BERITA

Penerimaan Siswa Baru, Ombudsman: Ada Pungutan Hingga Rp 12 Juta

"Bicara tahun ajaran baru pendidikan, berarti bicara kesibukan baru para orang tua."

Penerimaan Siswa Baru, Ombudsman: Ada Pungutan Hingga Rp 12 Juta
penerimaan siswa baru, pungutan sekolah, pungutan liar, pendaftaran sekolah sistem online

KBR, Jakarta - Bicara tahun ajaran baru pendidikan, berarti bicara kesibukan baru para orang tua. Mulai dari urusan mencari sekolah hingga menyiapkan uang sekolah untuk seragam dan sebagainya. Di luar itu, tahun ajaran baru juga masih diwarnai dugaan jual beli bangku sekolah.

Ombudsman Republik Indonesia mencatat penerimaan siswa baru tahun lalu mencapai hampir 400 pengaduan. Beberapa yang menarik seperti masih adanya pungutan liar.

“Pungli itu menduduki peringkat tertinggi yang dilaporkan, yaitu 47,8%. Kemudian berikutnya sekitar 19% penyimpangan prosedur dan tidak memberikan pelayanan sekitar 11% dan kemudian diskriminasi 6,5% dan penyalahgunaan wewenang 3,6% dan seterusnya. Kurang lebih itu gambarannya,” kata Budi Santoso, Bidang Penyelesaian/Laporan Pengaduan Masyarakat Ombudsman Republik dalam Program Daerah Bicara KBR dan TV Tempo. Menurut Budi, pungli itu terjadi saat pendaftaran ulang siswa atau setelah siswa diterima sekolah.

Budi Santoso menambahkan pengaduan terbesar datang dari para orang tua yang memasukkan anaknya ke jenjang Sekolah Menengah Atas SMA. Data Ombudsman menunjukkan pengaduan dari jenjang SMA ini mencapai 42,9%, lalu 35,1% di tingkat SMP dan ketiga 20,4% untuk tingkat SD. Bahkan pengaduan untuk tingkat perguruan tinggi juga ada, meski jumlah prosentasenya kecil.

“Di salah satu SMA Negeri di salah satu kabupaten di Jawa Barat itu ada yang memungut biaya sampai Rp12 juta dengan rincian Rp8 juta untuk dana pembangunan dan sisanya untuk seragam dan sebagainya,” ujar Budi.

Menanggapi itu, Juru Bicara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Ibnu Hamad mengatakan institusinya sudah punya aturan berupa Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 tahun 2012.

“Mudah-mudahan ini jadi rujukan oleh Ombudsman di seluruh Indonesia. Ada istilah di situ ‘pungutan’ dan ‘sumbangan.’  Pungutan itu disertai janji. ‘Mba mau masuk sekolah kalau bayar sekian, lalu diterima.’ Kalau sumbangan lain. Sumbangan itu, setelah diterima berdasarkan prestasi akademik, diatur dalam permen ini, sekolah itu akan mengeluarkan rencana tata sekolah dalam setahun itu. Itu nanti diumumkan, ditransparankan. Itu diperkenan. Tapi itu tidak otomatis harus langsung dibayar. Tapi dibahas dulu di komite sekolah.”

Itu pun, biaya-biaya yang disampaikan oleh pihak sekolah harus sepengatahuan Dinas Pendidikan setempat.

Ibnu Hamad mengatakan, selain mekanisme itu, Kementerian Pendidikan juga berupaya agar praktek pungutan liar terus menurun dengan menerapkan sistem penerimaan siswa secara online. Dalam sistem online ini, dasar penerimaan seorang siswa adalah prestasi akademik, bukan faktor ekonomi. Hal lain, Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudataan juga ikut memantau pelaksanaan penerimaan siswa baru.

Salah seorang pendengar di Jakarta, Suherlan membandingkan pendaftaran sekolah saat ini dengan masa ia sekolah dasar sangat berbeda. Di masa lalu, menurutnya lebih mudah ketimbang sekarang.

“Tahun 1987 saya masuk SMPN 5 Jakarta. Itu sekolahan top. Saya daftar berangkat sendiri, tanpa orang tua mengantar. Tanpa uang sepeser pun. Tapi sekarang, semua serba materi. Keponakan saya di Cikarang saja itu harus 3 – 5 juta untuk SMP saja,” katanya.

Tapi menurut Ibnu Hamad, untuk DKI Jakarta sudah lebih simpel karena sistem online yang diterapkan.

“Kalau warga DKI tentu mungkin sudah punya internet sendiri di rumah sendiri-sendiri. Kalau tidak bisa ke warnet. Tinggal mengikuti tata cara. Justeru dengan adanya pendaftaran melalui online, menghindari kemacetan, menghindari pengantaran-pengantaran yang ramai-ramai tadi. Mohon maaf Pak Suherlan, mungkin referensinya sebelum online.”

Anggota Ombudsman RI Budi Santoso mengakui sistem online memang membuat pendaftaran siswa menjadi transparan dan bisa dipertanggungjawabkan.

“Hanya, Indonesia itu bukan Jakarta. Jakarta itu infrastruktur koneksi internetnya sudah sangat memadai. Saya balik ke data lagi. Kalau di data saya, pada urutan ketiga sekitar 8,0% itu keluhan justeru sistem pendaftaran online mengalami gangguan dan tidak bisa diakses.”

Menurut Budi, adanya angka pengaduan seputar kegagalan mendaftar secara online lebih karena sarana dan prasarananya tidak dipersiapkan secara matang. Tahun lalu di Jawa Timur, servernya tidak bisa menampung semua pengakses. Akibatnya banyak pengguna gagal mendaftar secara online.

Karena itu ia berharap, “Dinas Kabupaten/Kota yang merasakan bahwa koneksi internet di wilayahnya belum sebaik yang dibayangkan, untuk mempertimbangkan kembali penggunaan penerimaan secara online. Dropnya sistem teknologi ini bisa lebih mengacaukan sistem penerimaan siswa baru.”

  • penerimaan siswa baru
  • pungutan sekolah
  • pungutan liar
  • pendaftaran sekolah sistem online

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!