BERITA

Revolusi Pelayanan BPJS

"Memasuki 9 bulan bergulirnya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sejak awal tahun lalu ternyata belum bisa dinikmati oleh semua kalangan di Indonesia. Padahal apabila mengacu pada cita-citanya menurut Undang-Undang Jaminan Kesehatan, BPJS ada untuk "

Ade Irmansyah

Revolusi Pelayanan BPJS
bpjs, asuransi

Memasuki 9 bulan bergulirnya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sejak awal tahun lalu ternyata belum bisa dinikmati oleh semua kalangan di Indonesia. Padahal apabila mengacu pada cita-citanya menurut Undang-Undang Jaminan Kesehatan, BPJS ada untuk semua kalangan tanpa terkecuali. 


Namun BPJS masih sangat sulit diakses terutama untuk wilayah Indonesia Bagian Timur. Seorang warga di Papua mengaku banyak keluarga di sana belum terdaftar sama sekali dalam keanggotaan BPJS. 


“Kami di Papua, meski kami miskin, ketika sakit dan harus dirawat kami lebih memilih rumah sakit swasta. Kami lebih memilih untuk hidup, itu alasan kami memilih rumah sakit swasta. Kami tidak percaya pelayanan rumah sakit milik pemerintah di Papua,” ujar Otomayor, seorang tukang ojek asal Manokwari, Papua Barat


“Saya sulit mengakses. Lagian seandainya memang terdaftar pun, rumah sakit milik pemerintah di tempat kami sangat kurang pelayanan, tenaga medis dan obat-obatnya,” tambahnya. 


Menanggapi masalah itu, Anggota Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS), sekaligus Koordinator BPJS Watch, Indra Munaswar berpendapat bahwa masih banyak sekali yang harus dibenahi dalam pelaksanaan BPJS di Indonesia. 


“Prinsip kesehatan kita (Indonesia) sudah mengalami revolusi yang cukup besar dan sudah diatur dalam UU Kesehatan. Hanya saja pelayanannya masih jauh dari harapan. Ini harus juga mengikuti langkah revolusinya,” ujarnya.  


Kata dia, mulai dari tidak meratanya tenaga medis, obat-obatan hingga sarana dan prasarana rumah sakit masih menjadi kendala sulitnya BPJS diterapkan di sebagian wilayah timur Indonesia. “Minimnya informasi soal bagaimana caranya mengakses BPJS menjadi cita-cita luhur BPJS tidak berjalan dengan baik,” ujarnya.


Selain itu kata dia, masalah tidak selesai pada warga yang tidak terdaftar saja. Bagi warga masyarakat yang sudah terdaftar resmi di dalam BPJS pun masih banyak mengalami masalah. 


“Masih komersilnya tenaga medis, mahalnya obat-obatnya semakin membuat kesan bahwa orang miskin tidak boleh sakit. Rumah sakit juga masih sangat diskriminasi terhadap pasien. Akan ada perbedaan pelayanan pasien ber-BPJS dengan yang tidak,”  ujarnya. 


Belum lagi kata dia tidak sedikit rumah sakit yang memainkan harga obat kepada pasien pengguna BPJS hanya untuk mengejar keuntungan. 


“Kami pernah menggerebeg rumah sakit yang mengabaikan pasien dan direktur rumah sakitnya kami mintai pertanggung jawaban. Rumah sakit kadang memaksakan obat di luar E-katalog kepada pasien dengan alasan tidak menyediakan obat generik,” ujarnya.


Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan dan beberapa lembaga terkait harus segera memeperbaiki hal ini apabila benar-benar ingin menyehatkan warga serta mengikis kesenjangan dikalangan warganya. 


“Banyak alasan yang dijadikan pembenaran oleh pemerintah agar tidak dengan segera menyelesaikan masalah ini,” ujarnya. 


Kesalahan yang paling mendasar menurutnya yang dilakukan oleh pemerintah adalah masih belum memfokuskan pada pencegahan agar warga masyarakat bisa tetap hidup sehat. 


Kata dia selama ini pemerintah masih menjadikan tolak ukur keberhasilan dunia kesehatan dengan telah melakukan pengobatan kepada yang sakit. “Rumah sakit juga sangat tidak begitu peduli terhadap pemeriksaan lebih mendalam terhadap pasien, ini salah satu komersialisasi kesehatan,” ujarnya.


Juru Bicara Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), Irfan Humaidi tidak menyangkal soal kelemahan-kelemahan pelaksanaan BPJS setelah digulirkan awal tahun lalu. 


Meski demikian kata dia, pihak terus berbenah diri agar pelayanan BPJS semakin baik. “BPJS sebenarnya sudah mengakomodir semua pengobatan termasuk obatnya. Kita akui masih banyak kekurangan BPJS dalam bidang apapun. Namun kita terus lakukan perbaikan hingga akhirnya layak,” ujarnya. 


Kata dia, dari target keanggotaan BPJS tahun 2014 sebanyak 121 jutaan jiwa, namun sekarang sudah mencapai 127 jutaan jiwa. 


Terkait soal bagaimana rumah sakit memperlakukan pasien kata dia sebenarnya pihaknya tidak bisa mengintervensi. Pasalnya kata dia terkait hal tersebut bukan menjadi kewenangan BPJS melainkan kewenangan Kementerian Kesehatan. 


“Sebenarnya kita tidak bisa mengontrol langsung rumah sakit dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Kita hanya bisa mengontrol supaya dana BPJS bisa tepat sasaran. Namun kami bisa memberikan masukan ke rumah sakit,” ujarnya. 


Hanya saja dia memastikan bahwa menurut undang-undang jaminan kesehatan, rumah sakit tidak bisa merekomendasikan obat-obatan diluar E-catalog obat generik. 


“Kami memastikan bahwa rumah sakit tidak boleh merekomendasikan pasien tebus obat di luar e-katalog. Apabila ada pasien yang membutuhkan obat yang tidak ada dalam e-katalog,rumah sakit harus beri obat serupa dengan merk berbeda,” ujarnya. 


Dia berharap warga masyarakat bisa terus memberikan laporan dan kritik yang membangun agar BPJS bisa berjalan dengan baik dan menyeluruh kedepannya.


Editor: Antonius Eko 


  • bpjs
  • asuransi

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!