari situ apa yang kemudian Anda lakukan? langsung menghubungi Mbak Poengky?


“Tidak mereka melakukan wawancara dulu. Jadi tiga orang tadi menanyakan hubungan saya dengan Munir apa, bagaimana saya mengenal Munir, apakah Munir punya penyakit dan sebagainya. Sampai kemudian menanyakan pekerjaan Munir dan sebagainya, siapa Munir sebetulnya itu sama saja menanyakan pekerjaan Munir. Terus saya mengatakan Munir adalah seorang human right activities, saya ceritakan semuanya hubungan saya dengan dia dalam artian hubungan kerja karena kami organisasi kami bekerja sama dengan Munir.” 


“Terus kemudian saya ceritakan sepak terjangnya Munir, juga tentang bagaimana Munir memperoleh ancaman teror pembunuhan kemudian ada bom yang dipasang di rumah orang tuanya segala. Akhirnya mereka berkesimpulan mereka malah tanya ingin betul memastikan, jadi apakah menurut Anda kematian Munir ada hubungannya dengan pekerjaannya, saya bilang saya tidak kaget kalau itu terjadi. Saat itu juga si polisi ini menghubungi lembaga lain yang ternyata itu adalah Marsose, kalau di Belanda itu semacam polisi militer yang tugasnya adalah untuk boarder security. Saya diminta kalau ingin menghubungi keluarga atau siapapun juga organisasinya silahkan yang bisa melakukan tindakan selanjutnya.” 


Anda menghubungi siapa?


“Saya waktu itu menghubungi Poengky juga beberapa organisasi. Terus yang di Belgia saya menghubungi Triple Eleven, karena salah satu donor Kontras pada waktu itu Triple Eleven. Terus pada waktu itu suami saya telepon dia tanya saya dimana, dia kirain saya sudah ada di Utrecht atau Almere karena Munir tadinya mau ke Almere kuliahnya di Utrecht, saya bilang saya di Schipol. Terus suami saya karena kaget dia langsung ke Schipol, sudah datang kemudian pihak polisi bilang nanti kalau suami saya datang kita bareng-bareng ke sana ke penanganan jenazah.”


Berapa lama Anda ada di Schipol? 


“Cukup panjang sampai sore.” 


Lain hal adalah ada proses otopsi jenazah ya?


“Iya. Begitu tahu dari keterangan kami seperti itu, waktu itu Leo juga bilang satu hal yang dia pastikan ke Marsose adalah satu semua dokumen apapun yang berhubungan dengan Munir tolong jangan ada yang menyentuh itu pesan suami saya. Kecuali kalau kami diberi mandat oleh keluarga dan organisasinya. Terus Marsose waktu itu ngomong jangan khawatir tidak boleh seorang pun menyentuh ini. Kemudian Marsose ingin menghubungi keluarga dan organisasinya karena mereka ingin melakukan otopsi.” 


Hasilnya apa?


“Hasilnya karena arsenik. Tapi pada waktu itu Marsose bilang sama suami saya, something wrong walaupun belum kasih tahu karena prosedurnya macam-macam. Jadi pada waktu itu kami mempersiapkan keluarga untuk datang ke Belanda dan sebagainya. Setelah mereka datang pun persiapannya sangat jelas sekali, misalnya karena kami waktu itu bahwa Mbak Poengky, Suci, Usman, Ucok terus kakaknya Munir. Untuk yang bisa menjemput selain Marsose dan Pastorat kami harus ikut karena yang tahu kami.” 


Setelah proses itu sempat mengikuti proses hukum selanjutnya? 


“Iya mengikuti tetapi sebetulnya kuncinya ada di sini bukan di Belanda. Kalau di sana sudah terus kemudian hasilnya dikirim ke kedutaan, kedutaan memberikannya ke pemerintah Indonesia padahal Mbak Suci maunya dikasih ke dia terus saya ingatnya dia diping-pong dari satu tempat ke tempat lain.” 


Anda sendiri tidak diperlihatkan hasil otopsinya?


“Tidak. Jadi pada waktu itu ada debat di parlemen Belanda, kalau tidak salah Kementerian Luar Negeri berpendapat ini kan government to governmen, harusnya pemerintah Belanda ke pemerintah Indonesia. Kementerian Kehakiman kalau tidak salah pada waktu itu berpikir ya tidak bisa bagaimana kalau pemerintahnya sendiri yang terlibat, parlemen kemudian memanggil mereka.” 


Sudah sepuluh tahun berjalan masih banyak yang miss, Anda punya harapan terutama di presiden terpilih?


“Nah ini saya masih menginginkan presiden terpilih Jokowi dan wakil presiden JK menuntaskan kasus ini. Sepuluh tahun itu lama dan itu seorang Munir. Bisa dibayangkan kalau seorang Munir saja tidak tuntas bagaimana kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya. Kasus Munir itu kasus yang sudah diangkat betul-betul ke tingkat internasional, jadi saya betul-betul berharap untuk pemerintahan baru ini bisa menuntaskan betul karena ini benar-benar melukai keadilan buat masyarakat. Jadi saya pikir kalau pemerintahan Jokowi-JK ingin membuat pemerintahan yang berwibawa tolong tuntaskan kasus ini juga kasus pelanggaran-pelanggaran HAM masa lalu, tolong.”    


  • Munir
  • 10ThMunir
  • Suciwati

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!