BERITA

Belajar Toleransi dari Situbondo

"“18 tahun yang lalu tepatnya pada 1996 terjadi tragedi yang memalukan dam memilukan terjadi di Situbondo, saat itu ada pembakaran gereja se-kabupaten Situbondo.”"

Indra Nasution

Ilustrasi Foto: Antara
Ilustrasi Foto: Antara

KBR, Situbondo - “18 tahun yang lalu tepatnya pada 1996 terjadi tragedi yang memalukan dam memilukan terjadi di Situbondo, saat itu ada pembakaran gereja se-kabupaten Situbondo,” kenang Pimpinan Ponpes Ustad Mansyur Arif dalam program Agama dan Masyarakat KBR, Rabu (11/09)

Kejadian tersebut dikenal sebagai peristiwa 10-10, karena terjadi pada 10 Oktober 1996. Menurut Mansyur Arif tragedi tersebut diawali komentar dari  Seseorang bernama Saleh. Dia mengatakan  almarhum K.H. Raden, As’ad Syamsul Arifin salah seorang ulama di Situbondo, mati kafir, tidak membawa iman dan islam. ”Fatalnya dia juga menghina kanjeng Nabi Muhammad,” tutur Mansyur.


Atas pernyataan itu, Salehpun diintrograsi oleh sejumlah ulama. “Setelah diintrograsi Saleh mengatakan yang dia lakukan bukan untuk popularitas, tetapi itu merupakan ajaran gurunya yang berpaham sesat. itu yang memicu masyarakat untuk melakukan aksi, sampai pada akhirnya kiayi Achmad Zaini, melaporkan kepihak kepolisian hingga diproses hukum,” terang Mansyur.


Achmad Zaini merupakan pimpinan pondok Nurul Hikam yang juga tetangga Saleh di Kecamatan Kapongan, Situbondo.


Proses hukumpun berjalan, hingga akhirnya pengadilan menjatuhkan vonis 5 tahun penjara untuk Saleh. Masyarakat menilai vonis ini terlalu rendah. “Masyarakat tidak puas dengan proses hukum terhadap pelaku penistaan agama,” kata Syamsul.


Karena tidak puas, massa mulai marah dan melempari gedung pengadilan. Kerusuhan meluas, massa mulai merusak dan membakar gereja-gereja di Kabupaten Situbondo. Pada akhirnya, 24 gereja di lima kecamatan dibakar atau dirusak, serta beberapa sekolah Kristen dan Katolik, satu panti asuhan Kristen, dan toko-toko yang milik orang keturunan Tionghoa.


Dalam kerusuhan itu telah tewas terpanggang api 5 orang keluarga pendeta Ischak Christian di dalam komplek Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) yang terletak di Jl. Basuki Rachmat Situbondo. 


Pasca kejadian itu, masyarakat Situbondo, secara perlahan merajut kembali toleransi antar umat beragama. Mansyur mengatakan kebangkitan ini diawali dengan memberikan terlebih dahulu kepada masyarakat tentang makna toleransi.


“Sesungguhnya kalau kita melihat keanekaragaman masyarakat Situbondo sdah sedikit maju sehingga harus ada pemahaman yang harus progresif lagi supaya bisa lebih memahami,” terang Mansyur.


Di setiap pengajian baik di pesantren dan tempat lainnya. Selalu diselipkan pemahaman toleransi. “Langkahnya dengan mengisi dengan pengajian, itu dijadikan media untuk memberikan pemahaman toleransi terhadap umat beragama,” kata Mansyur bercerita.


Secara intensif pesatren yang ada Situbondo, melakukan kerja sama dengan tokoh agama lainnya. Hal ini dilakukan untuk memberikan pemahaman yang benar tentang penghargaan terhadap agama lain. “Sehingga warga masyarakat bisa menularkan ajaran agama yang benar tentang toleransi terhadap warga masyarakat lainnya,” kata Mansyur.


Perjuangan tahun demi tahun untuk merajut toleransi berbuah manis, saat ini suasana sudah kondusif. “Kondisi sekarang sudah kondusif sudah tidak ada lagi konflik, benih radalisme sudah tidak ada lagi,” pungkas Mansyur.


Terkait proses kembalinya toleransi Situbondo, pemerintah daerah pun mengakui ini karena konsolidasi semua elemen masyarakat. Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten Situbondo, Syaifullah mengatakan, ada kesadaran masyarakat untuk kembali toleransi seperti dahulu.


“Alhamdulilah secara bertahap ita membuat keyakinan kepada umat beragama dengan menciptakan kegiatan yang dilakukan secara bersama,” kata Syaifullah.


Kegiatan bersama ini dilakukan untuk mengikis ketakutan masyarakat minoritas di Situbondo yang menjadi korban. “Kita pernah mengadakan pagelaran seni dari masing-masing seni antar etnis, islam gambus, budha dan hindu dengan tarian,” ujarnya.


Sebuah peraturan daerah pun dikeluarkan untuk merawat kerukunan umat beragama. ”Untuk mengupayakan ini dikeluarkan peraturan bupati tentang forum komunikasi umat beragama 5 tahun sekali diperbaruhi,” kata Saifullah.


Syaifullah mengatakan, suasana kondusif yang tercipta di Situbondo saat ini, merupakan peran dari ulama dan tokoh agama yang terus memberikan pemahaman toleransi antar uma beragama, Dia berharap kondisi akan terus terjaga.


Editor: Fuad Bakhtiar


  • toleransi situbondo
  • situbondo
  • pembakaran gereja se-kabupaten Situbondo
  • Toleransi
  • petatoleransi_10Jawa Timur_biru

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!